» http://www.acehinstitute.org 

OASE 240307 | RAWAN
Oleh: Saiful Mahdi | Koordinator Aceh Institute
 
BELAKANGAN ini, angka kriminalitas tiba-tiba meningkat
drastis di Aceh. Anehnya, peningkatan ini justru
terjadi setelah damai mulai bersemi di Aceh, lebih
dari satu setengah tahun perjanjian damai Helsinki, 15
Agustus 2005. Setelah semua lega dan kagum dengan
kedamaian di Aceh yang nyaris tanpa gejolak, bahkan
ketika Pilkadasung terbesar dalam sejarah Indonesia
dilakukan. 
 
Studi empiris pasca-konflik biasanya menunjukkan angka
kriminilitas meningkat di kawasan bekas konflik ketika
damai tidak diikuti dengan rekonsiliasi dan
reintegrasi. Saat para pemegang senjata, baik
gerilyawan maupun pasukan pemerintah, tak berhasil
mendapatkan ”cangkul” atau ”lahan” alternatif untuk
memulai hidup baru tanpa kekerasan. Tapi indikasi itu
biasanya langsung terlihat paska penandatanganan
perdamaian; tidak perlu menunggu sampai dua puluh
bulan setelah itu. 
 
Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya: Apa yang
sedang terjadi di Aceh? Ada fakta memang bahwa Badan
Reintegrasi Aceh (BRA) gagal melakukan sejumlah
program reintegrasi damai. Sejumlah korban konflik dan
bekas gerilyawan belum mendapatkan kompensasi ekonomi
yang dijanjikan. Angka kemiskinan dan pengangguran di
Aceh belum membaik di tengah putaran dana yang
demikian besar. Apakah para bekas gerilyawan mulai
tidak sabar dengan tekanan ekonomi?
 
Sejumlah sumber yang dekat dengan para bekas
gerilyawan menyatakan bahwa alasan ekonomi belum cukup
mendesak sehingga membuat mereka melakukan kekerasan.
Apalagi banyak sumber keuangan yang formal dan legal
kian terbuka untuk semua orang di Aceh saat ini,
termasuk untuk bekas gerilyawan.  Kemenangan sejumlah
calon independen dari bekas gerilyawan pada pilkada
lalu semakin membuka peluang integrasi secara ekonomi,
 sosial maupun politik.
 
Ada laporan di lapangan terdapat oknum bekas
gerilyawan yang kembali memungut ”pajak nanggroe” atau
meminta perlakuan khusus untuk mendapatkan proyek
tertentu. Bahkan ada yang berani mengatakan kalau
masih ada bekas gerilyawan yang terlibat illegal
logging di tengah gencarnya Gubernur Irwandi
Yusuf--kadang dengan turun tangan langsung ke
lapangan--memberantas pembalakan hutan Aceh. Namun
semua itu dibantah tegas oleh Irwandi, disertai dengan
menangkap tangan sejumlah orang yang mengaku bekas
gerilyawan yang sedang mengurus proyek. Wagub Muhammad
Nazar juga meminta agar tidak ada lagi pajak nanggroe
di Aceh. Komitmen kedua pemimpin baru Aceh ini
tampaknya cukup kuat, walaupun ujian terus menghadang.
 
Lantas apakah semua yang terjadi selama ini adalah
kriminalitas biasa? Kita berharap pihak kepolisian
dapat segera mengungkapnya. Kalau tak terungkap, maka
kita semua patut khawatir. Karena ada adagium di
negeri ini: ”Kalau ada kasus kejahatan (bersenjata)
yang tak terungkap, besar kemungkinannya karena ada
pihak yang lebih besar yang terlibat, alias bukan
sekedar kriminalitas biasa!”.
 
Aneh memang, saat makin banyak basis serdadu dibangun
di banyak tempat di Aceh, sebagian dengan sumber dana
BRR, makin meningkat pula angka kriminalitas.  Insiden
pemukulan terhadap empat serdadu di Aceh Utara membuka
mata kita bahwa masih ada operasi intelijen tempur di
Aceh. Pihak serdadu mengklaim bahwa mereka berhak
untuk tetap melakukan operasi intelijen di Aceh.
Secara politis ini dimungkinkan, karena ternyata Aceh
masih berstatus ”rawan” seperti diungkap oleh anggota
Komisi I DPR RI kepada Gubernur Irwandi (Serambi
Indonesia, 3 dan 4 April 2007).
 
Menurut Prof. Geoffrey Robinson dalam tulisannya
“Rawan is As Rawan Does: The Origins of Disorder in
New Order Aceh”, status rawan di Nusantara bukanlah
semata bersumber dari  keanekaragaman sosial, ekonomi,
 budaya, suku, dan agama seperti dikatakan rejim Orba.
Kerawanan di Nusantara juga disebabkan dua sumber
lainnya: pertama, pendekatan pemerintah terhadap
eksploitasi sumber daya alam dan distribusi
manfaatnya, dan kedua, doktrin dan praktek dari
angkatan bersenjatanya.
 
Apapun argumen pembenar untuk membuat Aceh kembali
rawan, sejarah menunjukkan bahwa hanya yang mempunyai
kuasa dan kekuatan yang dapat membuat suatu kawasan
menjadi rawan. Orang bersenjata, resmi maupun tidak,
cenderung ingin dan secara mudah dapat menjadi
penguasa di negeri yang masih lemah infrastruktur
hukum dan politiknya. Orang Aceh tahu persis siapa
saja yang mempuyai (banyak) senjata sekarang ini.
   
Di lain pihak, dikabarkan Gubernur Irwandi meradang
karena sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang
disusun Jakarta. PP tersebut adalah tentang Kewenangan
Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh. Aceh
bersikeras bahwa Jakarta hanya punya kewenangan atas
Aceh dalam enam bidang: (1) Pertahanan eksternal, (2)
Fiskal dan moneter, (3) Hubungan internasional, (4)
Keamanan nasional, (5) Bidang hukum, (6) Urusan agama.
Tapi ternyata PP tersebut akan mengatur sampai 31
kewenangan lainnya!  Kalau PP ini lolos, ”Aceh akan
menerima amisnya saja” kata Irwandi.
 
Tampaknya masih ada yang tidak ”ikhlas” dengan
perdamaian di Aceh. Ketidak-ikhlasan cenderung
memunculkan kerawanan. Jika Aceh kembali dalam
kerawanan, semua orang rugi. Tapi yang paling rugi dan
menderita adalah rakyat kebanyakan.(Saiful Mahdi,
Ithaca, USA)

© Copyrights by The Aceh Institute - 2007
Original source:
http://www.acehinstitute.org/oase_240407_saiful_mahdi_rawan.htm

Baca juga Opini lainya: http://www.acehinstitute.org  




__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke