"Hindu versus Hindu Bali" 

Konflik Hindu di Bali bisa dijadikan pelajaran kaum Muslim. Bahwa,
Al-Quran, tidak bisa diperselisihkan. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP]
Adian Husaini ke-188 

Oleh: Adian Husaini 

Majalah Hindu RADTIYA edisi Maret 2007 ini menulis laporan utamanya
dengan judul "Hindu versus Hindu Bali". Majalah ini menggambarkan
kondisi perpecahan dalam tubuh agama Hindu Bali yang akhirnya berujung
pada pemunculan agama baru bernama "Hindu Bali" yang berbeda dengan
agama Hindu. Pemimpin Redaksi Majalah ini, Putu Setia, menulis kolom
editorial berjudul "Kenapa Saya Tetap Hindu (dan bukan Hindu Bali)." 

Agama baru yang bernama Hindu Bali itu kini sudah resmi diayomi oleh
Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yang resmi dikibarkan pada 28
Januari 2007. Secara nasional, agama Hindu bernaung di bawah Parisada
Hindu Darma Indonesia (PHDI). Tetapi, sudah sejak tahun 2001, terjadi
dualisme dalam kepengurusan PHDI Bali, yaitu PHDI versi Besakih dan
PHDI versi Campuan. 

Perpecahan di kalangan tokoh agama Hindu di Bali ini telah menimbulkan
kebingungan dan kemarahan di kalangan umat Hindu sendiri, seperti
diutarakan oleh Jero Mangku Oka Swadiana dalam surat pembaca di Majalah
ini. Dia menulis: "Dualisme inilah yang membuat kebingungan umat Hindu
di Bali yang menandakan kekerdilan cara berpikir tokoh-tokoh agama
Hindu yang hanya berani bertengkar secara intern di kalangan umat Hindu
sendiri." 

Penulis surat pembaca ini mengecam pembentukan PHDB, dengan menyatakan,
bahwa pembentukan PHDB adalah akibat rasa ego, fanatik, kemunafikan,
dan jiwa kerdil tokoh-tokoh agama. "Namun kami sarankan kepada seluruh
umat janganlah terpengaruh terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk
oknum-oknum tertentu, apapun namanya, berapa pun banyaknya. Jika memang
tidak ada manfaatnya untuk kerukunan, ketentraman, kesejahteraan umat,
anggap saja itu tidak ada." 

Putu Setia juga tidak kalah keras dalam mengkritik pembentukan Agama
Baru Hindu Bali ini. Dia mengakui, para pendiri PHDB adalah tokoh-tokoh
yang dihormatinya, para intelektual, tempatnya berguru, dan menjadi
idolanya. "Jadi ini pasti persoalan yang serius, kembali ke agama Hindu
Bali, yang memang agama yang dipeluk resmi oleh orang Bali sebelum
1960-an," tulis Putu, yang juga dikenal sebagai wartawan senior. 

Setelah mempelajari duduk persoalan dan Piagam Samuan Tiga ? piagam
pendirian Agama Hindu Bali -- Putu Setia memutuskan "saya memutuskan
untuk tetap beragama Hindu, dan bukan Hindu Bali." 

Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, agama Hindu Bali memiliki
sejumlah ajaran yang khas, sebagaimana disebutkan dalam Piagam Samuan
Tiga. Misalnya: (1) Dasar pelaksanaan agama yang mengacu pada Weda
Sruti, Weda Smerti Darsana, Tantra dan kearifan lokal yang disarikan
dalam lontar-lontar; (2) Landasan keimanan (Sradha) kepada Tuhan adalah
Siwa Tatwa dengan Paham Monoteisme (Eka Twa Aneka Twa Swa Laksana
Batara); (3) Menyembah Tuhan (Sang Hyang Widhi) lebih khusus disebut
Bhatara Siwa, Dewa Dewi, dan Hyang leluhur; (4) Mempunyai pemujaan yang
disebut Sanggah/Pemerajan dan Pura; (5) Melaksanakan upacara Panca
Yadnya menggunakan sarana banten dengan pekemnya yang khas dipimpin
oleh Wiku Huwus Kertha Diksita dan Pemangku dengan atribut serta sesana
yang khas pula; dan (6) Agama Hindu yang menjadikan Sosio-kultural Bali
sebagai media pelaksananya. 

Putu Setia mengkritik sejumlah dasar-dasar ajaran agama Hindu Bali
tersebut. Dia katakan, bahwa jika agama Hindu Bali mengacu pada Weda
Smerti dan seterusnya yang sudah disarikan dalam lontar, maka itu
adalah suatu "pembodohan luar biasa". Menurut Putu, lontar adalah
sarana tulis menulis, bukan sesuatu yang dikeramatkan. Di masa lalu,
Weda memang disarikan dalam lontar, karena lontar adalah sarana
satu-satunya setelah selesai zaman batu dan zaman kayu. Putu
mempertanyakan, kenapa "alat" ini yang dijadikan rujukan? Apakah Weda
yang sekarang ini ditulis dalam buku atau dalam file komputer tidak
dapat dijadikan rujukan. Lagi pula apakah seluruh Catur Weda itu sudah
disarikan dalam lontar? Karena merasa aneh dengan ajaran itu, Putu
Setia menegaskan, "Ini sesuatu yang aneh, karena itu point pertama
Piagam Samuan Tiga langsung membuat saya tidak mau kembali ke agama
Hindu Bali. Maaf, nalar saya masih jalan." 

Putu juga tersentak ketika membaca poin ketiga. Menurutnya, meskipun
dia adalah penganut Siwa Tatwa, tetapi leluhurnya mengajarkan menyembah
tiga dewa utama yang disebut Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Konsep
Tri Kahyangan masih tetap hidup di Bali, karena itu dewa yang dipuja
tak hanya Bhatara Siwa, juga Brahma dan Wisnu. Dalam soal banten
(sesajen), Putu mengaku telah lama menganjurkan, agar orang Hindu
membuat banten yang disesuaikan dengan alam Bali, karena hakekat banten
adalah mempersembahkan alam sekitar."Bukan buah apel atau peer dari
Amerika. Lihat kenyataan saat ini, bertruk-truk janur datang dari Jawa,
kenapa kita memperkaya orang Jawa dan memiskinkan orang Bali untuk
membuat banten yang besar-besar? Kenapa banten tidak disesuaikan dengan
kemampuan, baik kemampuan diri sendiri maupun kemampuan alam sekitar
yang menopangnya? Orang Bali jual tanah untuk beli janur, orang Jawa
beli tanah dengan menjual janur, ayam, itik, dan lainnya," tulis Putu
mengkritik tradisi di Bali. 

Meskipun mendapat kritik dan tentangan, PDHB tetap jalan terus. Menurut
Ketua Harian PDHB, Ia Bagus Putu Sudarsana, PDHB adalah usaha kembali
ke jati diri, sesuai asal mula pembentukan Parisada Hindu tahun 1959.
"Jadi agama yang ada dan dicita-citakan sejak dulu itu adalah agama
Hindu Bali," ujarnya kepada majalah RADITYA. 

Dengan terbentuknya PDHB, berarti lembaga ini mencita-citakan suatu
model praktik beragama yang khas Bali. "Cita-cita kami adalah
mengajegkan Agama Hindu Bali yang dipraktikkan sejak masa silam. Namun
jangan salah makna, Bali di sini tidak menunjuk tempat. Namun agama
Hindu Bali maksudnya adalah umat Hindu yang dalam praktik beragamanya
menggunakan banten, maka ia termasuk pemeluk agama Hindu Bali, di mana
pun mereka berada," jelas IB Sudarsana. 

Dalam programnya, PDHB hanya mengkhususkan untuk membina umat yang
mempraktikkan agama Hindu Bali saja; agama Hindu lainnya atau yang
tidak ada embel-embelnya tentu tidak akan dibina. Pedoman penting agama
Hindu Bali adalah Weda yang diterjemahkan dalam lontar, dan Weda yang
diterjemahkan dalam buku-buku, tidak dipakai oleh agama Hindu Bali.
Keputusan untuk menggunakan Weda yang dari lontar ini dikritik juga
oleh I. Ketut Wiana, ketua Sabha Walaka PHDI Pusat. Dia menyatakan,
bahwa hal itu adalah langkah mundur PDHB. 

Menurut kajiannya, lontar adalah berbagai catatan tentang cara-cara
beragama orang Bali di masa lalu. Kini, masa lalu telah lewat, jadi ada
lontar yang cocok dengan zaman kini dan ada yang perlu direvisi, dengan
menggunakan rujukan Weda. "Mestinya kalau kembali ke jati diri, ya
kembali kepada Weda sebagai penuntun agama Hindu, bukan ke lontar,"
kata Ketut Wiana. 

Walhasil, PDHB lahir untuk menegaskan eksistensi agama Hindu Bali.
Seorang tokohnya menyatakan, "Biarlah ada Hindu Jawa, Hindu Tengger,
Hindu Kaharingan, karena kita memang berbeda-beda. Soal Hindu Nusantara
atau Hindu Indonesia, silakan itu menjadi urusan PHDI." 

Begitulah berita terbaru dari kasus konflik internal dalam agama Hindu
sebagaimana ditulis dalam Majalah RADITYA, sebuah majalah Hindu pertama
di Indonesia. Sebagai Muslim kita bisa mengambil banyak pelajaran dari
kasus tersebut. Berbeda dengan tradisi dalam Hindu, Islam sangatlah
ketat dalam soal dasar agama, terutama Al-Quran. 

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang tidak diperselisihkan
sepanjang zaman. Al-Quran tetap dalam bahasa Arab dan umat Islam
sedunia sekarang berpegang pada mushaf yang sama, yaitu mushaf Utsmani.
Al-Quran kita yakini sebagai wahyu Allah yang diturunkan bukan hanya
untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh umat manusia, karena itu umat
Islam tidak memerlukan Al-Quran edisi revisi atau Al-Quran edisi kritis
seperti yang digagas oleh kaum orientalis atau Islam Liberal. (Untuk
gagasan Al-Quran Edisi Kritis, lihat tulisan Taufik Adnan Amal berjudul
"Edisi Kritis Alquran" dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
terbitan JIL, 2002). 

Dengan sifat otentisitas dan finalitas Al-Quran sebagai sumber utama
agama Islam, maka Islam juga masih menjadi agama yang satu, dengan
Tuhan yang satu, kiblat yang satu, Nabi uswah hasanah yang satu, dan
ritual yang satu. Sehingga, tidak perlu muncul "Islam Jawa", "Islam
Sumatra", "Islam Bali", "Islam Hongkong", "Islam Arab", "Islam Amerika"
dan sebagainya. Islam adalah Islam. Di mana pun kita akan bertemu
dengan orang Islam yang membaca Al-Quran yang sama, melafazkan nama
Tuhannya dengan bacaan yang sama, bertakbir dengan ucapan yang sama,
bersujud dengan cara yang sama. Sebab, dalam keyakinan umat Islam,
Islam adalah agama wahyu, yang nama agama ini, Islam, diberikan
langsung oleh Allah melalui kitab Al-Quran. 

Seharusnya, kaum Muslim tidak merusak nama "Islam" dengan menambahkan
berbagai embel-embel yang akhirnya justru bisa mengaburkan makna Islam
itu sendiri, seperti "Islam fundamentalis" , "Islam inklusif", "Islam
Protestan", "Islam Liberal", "Islam Jawa", dan sebagainya. Ini berbeda
dengan tradisi Yahudi, Kristen, Hindu, dan sebagainya, yang telah biasa
dengan "pluralitas agama" dalam agama. Karena itu, dalam Islam, ada
pembatasan yang ketat dalam soal batas-batas keislaman. Ada rukun iman
dan rukun Islam. 

Dunia Islam, misalnya, sepakat bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar
Islam, karena memiliki nabi sendiri dan kitab suci lain disamping
Al-Quran. Meskipun mereka tetap mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Nabi
dan menerima Al-Quran sebagai Kitab Suci mereka. 

Kita pernah disuguhi iklan "Islam warna-warni" di berbagai setasiun TV.
Pada satu sisi, kita diajak untuk menerima kenyataan bahwa dalam Islam
ada berbagai perbedaan. Tetapi, sayangnya, iklan itu tidak menjelaskan,
bahwa perbedaan itu ada batasnya, sehingga tetap layak disebut sebagai
"Islam". Karena itu ada "syahadat" dalam Islam. Menteri Agama RI pernah
mengusulkan kepada Ahmadiyah agar mereka membuat agama baru, karena
memiliki perbedaan yang mendasar dengan umat Islam lainnya. Jika
seseorang atau satu kelompok tidak lagi meyakini bahwa Allah SWT adalah
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, sudah tidak percaya lagi bahwa
Al-Quran adalah wahyu dari Allah, dan tidak percaya lagi bahwa Nabi
Muhammad saw adalah nabi terakhir dan uswah hasanah, maka pada
hekekatnya, orang atau kelompok tersebut tentulah sulit masih layak
dimasukkan ke dalam kategori Islam. 

Apa yang sudah menimpa kaum Yahudi, Kristen, dan Hindu, perlu menjadi
pelajaran bagi umat Islam. Karena itulah, Al-Quran banyak menjelaskan
tentang kondisi kaum Yahudi dan Nasrani dan juga memerintahkan kita
agar berjalan di muka bumi dan melakukan pengamatan terhadap berbagai
kaum yang lain. Para ulama kita pun dulu banyak sekali melakukan kajian
yang mendalam terhadap agama-agama selain Islam. Wallahu a'lam. [depok,
Maret 2007/www.hidayatull ah.com] 

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara
Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah. com

"Fa maadza ba'da-lhaqq, illa-dl_dlalaal"

Leo Imanov
Abdu-lLah
AllahsSlave
phone: +49 241 1 89 93 69
mobile: +49 1 76 63 01 56 79


      ___________________________________________________________ 
To help you stay safe and secure online, we've developed the all new Yahoo! 
Security Centre. http://uk.security.yahoo.com

Kirim email ke