Tentara


Perlukah kita tentara?


Pertanyaan ini pasti mengejutkan jenderal yang duduk di depan 
itu--dan itulah soalnya. Saya tak gemar mengejutkan siapa pun, 
terutama seorang jenderal gemuk yang tak saya kenal, yang mungkin 
punya jantung berlemak, aorta yang macet, dan telinga yang gampang 
terganggu. Saya duga, ia sudah lama tak mendengar teriakan "siap!" 
apalagi tembakan pistol. Maka dengan tulus ikhlas pertanyaan itu tak 
saya teruskan.


Saya keluar dari ruang tunggu di bandara itu, berjalan menuju kios 
makanan ringan sambil mencoba melupakan adegan di Grati, Pasuruan, 
yang tersiar kembali di layar televisi: empat orang penduduk Alas 
Tlogo mati ditembak oleh beberapa anggota Korps Marinir. Ini bukan 
perang, tentu saja. Orang-orang Alas Tlogo itu bukan pasukan 
bersenjata republik lain. Mereka hanya ingin mendapatkan tanah yang 
jadi sengketa mereka dengan Angkatan Laut.


Seperti banyak orang, saya marah: penduduk Alas Tlogo itu belum tentu 
punya alasan yang sah, misalnya untuk menebang 12 ribu pohon mangga 
siap panen di tanah itu seperti yang mereka lakukan pada tahun 2001. 
Apalagi, menurut Pengadilan, tanah itu milik sah Angkatan Laut, dan 
tak akan digunakan buat bisnis, melainkan untuk pusat latihan tempur. 
Dengan kata lain, yang bersenjata tak dengan sendirinya di pihak yang 
salah, dan yang lemah tak serta-merta benar. Tapi ditembak?


Saya memandang ke luar, ke sebuah perempatan: sebuah monumen tampak. 
Sebuah patung prajurit, yang seperti di mana-mana di Indonesia sejak 
1967 ingin mengesankan bahwa negeri ini didirikan dengan 
senjata--sebuah cara membaca sejarah yang salah.


Di saat memandang monumen yang aneh itu saya makin ingin tahu 
seberapa jauh sebenarnya kita, dan Republik Indonesia, perlu tentara. 
Kejadian di Grati dimulai dengan kebutuhan akan tempat latihan 
tempur. Seandainya Indonesia tak perlu tentara, tanah itu bisa 
digunakan untuk, misalnya, pabrik sepatu.

Tapi saya tak mengemukakan itu sebagai persoalan kepada siapa pun, 
apalagi kepada pak jenderal tadi. Saya tak mau bertengkar. Namun saya 
tetap ragu: saya tahu bahwa tentara berfungsi untuk mempertahankan 
Republik, tapi jangan-jangan kita dan tentara kita tak jelas benar 
apa saja dari Republik yang harus dipertahankan, dan dari siapa ia 
harus dipertahankan. Seingat saya, selama Indonesia berdiri, belum 
ada usaha yang terus-menerus untuk merebut wilayah Indonesia. Masa 
depan juga tampaknya aman; perang perebutan teritorial telah jadi 
amat mahal dan ruwet, dan tampaknya di dunia sekitar kita tak ada 
orang gila, juga orang Singapura, yang ingin melakukannya.


Tapi saya tahu, tentara memang dipertahankan dalam sejarah, karena 
sejarah dibangun dari bayangan kemungkinan yang terburuk. Peradaban 
bahkan bisa dikatakan telah digerakkan oleh pelbagai gambaran mimpi 
yang mengganggu. Demikianlah lahir pelbagai manifestasi dari jimat, 
persembahan korban, feng sui, sabuk pengaman, asuransi kecelakaan, 
senjata nuklir, dan tentara: manusia mengantisipasi kekalahannya, dan 
mencoba menangkalnya. Maka sebuah negara berdiri dengan kemungkinan 
akan dijatuhkan negara lain--meskipun kita tak hidup dalam zaman yang 
dengan yakin mewarisi Mahabharata, Iliad, dan perang-perang Perjanjian Lama.


Atau mungkin pada mulanya adalah Kain yang membunuh Abil. Manusia 
merasakan ada yang tak cukup dan ada yang tak adil. Keadaan "alami" 
yang digambarkan Hobbes--ketika manusia saling melenyapkan dan 
meminggirkan--adalah keadaan di mana semua sama-sama mempunyai a 
sense of entitlement, semua sama-sama merasa berhak atas sesuatu, dan 
"sesuatu" itu langka.


Dikotomi pun ditarik, antara "kita" dan "mereka", dan segera sesudah 
itu, pelbagai kategori diciptakan, untuk mengendalikan dunia dan 
orang lain. Negara dibangun dari kelangkaan dan pengendalian itu. 
Negara adalah pagar benteng: ada yang selalu dibuang keluar dari ruangnya.


Tapi tidakkah ada alternatif? Mungkin ada. Saya terpikir sesuatu yang 
agaknya tak terpikir jenderal gemuk itu, yakni membaca sebaris sajak 
Subagio Sastrowardojo: "Kematian hanya selaput/gagasan yang gampang 
diseberangi". Bila kita tahu kematian begitu akrab--demikianlah pikir 
saya--manusia akan tahu bahwa kelangkaan dan pengendalian hanyalah 
satu bagian dari peradaban: bagian yang lupa, bahwa kita bukan hanya 
makhluk yang menyadari potensi, tapi juga impotensi diri. Dalam 
kata-kata Agamben: "Manusia adalah hewan yang mampu atas impotensialitasnya".

Di tepi jurang ketidakberdayaan itu, sebuah celah, sebuah tepi, 
terbuka. Masing-masing bukanlah kekuatan yang akan menang sendiri, 
dan dengan demikian meminggirkan. Hidup pada akhirnya terbatas. 
Dengan demikian, kesadaran akan impotensi itu adalah juga sebuah 
potensi. Dan hidup pun akan berlanjut, akan lebih ada ruang bebas di 
atas kebutuhan akan kekuasaan dan kekerasan.


"Tapi kita tak hidup dalam sebuah surga sebelum Kain membunuh Abil!" 
tiba-tiba saya bayangkan jenderal itu akan berkata menjawab semua 
pikiran yang saya katakan kepadanya dan dia tidak pingsan. "Kau 
jangan melamun," katanya pula.


Tentu saja ia benar, dan saya akan mengakui itu dalam percakapan yang 
sebenarnya tak pernah terjadi itu. Tapi juga kita tak harus 
membayangkan semua kita adalah Kain dan Abil. Kita juga tak bisa 
berilusi bahwa pembunuhan itu bisa menyebabkan kemenangan. Kita tak 
melamun bahwa kita punya ruang, bahkan ruang yang luas dan selalu 
tersedia, di mana Tuan, wahai Jenderal, sebenarnya tak diperlukan!

Apakah saya terlalu agresif? Saya khawatir begitu. Tapi saya kira di 
zaman ini tentara memang harus siap diperlakukan berbeda: sebagai 
ornamen sebuah Republik--bak sepasukan drum band dalam parade hari kemerdekaan.


Goenawan Mohamad
(Catatan Pinggir Majalah Tempo, Senin 4 Juni 2007)



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke