Dear Friends, berikut tanya jawab antara saya dan
seorang Psikolog, sebut saja bernama Mbak Tine (nama
samaran), tentang hal memberikan masukan bagi putrinya
sendiri mengenai pernikahan. Semoga bermanfaat. 

+++++++++++++


> Dear Mas Leo,  masih inget saya yang memberi respon
> mengenai masalah perkawinan? Saya kalau di yahoo
> memakai id Tine. Salam kenal Mas. 

Dear Mbak Tine,

Salam kenal lagi. Thanks for trusting me to give you
advice (ehem...). Ya, saya ingat, waktu itu subyek
postingnya "Leo, aku dicintai seorang pastor".

> saya seorang Psikolog yang banyak memberikan 
> konseling pada pernikahan, tapi kok ya seorang 
> psikolog susah ya memberi masukan ke anak sendiri. 
> Hehehee,... jadi ibarat tukang cukur tidak bisa 
> mencukur kepala sendiri. Hik hik....
> Untuk itu saya pingin masukan dari Mas Leo nich.

Well, what to say Mbak? Mungkin memang begitulah
kodrat manusia, tidak bisa "membuahi" diri sendiri.
Saya membacakan tarot untuk ratusan orang per tahun
yang meminta private counselling, tetapi saya sendiri
tidak bisa membacakan tarot untuk diri saya sendiri
karena saya tidak bisa obyektif, maunya yang
bagus-bagus saja.

Begitu juga tentang konseling pernikahan: lebih dari
separuh klien saya meminta konseling tentang membentuk
pernikahan baru atau melikuidasi pernikahan yang
dianggap sudah kedaluwarsa, expired. Lah? Memang ya,
jaman sekarang pernikahan mempunyai expiry date yang
tergantung dari bargaining kedua belah pihak. Kalau
salah satu pihak sudah merasa kebelet ingin likuidasi
dan merger dengan pihak lain, maka pihak yang satunya
tidak bisa (dan tidak berhak) untuk menahannya.

Memangnya kita masih di jaman Siti Nurbaya dimana
wanita dijodohkan dengan pria, dan pria bisa seenaknya
saja kawin lagi dan kawin lagi dan kawin lagi? You
know yourself that the situation is completely
different now. But, ternyata kita ini masih punya
vestiges dari jaman Siti Nurbaya, walaupun disamarkan
dengan asumsi-asumsi rasional.

Contohnya: Pria musti mapan sebelum berumah-tangga.

Nah, apakah itu persyaratan yang bukan berasal dari
jaman Siti Nurbaya karena di belakang belief system
seperti itu ada anggapan bahwa yang mencari nafkah
buat rumah tangga adalah pria? Wanita tinggal di rumah
saja dan berfungsi sebagai "pabrik" pembuat anak.
Wanita melahirkan dan membesarkan anak; pria bekerja
di luar rumah dan bawa pulang duit. Di belakang belief
system itu ada lagi berlapis-lapis belief system yang
berasal dari budaya kita sendiri. 

Misalnya: istri harus membutakan diri terhadap apa
yang dilakukan oleh suami di luar rumahnya. Sering
para istri mengatakan: dia suami saya, tetapi di luar
rumah dia bukan suami saya.

Itu adalah belief system yang mengacu kepada peran
wanita sebagai pihak yang dependen, tergantung pada
pria. You know yourself, again, that that is not the
case nowadays. Situasinya sudah berubah. Banyak wanita
(bahkan sebagian besar malahan) yang memiliki mata
pencaharian sendiri. Sebagian wanita yang mandiri
sebagai professional malahan memiliki income yang
lebih besar daripada suaminya. Dan, karena memiliki
income sendiri dan tidak tergantung dari sang suami,
maka para istri yang secara materi independen dari
para suaminya ini tidak mau lagi diperlakukan
semena-mena seperti di zaman purba. 

Gak ada lagi yang namanya wanita harus bersifat nrimo,
monjo di ranjang, pasrah tinggal di kandang. Tidak ada
lagi itu...

> saya punya anak kedua putri, namanya Aida Zulfida 
> (Ida), dia lahir tanggal 11 Juni 1981.  Saya
> memberikan arahan ketika nanti memilih jodoh paling
> tidak salah satunya memiliki kriteria pekerjaan...
> Aduch hare gene Mas,... kalau gak punya pegangan
> piye to? Nach dia punya kenalan, dibilang pacar
> bukan dibilang bukan kayaknya deket, lulusan S1 tapi

> profesi gak jelas dan sekali-sekali ngajar bela diri
> karate. Pernah aku tanya seberapa deket,... dia 
> bilang biasa tapi nyaman. Wach,... nyaman terus
> malah ga ada tantangan kan Mas? Pertanyaanku, kenapa
> ya kok anakku ini gak bisa berpikir jauh kedepan, 
> yang penting nyaman aja?

Well, tidak ada salahnya memberikan arahan agar calon
suami Ida memiliki pekerjaan tetap. Tetapi, tentu saja
Ida juga memiliki pandangan sendiri. Saya lihat Ida
itu berpikirnya independen seperti Anda ini, ibunya
sendiri, yang berpendapat bahwa harus ada bargaining
antara pria dan wanita, bahwa wanita itu tidak harus
tergantung dari pria.

Ida yang anak kedua dari Mbak ini melihat bahwa ibunya
itu sering memberikan konseling pernikahan kepada
banyak orang. Dan Ida juga sadar bahwa pernikahan itu
tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh tradisi
kita. Ida melihat banyak klien dari ibunya ternyata
terbontang-banting gara-gara masuk ke "mahligai
rumah-tangga" yang ternyata no other than jebakan para
orang tua yang ingin lekas lepas dari tanggung-jawab. 

Di kultur kita kan orang tua merasa masih harus
bertanggung-jawab sampai anak-anaknya berumah tangga.
Selama anak belum berumah-tangga, orang tua merasa
bahwa tugasnya belum selesai.

Tapi, does it work? Apakah segala dorongan-dorongan
untuk cepat menikah itu bisa efektif? You know
yourself bahwa jaman sekarang ini tidak seperti itu
lagi... Sekarang banyak wanita yang akhirnya menyesal
telah menuruti keinginan orang-tua agar cepat-cepat
menikah. Orang tua malu anaknya dikatain jadi perawan
tua. Dan si anak perempuan gak tahan mendapat tekanan
dari orang tua yang setiap hari mengelus-ngelus dada
di depannya hanya karana anak perempuannya itu belum
mau menikah.

Jadinya ya perkawinan jebrat jebret. Biarpun undangan
disebarkan untuk dua ribu orang, dan yang dateng orang
sekampung, plus dari kampung-kampung lain... kalau si
mempelai wanita merasa dirinya diperdaya oleh orang
tua yang kesengsem dengan jabatan dan harta calon
besannya (banyak kasus begini) maka jadinya adalah
perkawinan terpaksa. 

Jamanne jaman Posmo (Post Modern), tapi spiritne masih
spirit Siti Nurbaya. Piye?

Orang tua masih merayu-rayu, malah sering dengan
setengah mengancam, agar anak wanitanya cepat-cepat
menikah. Asal calon mempelai pria punya pekerjaan, wis
menikahlah. Kok?

Orang tua, walaupun yang modern seperti Mbak ini,
ternyata masih takut anak wanitanya dipake gratisan.
Well, kenapa takut? Itu suka sama suka toh? Dan kalo
sukanya cuma sampe saling maen cemceman doang, kenapa
harus dipaksa menikah? Cintanya cuma cinta cemceman,
dan cinta cemceman gak bakal bisa bertahan kalo
targetnya adalah rumah tangga yang, diharapkan, bisa
bertahan puluhan tahun. Apalagi seumur hidup.

> Siapa tau Mas, melalui saran Mas Leo aku bisa masuk
> dan memberi pengertian ke Ida.
> 
> Thanks berat Mas
> Tine

Mbak, saran dari aku cuma satu. Please give Ida fredom
to choose. Kalau dia cinta dan merasa bisa hidup
dengan seseorang sebagai suaminya, then it's her
choice. It's her marriage that we are talking about,
and _not_ your marriage. Dan, kalau mau pakai
pengertian psikologi modern (you are a psychologist
kan?), malahan orang tua gak boleh ikut campur sama
pilihan anaknya. Bisa memberi masukan, tapi gak punya
hak veto. Ida sudah lebih dari 21 tahun kan? Sudah
bukan anak di bawah umur kan?

Biarkan saja dia memilih calon yang disukainya. Apapun
yang dipilihnya, konsekwensinya akan ditanggung oleh
dia sendiri. Saya lihat Ida sudah tidak lagi bisa
mempertimbangkan budaya tradisional kita yang
cenderung memaksa wanita untuk cepat menikah dengan
calon yang bisa bawa materi. Dia lihat sendiri bahwa
rumah tangga semacam itu cuma lip service saja. Manis
di bibir, dan pahit di hati.

Aku cuma sarankan agar dia bisa bebas memilih which is
her own right. Please try to be objective, Mbak,...
realitas kehidupan masyarakat kita sudah beda. Dan
please be realistic about that, even when it concerns
your own family.

Sekian dari saya, semoga bisa membantu. And, don't you
think that I am an experienced family man. Nggak gitu
Mbak, aku ini belum pernah menikah, kawin aja belum.
Jujur aja.

All the Best,
Leo

[Leonardo Rimba adalah alumnus UI dan PennState,
seorang tarot reader & bidang lainnya dalam ranah
Psikologi Transpersonal. Untuk membuat appointment,
please contact him at HP: 0818-183-615. Email:
<[EMAIL PROTECTED]>.]









Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke