Resensi Buku:

PELIPUTAN INVESTIGATIF, BELAJAR DARI JURNALISME DI
AMERIKA

Judul: Laporan Investigasi untuk Media Cetak dan
Siaran
Penulis : William C. Gaines
Penerbit: ISAI dan Kedutaan Besar AS, Jakarta, April
2007
Tebal : 421 + xx halaman.
======================================================

Buku tentang laporan investigasi ini hadir pada saat
yang tepat. Berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM,
dan sebagainya –baik yang merupakan kasus-kasus lama
warisan era Orde Baru, maupun yang dilakukan pada era
pasca Soeharto—masih banyak yang belum terungkap ke
publik. 

Berbagai hambatan masih dihadapi para jurnalis untuk
mengungkap tuntas kasus-kasus tersebut. Pada saat yang
sama, banyak jurnalis juga merasa belum punya cukup
kompetensi, dalam melakukan peliputan investigatif.
Oleh karena itu, adanya buku yang bisa menjadi semacam
panduan untuk teknik peliputan investigatif, menjadi
suatu kebutuhan nyata.

Judul asli buku ini adalah Investigative Reporting for
Print and Broadcast (1998). Jika kita melihat paparan
isinya, tampaknya buku ini bisa berfungsi sebagai buku
pegangan yang cukup komplit, untuk mengenal jurnalisme
investigatif. Selain bermanfaat bagi jurnalis pemula
atau mahasiswa jurnalistik, buku ini juga masih
relevan dibaca oleh para jurnalis profesional, yang
ingin mendapat penyegaran kembali tentang teknik
peliputan investigatif. 

Dengan membaca buku ini, kita dapat memahami apa itu
laporan investigasi, dan bagaimana teknis
pelaksanaannya di lapangan. Bisa dibilang, seluruh
aspek peliputan investigatif sudah tercakup di buku
ini. Mulai dari perencanaan peliputan, pelaksanaan,
hingga penulisan laporannya kemudian.

Buku ini bukan ditulis oleh dosen, yang biasanya
banyak tahu tentang teori, tapi kurang praktik.
Sebaliknya, buku ini justru disusun oleh William C.
Gaines, seorang jurnalis yang kaya pengalaman. Mungkin
itulah sebabnya, buku ini sarat dengan panduan-panduan
teknis, bagi mereka yang ingin mempraktikkan peliputan
investigatif di lapangan.

Ketika menjelaskan cara-cara peliputan investigatif
dan kendala-kendala yang mungkin ditemui di lapangan,
Gaines memberi contoh praktis, dengan menciptakan
tokoh fiktif Gladys Tydings, sebagai jurnalis
investigatif. Lewat tokoh fiktif ini, pembaca bisa
lebih menghayati berbagai masalah dan tekanan yang
dihadapi seorang jurnalis investigatif.

Untuk media siaran (televisi), bahkan diberikan contoh
yang sangat rinci, lengkap dengan narasi dan gambar,
tentang bagaimanma suatu laporan investigatif
disajikan ke khalayak pemirsa. Jadi, buku ini harus
diakui sangat deskriptif dan informatif.


Konteks Amerika

Sayangnya, berbagai contoh praktis yang ada di dalam
buku ini sangat berkonteks Amerika. Maklum,
pengarangnya memang orang Amerika, dan pada awalnya
tampaknya buku ini memang ditujukan untuk publik
Amerika. Sehingga, jika ingin memahami panduan
peliputan investigatif di buku ini, para pembaca harus
merujuk ke konteks kehidupan sosial, budaya, ekonomi,
dan politik di Amerika.

Tentu saja, perbedaan konteks ini bukan salah
pengarang atau penerbitnya, karena sejak awal buku ini
memang bukan ditujukan untuk kalangan pembaca di
Indonesia. Meski demikian, pembaca tetap dapat memetik
manfaat dari buku yang diterjemahkan oleh Budi
Prayitno ini. Karena, ada sejumlah prinsip umum dalam
peliputan investigatif, yang bisa diterapkan di
berbagai negara, termasuk di negara berkembang seperti
Indonesia. 

Arti penting lain dari penerbitan buku ini adalah,
buku jurnalistik karya penulis Indonesia --khususnya
yang membahas jurnalisme investigatif-- masih amat
langka. Itulah sebabnya, para mahasiswa dan akademisi
Indonesia yang menggeluti ilmu komunikasi umumnya
masih sangat mengandalkan literatur asing berbahasa
Inggris. Kehadiran buku ini diharapkan bisa mengisi
kekosongan tersebut.

Jurnalisme investigatif di Indonesia memang kurang
berkembang, antara lain karena tekanan dari pemerintah
yang represif, serta tidak adanya kebebasan pers. Ini
adalah kasus era Orde Baru pada zaman Soeharto. Pada
1994, Indonesia membeli sejumlah kapal perang bekas
milik Angkatan Laut Jerman Timur dari Pemerintah
Jerman.  Majalah Tempo memberitakan hasil
investigasinya terkait pembelian 39 kapal perang itu.
Akibatnya fatal. Tempo (bersama tabloid DeTik dan
Majalah Editor) dibredel pada 21 Juni 1994.

Pembredelan Tempo memang terkait dengan pemberitaan
tentang kasus kapal perang eks-Jerman Timur tersebut.
Namun, persoalannya bukan semata-mata pada
jual-belinya, tetapi pada kontroversi yang menyulut
konflik keras antara pihak Kementerian Pertahanan RI
dan militer (yang suka atau tidak suka, harus memakai
puluhan kapal perang bekas tersebut) dan pihak Menteri
Ristek B.J. Habibie (yang saat itu lebih dekat dengan
Soeharto, dan mendapat keuntungan dari jual-beli
tersebut). 

Beberapa koreksi
Tak ada gading yang tak retak. Buku ini tentu juga tak
lepas dari kekurangan. Dalam Pengantar oleh penerbit
disebutkan, penulis buku ini adalah wartawan
berpengalaman. Sayang sekali, tidak tertera foto dan
biodata penulis di buku ini. Padahal pencantuman
informasi ini biasanya lazim ditempatkan, minimal di
halaman terakhir buku. Akibatnya, pembaca tidak tahu,
seberapa jauh sebenarnya pengalaman jurnalistik
penulis buku ini, khususnya dalam peliputan
investigatif, dan di media mana saja ia pernah
bekerja. 

Juga tidak ada daftar referensi dan indeks, yang bisa
memudahkan pembaca mencari topik bahasan tertentu.
Mungkin maksudnya untuk menghemat halaman. Selain itu,
ada sejumlah penggunaan istilah bahasa Inggris, yang
menurut saya kurang akurat. Misalnya: investigation
reporting (hlm. xv), provetic journalism dan talking
jurnalism (hlm. xix). Semoga hal-hal ini dapat
dikoreksi pada edisi penerbitan berikutnya.

Meski ada sejumlah kekurangan kecil tersebut, secara
umum, buku ini jelas sangat penting dan bermanfaat.
Terutama, bagi praktisi jurnalistik, mahasiswa,
akademisi, maupun masyarakat umum lain, yang ingin
tahu lebih mendalam tentang seluk beluk peliputan
investigatif. ***


*Satrio Arismunandar, News Producer di Trans TV sejak
2002. Mantan jurnalis di Harian Pelita (1986-1988),
Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1998-2000),
dan Harian Media Indonesia (2000-2001). Ikut
mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 1994
dan menjadi Sekjen AJI 1995-1997.




Satrio Arismunandar 
Producer - News Division, Trans TV, Floor 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4026,  Fax: 79184558, 79184627
 
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://satrioarismunandar.multiply.com  
 
"If you know how to die, you know how to live..."






       
____________________________________________________________________________________
Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search 
that gives answers, not web links. 
http://mobile.yahoo.com/mobileweb/onesearch?refer=1ONXIC

Kirim email ke