Dari DI Ke JI
Oleh M. Guntur Romli
09/07/2007

Karena terbawa arus melawan terorisme global, sebagian masyarakat dan 
aparat pemerintah justru lengah terhadap kemunculan organisasi-
organisasi teroris lokal baru yang dengan leluasa melakukan 
kekerasan, pengerusakan, dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok 
dalam masyarakat yang dianggap berbeda pandangan. 

Aksi-aksi teror di Indonesia, bukanlah sekadar produk lokal, namun 
berkaitan dengan jaringan terorisme global. Hal ini terbukti pada 
kemampuan mereka menggunakan peralatan militer, merakit bom, 
menentukan target, meloloskan diri, dan melakukan perlawanan. Namun 
yang sering dilupakan adalah peran organisasi teror lokal. Bak lahan 
pembibitan, organisasi lokal itu ranah yang menumbuhkan mereka, yang 
nantinya bisa berkembang menjadi jaringan global. Contohnya: jaringan 
terorisme global yang menyerang kawasan-kawasan wisata di Mesir sejak 
tahun 2000, tidak bisa dilepaskan dari organisasi teror lokal 
sebelumnya, seperti Jamaah Takfir wal Hijrah, Tandzim Jihad, dan 
Jamaah Islamiyah, yang beroperasi di tingkat lokal Mesir dari tahun 
70-an hingga 80-an. 

Tentu saja yang melakukan aksi-aksi teror sejak tahun 2000, bukanlah 
generasi tahun 70 dan 80, mereka sudah banyak yang mati, yang hidup 
pun ramai-ramai bertobat. Namun generasi sebelumnya telah mewariskan 
impian, dendam-kesumat, dan doktrin-doktrin kekerasan pada generasi 
selanjutnya. Celakanya hubungan lintas generasi itu tak bisa 
dipangkas secara mudah. Nama organisasi bisa berganti-ganti setiap 
saat, seperti nama-nama yang dipakai oleh para teroris saat ini, 
tetapi iktikad dan semangat tak bisa dengan mudah lenyap. 

Di Indonesia, organisasi seperti Darul Islam dan Negara Islam 
Indonesia (DI/NII) telah mewariskan keturunan baik ideologis ataupun 
biologis terhadap pelaku-pelaku teror saat ini. Secara resmi, 
organisasi DI/NII sudah lama tamat. Namun para pelaku teror di 
Indonesia dari tahun 2000 tidak bisa dilepaskan dari lingkaran 
organisasi ini, misalnya Fathurrahman Ghozi dan saudaranya Jabir 
alias Gempur adalah putra dari M. Zainuri, tokoh Komando Jihad asal 
Jawa Timur yang ditangkap pada zaman Ali Moertopo. Abu Durjana alias 
Aenul Bahri adalah murid tokoh DI, Ustadz Dadang Hafidz. Pun Abdullah 
Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang berasal dari lingkaran DI/NII. 
Lingkaran yang dimaksud adalah organisasi: keluarga besar DI/NII, dan 
ideologi: mendirikan sebuah negara Islam atau menegakkan syariat 
Islam di Indonesia. 

Hirarki struktural tidak bisa dijadikan patokan, karena DI/NII telah 
mengalami proses "pergantian kulit", atau tercerai-berai 
akibat "konflik saudara" yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan 
yang masing-masing berdikari. Misalnya: Komando Jihad, Majelis 
Khilafatul Muslimin, Lembaga Kerasulan, dan nama-nama lain, hingga 
Jamaah Islamiyah (JI) yang dibangun oleh Abdullah Sungkar setelah 
menyatakan keluar dari NII dan mengubah Metode Perjuangan NII dengan 
Metode Perjuangan Jamaah Islamiyah Mesir pimpinan Syekh Umar 
Abdurrahman. JI secara organisasi sudah talak tiga dari DI, namun 
pengaruh ideologi tak bisa dipungkiri. 

Saya tak ingin menggunakan DI/NII ini sebagai stigmatisasi, ataupun 
menafikan banyaknya mantan tokoh dan keturunan organisasi ini yang 
tidak ada kaitannya lagi dengan aksi-aksi teror saat ini. Saya hanya 
ingin menekankan satu hal: generasi terorisme lokal sangat berpotensi 
menjelma terorisme global. Organisasi lokal adalah cikal-bakal dari 
organisasi global. Oleh karena itu, warisan ideologi dan dendam 
kesumat dari generasi itu harus dipotong secara tuntas, sembari 
melakukan antisipasi terhadap munculnya organisasi-organisasi teror 
lokal baru di Indonesia. Karena terbawa arus melawan terorisme 
global, sebagian masyarakat dan aparat pemerintah justru lengah 
terhadap kemunculan organisasi-organisasi teror lokal baru yang 
dengan leluasa melakukan kekerasan, pengrusakan, dan penyerangan 
terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dianggap berbeda 
pandangan. 

Agar cerita DI/NII dan segala turunannya itu tak terulang lagi, dan 
agar organisasi-organisasi lokal tidak bisa dimanfaatkan oleh 
jaringan global yang memungkinkan terjadinya aksi-aksi kekerasan 
seperti yang kita saksikan saat ini, maka diperlukan ketegasan aparat 
pemerintah untuk menindak kelompok-kelompok teror lokal baru itu. 

[Mohamad Guntur Romli]. 




Kirim email ke