Jum'at malam saya mendapat SMS bahwa, Ahmad Fahmy dalam keadaan koma di RS 
Pertamina, setelah mengalami massive stroke di Lombok.

Malam Minggu Fahmy telah tiada, meninggalkan banyak sahabat, dengan berbagai 
kenangan di masa lalu.

Teringat beberapa hari setelah pernikahan (1988), ketika saya dengan istri 
membuka tumpukan hadiah, ada sebuah membuka amplop besar yang menyimpan 
lukisan crayon.
Gambar pemandangan sebuah villa ditepi pantai dengan pohon kelapa, dilukis 
dan ditulis oleh seorang anak, dengan pesan yang berbunyi:  Papa Fahmi 
mengundang kita menginap di Villa mereka, di Anyer.

Hadiah yang begitu simpel, sangat originil, dan begitu indah dan 
mengesankan.

Itulah reflexi dari Ahmad Fahmy, seorang sahabat yang low-profile, sangat 
ramah, dengan tingkat pergaulan yang luas tanpa memandang latar belakang, 
jabatan, kaya atau miskin; semua adalah teman Fahmy.


Selamat jalan sahabat, saya yakin Anda mendapat tempat terbaik disisi Tuhan 
YME.


Wassalam, yhg.
----------------


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/29/utama/xcin01.htm

Minggu, 29 September 2002
Cintaku di Tanamur...
kompas/agus susanto

Didirikan tahun 1970, November nanti dia akan genap berusia 32 tahun. 
Sementara rezim yang tumbuh bersamanya tumbang, Tanamur seperti 
anggur-menjadi "vintage" seiring perjalanan usia. Inilah salah satu potret 
perjalanan dunia hiburan di Indonesia.

"Yang datang banyak, lho. Saya sendiri tidak menduga, waktu itu ada belasan 
pasangan yang datang, yang menyatakan menemukan jodohnya di sini," ucap 
Ahmad Fahmy (60), pemilik Tanamur, mengenai acara bertajuk "I found my love 
in Tanamur" tadi.

Pasti cukup banyak orang, kenangan hidupnya tersangkut di Tanamur. "Itu dulu 
sekolahku...," seloroh Tutie Kirana, yang meramaikan dunia layar perak 
Indonesia utamanya di tahun 1970/ 1980-an. Waktu itu Tutie masih tinggal di 
bilangan Roxy, tak seberapa jauh dari Tanamur. "Saya tiap hari lewat situ, 
kadang mampir sehabis shooting," katanya.

Sedangkan Roy Marten, bintang yang masih bertahan sampai sekarang, mengenai 
Tanamur berujar, "Dahsyat. Di situ kumpul semua kelas, dari kelas pariah 
sampai yang lain-lainnya. Aku ke Jakarta tahun 1973, dulu yang ada hanya 
Tanamur dan Mini Disco. Sekarang semua berkembang, tapi Tanamur tak 
tergoyahkan oleh semua isu. Ramai terus." Dengan ber-seloroh Roy bilang, 
"Aku malah curiga Fahmy kerja sama dengan dokter paru-paru. Setelah dari 
situ, orang pengap oleh asap rokok, harus ke dokter paru-paru, he-he-he...."

URUSAN individu, urusan sehari-hari, dalam studi mengenai gaya hidup toh ada 
yang menganggap punya signifikansi, taruhlah seperti diteorikan Anthony 
Giddens, bagaimana gaya hidup (lifestyles) menata sesuatu menjadi suatu 
kesatuan, menjadi sebuah pola yang kurang-lebih punya keteraturan. Gaya 
hidup itu sendiri adalah praktek hidup sehari-hari (dari individu-individu) 
yang dirutinkan, dan rutin tadi disatukan (biasanya oleh bisnis) menjadi 
kebiasaan berpakaian, makan, cara melewatkan waktu luang, dan lain-lain. 
Studi-studi paska-modernisme banyak sekali mengamati proses reproduksi 
sosial seperti itu.

Malam Minggu awal September lalu Tanamur ramai. Baik bagian luar maupun 
dalam belum selesai proses renovasinya. "Ini masih 30 persen," ucap Ahmad 
Fahmy, atau biasa dipanggil Fahmy begitu saja. Orang tampaknya tak terlalu 
peduli. Cewek-cewek berpakaian ketat, sendiri-sendiri ataupun berombongan, 
hilir mudik. Dari orang-orang pribumi sampai asing, tampil dengan gaya 
masing-masing, termasuk beberapa pria yang tampak "kemayu". "Saya tetap 
ingin mempertahankan ciri awal Tanamur. Di sini serba minimalis, fokusnya 
adalah manusia itu sendiri," ucap Fahmy, di sela-sela dentuman house music 
dan orang yang bergoyang di sana-sini, tidak hanya di lantai dansa.

Tanamur sebetulnya juga bisa dilihat dalam proses konsumsi berikut 
evolusinya, termasuk sampai terbentuknya "masyarakat konsumsi" (consumer 
society) di Indonesia pada tingkat seperti sekarang. Semua ini pasti juga 
tak bisa mengabaikan fase akhir 1960-an dan tahun 1970-an-saat lahirnya 
Tanamur-yang menjadi fase penting dalam perubahan sosial di Indonesia.

"Saya dirikan Tanamur 12 November 1970. Waktu itu diskotek masih hal baru. 
Yang ada kebanyakan waktu itu night club," kata Fahmy. Night club atau klub 
malam yang populer waktu itu taruhlah Tropicana dan LCC.

Begitu belum populernya sebutan disco, discotheque, sampai ketika Fahmy 
datang ke kantor DKI untuk meminta izin, pejabat yang menangani perizinan, 
orang yang kebetulan sudah dikenalnya, menanyakan apa itu disko.

"Disko itu apa?" tanya si pejabat. "Ooh, jadi dikasih pelat begitu?" ucapnya 
ketika diterangkan secara teknis bahwa di situ akan diputar musik dengan 
pelat atau piringan hitam. "Orang akan datang?" tanyanya lagi, masih bingung 
apakah orang akan mendatangi tempat hiburan semacam itu. Si pejabat rupanya 
menaruh iba kepada Fahmy. "Kalau mau band, nanti saya kasih..." cerita Fahmy 
mengenangkan sambil tertawa.

Diceritakan oleh Fahmy, usahanya berkembang perlahan demi perlahan, meski 
diakuinya sejak semula tidak pernah merugi. Pada mulanya, sering sekali 
hanya segelintir orang yang datang. Fahmy mengingat langganan-langganan 
setianya, terutama orang asing dari kedutaan seperti Kedutaan Besar Amerika. 
Katanya, "Pernah suatu malam sepi sekali, tidak ada orang, hanya saya 
sendiri dan tamu itu. Dia tidak pergi, menemani saya, mungkin kasihan pada 
saya."

Begitulah proses terbentuknya suatu pola-dalam hal ini pola hiburan waktu 
senggang-yang terkonstruksi dari rutinitas tadi. Nama-nama tenar mulai 
menyambangi tempat ini, sampai kemudian Tanamur menjadi tempat yang tidak 
asing bagi mereka yang mengikuti irama kehidupan gemerlap metropolitan. 
Sampai sekarang pun, ketika dunia hiburan menjadi fenomena penting ekonomi 
dunia dan di Jakarta bermunculan kafe dan restoran baru, Tanamur tetap 
bertahan. Seorang teman yang tinggal di Paris, setiap kali pulang ke 
Jakarta, ingin merasakan tempat-tempat hiburan malam yang baru di Jakarta, 
setelah berpindah dari satu kafe ke kafe, ujungnya akan kembali ke Tanamur. 
"Ke Tanamur saja, bebas," ujarnya.

***
KOINSIDENSI sejarah tentu ikut melahirkan Tanamur, dimana setelah politik 
kebudayaan zaman Soekarno yang menolak yang serba Barat, masuklah Indonesia 
dalam era yang disebut sebagai Orde Baru berikut berhembusnya "angin dari 
Barat". Sementara kemudian rezim yang tumbuh bersamanya tumbang karena gagal 
mengikuti tabiat kapitalisme yang terus berkembang sampai ke "kapitalisme 
lanjut" seperti sekarang, Tanamur sebaliknya mampu merevitalisasi 
diri-mungkin karena dia persis di detak jantung "kapitalisme lanjut" ini, 
yakni bisnis hiburan.

"Saya lihat, dalam diri pengunjung selalu ada revival. Artinya, mereka yang 
pernah ke sini, kembali lagi setelah tiga-empat tahun kemudian," kata Fahmy.

Dunia hiburan yang digerakkan oleh ekonomi kapitalis, kini sampai ke tingkat 
yang menurut Benjamin Barber disebut secara "kebudayaan telah matang" 
(culturally ripe). Coca Cola dan jeans bukan hanya simbol konsumsi bagi 
mereka yang menyukainya, tetapi juga simbol kebebasan individual.

Dengan itulah sebenarnya dunia konsumsi terus membentuk masyarakatnya. Salah 
satu acara di Tanamur adalah foam party atau "pesta busa". Lewat tengah 
malam, sebuah botol bir raksasa memuntahkan busanya ke tengah lantai dansa, 
mengguyur pengunjung. Manipulasi semangat kebebasan di zaman dimana semua 
hal mengalami proses komodifikasi inilah yang barangkali membikin Tanamur 
terus bertahan, dan kemudian beberapa orang datang lagi, termasuk untuk 
mengenang cinta yang didapat di situ... (BRE)

Reply via email to