Mengambil Buah Dari Arab
      Oleh :    Mochammad Moealliem 
               
              Sewaktu aku kecil kakekku punya tiga        pohon kurma yang 
lumayan tinggi, daun-daun serta        rantingnya pun pernah berfungsi dalam 
berbagai kebutuhan        bahkan terkadang sebagai alat pengobatan, aku pernah  
      melihat pohon itu berbunga, namun ternyata tak berbuah,        entah 
mungkin suhu udara yang kurang panas atau tidak        tahu bagaimana 
menjadikan pohon itu berbuah.
               
              Saya jadi teringat lagu kecilku yang        berbunyi, "mau makan 
nasi gudeg Jogja, tak usah pergi ke        Jogja, cukup hanya disini kita dapat 
menikmati", mungkin        kita cukup tahu resepnya dan bahan-bahan yang 
diperlukan        untuk memasak gudeg kita tentu dapat menikmatinya        
meskipun di ujung padang sahara. Hal demikian banyak        kita dapati dalam 
komunitas masyarakat Indonesia di luar        negeri, bilamana rindu dengan 
suasana dalam negeri maka        kita tak perlu lagi pulang mudik hanya untuk 
membeli        tempe, tahu, bakso, sate, dan lain sebagainya, kita        cukup 
menyiapkan barang-barang yang mendukung lalu        mengimpor yang tidak ada 
dari Indonesia.
               
              Tempe misalnya, adalah makanan istimewa        bagi yang telah 
lama berpisah dengan pertiwi, dan orang        arab (baca:Mesir) tidak 
memproduksi hal itu. Maka tak        perlu lah kiranya mengimpor tempe dari 
Indonesia,        bisa-bisa kalau pakai kontainer, sampai Mesir sudah        
nggak bisa kepakai, cukup mengimpor raginya saja, soal        kedelai apapun 
negaranya kalau dikasih ragi tempe akan        sama hasilnya dengan catatan 
sesuai prosedur        pembuatannya.
               
              Beda negara beda pula budaya, Budaya        negeri manapun kalau 
diberi ragi khusus akan beda        warnanya, tak perlu kita membuang budaya 
yang ada        dilingkungan kita dan menggantinya dengan budaya asing        
secara total, bisa-bisa seperti menanam pohon kurma di        tanah jawa. 
Bahkan bukan hanya budaya saja kita sering        mendapati orang-orang 
mengimpor sacara brutal, namun        norma-norma pun terkadang kita lebih 
merasa norma asing        lebih unggul dengan norma Indonesia.
               
              Ah betapa lebih indah jikalau membiarkan        pohon-pohon kurma 
tetap di padang pasir sementara        buahnya bisa dinikmati di Indonesia, 
tanpa harus        bersentuhan dengan duri-duri pada rantingnya. Betapa        
indahnya jika budaya Indonesia dipadu dengan buah budaya        luar negeri 
tanpa efek negatif budaya luar. Betapa        indahnya budaya indonesia jika 
dipadu dengan sentuhan        ragi Islami, ataupun ragi-ragi yang lain.
               
              Tidak asing bagi kita bahwa kentang        dengan rasa strawbery, 
tape dengan rasa lemon. Bukankah        demikian lebih indah dibanding kalau 
hanya makan tape        dan makan lemon, bukankah sebenarnya kedua rasa itu     
   bertabrakan? Seperti itu jugalah mestinya jika kita        mendapati budaya 
yang bertabrakan, pendapat yang        bertabrakan, pemimpin yang bertabrakan.
               
              Terkadang sebagian orang ingin segala        sesuatu yang instan, 
siap pakai, padahal biasanya        sesuatu yang instan itu berbahaya. 
Pertumbuhan manusia        saja melalui berbagai tahapan dan proses, kenapa 
kita        menginginkan pertumbuhan budaya kita tanpa tahapan dan        
proses? Adalah keliru bagiku jika untuk menikmati buah        Islam harus 
berbudaya persis dengan arab, pakaian dengan        pakaian arab, makanan 
dengan makanan arab, bicara dengan        bahasa arab.
               
              Islam bukanlah model pakaian, bukan        bentuk makanan, bukan 
pula gaya bahasa, Islam adalah        nilai-nilai luhur yang diturunkan dengan 
seting        lingkungan arab. Orang arab dengan orang Indonesia dalam        
menghormati yang lebih tua punya cara yang berbeda        dengan nilai yang 
sama. Orang Indonesia memanggil yang        lebih tua dengan berbagai kata 
mulai kang, mas, cak,        mbak, yu, mpok, keh, de el el. Kalau orang arab 
tentu        tidak seperti itu, saya tidak pernah dengar orang arab        
manggil kakaknya "ya akhil kabir" sebagai ganti kata        "mas".
               
              Betapa setujunya aku dengan peribahasa,        lain ladang lain 
belalang, laik lubuk lain ikannya,        namun tetap saja se-udara (baca: 
sa-udara), biarkan        pakaian kita berbeda, bahasa kita berbeda, makanan 
kita        berbeda, yang perlu kita samakan adalah nilai-nilai        
keluhuran yang ada dalam hati kita. Kalau mau memakai        pakaian, pakailah 
pakaian mana saja, mau arab, jawa,        eropa, indonesia, asalkan nilai-nilai 
luhur dalam diri        kita tetap terjaga.
               
              Jika pakaian bisa memberi gambaran hati        manusia, tentulah 
orang-orang yang berdasi tak akan        korupsi, orang-orang berjubah tak akan 
mengobrak-abrik,        dan menyesatkan orang lain. Namun apakah demikian?      
  Kebanyakan tidak seperti itu. Biasanya pakaian hanyalah        sebagai topeng 
persembunyian dari keadaan hati yang        tidak karuan. Bukankah serigala 
berbulu domba lebih        membahayakan?? Akan lebih aman jika serigala berhati 
       domba.
               
              Biarkanlah Al qur'an turun dengan bahasa        orang Arab, 
asalkan kita bisa mengimpor buahnya.        Dikarenakan orang Arab tidak 
berbahasa jawa, yach        jadinya Alqur'an memakai bahasa Arab.        " 
Sesungguhnya Kami menurunkannya        berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, 
agar kamu        memahaminya."
               
              Coba kalau orang arab zaman turunnya al        Qur'an lisannya 
bicara bahasa jawa, tentulah makna        "qur'anan Arabian" bermakna bahasa 
jawa, sebab ayatnya        bilisanin arobiyin mubin, bukan bi lugotin 
arabiyatin        mubin. Jadi nisbatnya bukan kepada bahasa arab tapi pada      
  lisan orang arab, nah sekarang disebut bahasa arab, jadi        deh 
terjemahnya seperti diatas "dengan berbahasa arab".
               
              Tafsiran itulah yang perlu pembaca        koreksi, soalnya saya 
mencari jalan tengah ketika suatu        saat di bulan romadlon kemarin aku 
menjumpai orang mesir        berdebat dengan orang afrika, orang mesir 
nerjemahin        tanpa tahu cara memasaknya, orang afrika nerjemahin        
dengan bumbu nisbat yang berbeda, jadinya        gontok-gontokan disebuah sudut 
masjid, saya hanya        terdengar sejenak, lalu berlalu sambil berpikir.
               
              Beruntunglah nabi tidak bisa banyak        bahasa, coba kalau 
bisa 10 bahasa, maka Al qur'an akan        mengikuti lisan nabi dengan sepuluh 
bahasa. Apa nggak        malah susah memahami Al qur'an dengan sepuluh bahasa?  
      Yang pakai satu bahasa aja masih mumet.
               
               
              Alliem,
              Cairo, Senin 15 Oktober 2007
              Lisanku jawa meski kadang berbahasa arab


  :::: Mochammad Moealliem :::: 
  :::: http://muallimku.tk/ atau http://muallimku.multiply.com/ ::::
:::::  Bergabunglah! di Komunitas Sahabat Lintas Batas, http://www.kangguru.tk/ 
::



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke