radityo djadjoeri <[EMAIL PROTECTED]> wrote:            From: A.R. Fanani
  E-mail: [EMAIL PROTECTED]
   
  Kanonisasi dan Kekuasaan
  
Kata "kanon" berasal dari peristilahan Gereja Katolik. Ada hubungannya dengan 
penasbihan seseorang yang dianggap luar biasa, sesudah meninggal, menjadi 
"santo" atau "santa. Kata ini menjadi terkenal di kalangan sastra terutama 
setelah terbit buku Harold Bloom, Western Canon. Asal mulanya adalah niat 
memberi informasi kepada masyarakat, tentang apa saja yang layak dibaca sebagai 
buku hebat, dalam rangka meningkatkan dan menyebar-luaskan minat baca. 
   
  Caranya dengan menyusun daftar. Di dalam dunia bahasa Inggris, daftar itu 
dimulai oleh program the Great Books of the Western World. Program ini 
dikembangkan di sekitar pertengahan abad ke-20, sebagai kelanjutan kurikulum 
University of Chicago. Kira-kira sama dengan usaha Universitas Harvard yang 
menerbitkan the Harvard Classics, di tahun 1909. Dari sini mana yang dianggap 
buku unggulan dan klasik diperkenalkan dan ditawarkan ke masyarakat. 
   
  Baik dalam pengertian Gereja maupun dalam pengertian sastra tersusunnya 
"kanon" memerlukan lembaga, kekuasaan dan pengaruh. Akan tetapi jikalau Gereja 
punya doktrin bahwa pucuk pimpinan Gereja Paus, adalah tidak bisa bersalah 
(infallible), dalam dunia sastra tidak begitu. Walaupun wibawa atau otoritas 
Harold Bloom atau Universitas Chicago diakui luas dan daftar "buku bagus" itu 
mempunyai pengaruh yang kuat, tidak ada yang akan menganggap mereka tidak bisa 
bersalah. Jadi tidak mutlak, begitulah.
   
  Maka "kanon" sastra selalu dapat ditolak atau dicuekin. Kalau Universitas 
Indonesia dan HB Jassin memasukkan "X" dalam daftar karya "hebat" dan karya "Z" 
tidak, universitas lain, kritikus lain, dan para pembaca dari Sabang sampai 
Merauke tidak otomatis akan mengatakan "ya, pak". Hegemoni (istilah Eka 
Kurniawan) Jassin dan lembaga di belakang beliau boleh-boleh saja diakui, akan 
tetapi tidak pernah mutlak. 
   
  Juga karena hegemoni itu dapat saja terjadi karena bantuan pasar bebas. Maka 
Eka Kurniawan tepat sekali mengatakan bahwa memang ada hegemoni dalam sastra, 
akan tetapi kita dapat tidak sepakat tentang siapa yang mempunyai hegemoni itu. 
Bahkan kekuasaan negara tidak dapat menentukan 100%. Malahan kanon dapat 
terjadi justru karena mau lain atau bandel atau "kontra" terhadap sebuah 
keputusan negara. Contohnya: karya Boris Pasternak dan A. Solzhenitisyn menjadi 
diakui hebat karena dilarang pemerintah komunis di Uni Soviet. Karya Pramoedya 
Ananta Toer jadi terkenal ke seluruh dunia dan dibaca dengan asyik oleh para 
pemuda karena dilarang Orde Baru.  Maka apa itu kekuasaan dalam menentukan 
kanon? Yang pasti, tidak datang dari satu sumber saja.
   
  Yang diuraikan Saut Situmorang dalam "Politik Kanonisasi Sastra" terlalu 
simplistis. 
   
  ----------

  Tulisan ini tayang di blog ACI:
   
  http://artculture-indonesia.blogspot.com
   
   


  e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   
  __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

                         


e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke