From: Rizka Maulana, Bogor
  E-mail: [EMAIL PROTECTED]
   
   
   H.B. Jassin 
  
Saya mengirimkan sebuah wawancara lewat e-mail untuk Nirwan 
  Dewanto dan Saut Situmorang, sayang sekali kedua beliau itu tidak 
  menjawab  Maksud saya untuk menjernihkan beberapa fakta dan 
  pendapat.
 
Ya, tidak apa-apa. Kebetulan saya mendapatkan e-mail dari Mas Andar 
  Manik yang sekarang ini sedang mengikuti training tambahan 
  perpustakaan di ANU, Canberra, dan mengaku tidak sempat aktif lagi 
  dalam milis. Dalam e-mailnya ia meminta saya mengemukakan hasil 
  "galian" yang didapatnya dari koran dan majalah lama.  Sebagai 
  bahan tambahan bagi para peserta kongres cerpen ke-5 di Banjarmasin 
  yang tentunya wajib membaca makalah "Politik Kanonisasi Sastra" karya Saut 
Situmorang. 
 
Saya susun temuan Andar Manik begini:
 
Satu
   
  H.B. Jassin pertama kalinya disebut sebagai "Paus Sastra" 
  Indonesia oleh Gayus Siagian, akan tetapi sebagai hasil 
  pengatamannya tentang kritik sastra Indonesia waktu itu yang 
  menurut Gayus Siagian tidak menggembirakan.  Jassin mula-mula 
  memimpin majalah sastra Kisah, kemudian Sastra. Kisah  berhenti 
  terbit di tahun 1959.  Majalah Sastra ditutup setelah Manifes 
  Kebudayaan (Manikebu) dilarang Presiden Sukarno di tahun 1964. 
   
  Jassin juga ikut memimpin majalah Zenith bersama Darsjaf Rachman 
  (berhenti 1953) dan Seni (berhenti 1955). Di masa itu ada beberapa 
  majalah kebudayaan:  Indonesia (diterbitkan oleh Badan Musyawarah 
  Kebudayaan Naisonal),  lalu ada Budaya dan Basis, kedua-duanya terbit di 
  Yogyakarta. 
 
Masa ke-Paus-an Jassin tidak berlangsung tanpa berhenti dan tanpa 
  saingan.
 
Dua
   
  Jassin duduk di Majalah Horison sejak tahun 1966, akan tetapi 
  beliau tidak sendirian. Di sampingnya: Arief Budiman, Goenawan 
  Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, dan Mochtar Lubis. 
 
Pada waktu yang hampir bersamaan, beliau memimpin majalah Sastra 
  kembali.  Dari majalah Horison muncul nama Sutardji Calzoum Bachri 
  dan Danarto. Apabila Majalah Horison memperkenalkan bentuk-bentuk 
  eksperimental, majalah Sastra tidak demikian. 
 
Berarti, dengan kedua majalah itu, penilaian tentang sastra bisa 
  sangat berbeda, meskipun Jassin berperan di kedua-duanya. Atau ada 
  kemungkinan Jassin merasa di majalah Horison ia tidak dapat 
  menentukan sendirian pilihannya karena redaksi yang lain.   
 
Tiga
   
  Di tahun 1968 majalah Sastra memuat cerpen "Langit Makin Mendung" 
  oleh Ki Panji Kusmin. Gara-gara itu, Jassin dihukum.  Cerpen itu 
  dianggap menghina Tuhan. Ki Panji Kusmin jadi terkenal namanya, akan 
  tetapi kemudian ia menghilang dari dunia penulisan. Entah ke mana.  
  Karyanya tidak pernah lagi dibicarakan. 
 
Berarti, seorang pengarang yang dijadikan terkenal oleh Jassin  (atau mungkin 
juga oleh heboh dan pelarangan) tidak otomatis menjadi "kanon" yang bertahan.
 
  Kesimpulan
  
Makalah Saut Situmorang yang menggambarkan  HB Jassin sebagai penentu  "kanon" 
sastra Indonesia  tidak berdasarkan data-data sejarah.
  Makalahnya ditulis berdasarkan praduga dan angan-angan.
  
 
Data dari Andar Manik . Komentar dari hamba, Rizka Maulana . 

  --------------------------
   
  Tanya:

Kang Rizka punya naskah "Langit Masih Mendung"? Boleh dikirim via email, kalau 
ada? Nuhun......
   
   
   
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to