Teater: Konyolnya SS dan GG (Heri Hendayana)
   
  Secuil catatan untuk SS:
   
  Selamat pagi menjelang siang Saut Situmorang, komandante pasukan SS yang 
rajin menyerang dengan garang sambil bawa parang. Sudahkah bangun dari tidur 
yang tak nyenyak, atau malah lagi sarapan sembari ngopi tubruk dan baca KR 
bareng Mbak Katrin Bandel? 
   
  Begini Saut. Tanggapan Anda sebaiknya ditujukan kepada Bung M. Guntur Romli, 
kurator TUK, bukan kepada saya. Jadi sungguh keliru kalau emailmu menyebut nama 
saya, karena saya belum pernah memberi tanggapan soal makalah Anda yang 
memaparkan tentang keberadaan TUK. Untuk izin ketawa di milis pun tak perlu 
menghiba-hiba kepada saya. Itu wewenang SBY, Menkominfo dan Kapolri. Sembahlah 
mereka, biar izinnya cepat turun.
 
Kalau boleh saya menanggapi, banyolan dari Anda tentang TUK kok jadinya malah 
muter-muter tidak karuan ya? Saya belum tahu apakah Bung M. Guntur Romli masih 
akan menanggapinya atau tidak, mengingat Anda sepertinya bukan pembaca dan 
penyimak yang baik (mungkin kebanyakan bir pilsener, ganja dan sabu-sabu?). 
Atau memang sengaja mau muter-muter, sekadar ingin membingungkan semua orang 
yang tidak ingin berbingung-bingung?
 
Singkatnya begini saja:
   
  PERTAMA
   
  Yang kita permasalahkan adalah "makalah" yang Anda tuliskan, dimana isinya 
penuh dengan gosip yang tidak berdasarkan fakta. Sehingga itu tak pantas 
disebut makalah yang umumnya dipaparkan pada sebuah forum ilmiah. Mungkin 
pantasnya disebut saja "Selebaran Boemipoetra" atau "Buletin Sautisme" sahaja. 
   
  Beberapa pertanyaan dari  Sitok Srengenge juga tidak Anda jawab. Padahal 
gosip murahan tersebut Anda cantumkan di makalah Anda. Kalau Anda tidak 
merevisinya, bisa berabe binti berbahaya. Apalagi kalau gosip itu dikutip oleh 
pewarta di Kalimantan yang tidak tahu apa-apa tentang polemik yang Anda 
cuatkan. Artinya Anda yang telah menabalkan diri sendiri sebagai "politikus 
sastra" sudah menyebarkan kebohongan ke masyarakat (baca: kebohongan publik) 
melalui ajang Kongres Cerpen dan media. Kalau begitu, Anda memang lebih pantas 
jadi politikus penyebar gosip murahan daripada sebagai sastrawan.
 
KEDUA
   
  Adalah hak "Komunitas Utan Kayu" (KUK) untuk menamai sebuah ruangan 
beraktivitas seninya disebut "Teater Utan Kayu" (TUK). Mau punya kelompok 
teater atau tidak, itu terserah mereka. Kalau Anda punya sebuah komunitas seni 
budaya, lalu kalau ada sebuah ruangan yang Anda namai "Kakus Saut" atau "Toilet 
Orkestra Saut", juga terserah Anda. Orang lain boleh protes, tapi itu hak Anda 
sepenuhnya untuk menamainya seperti itu. Yang penting: karya, karya, karya!
 
KETIGA
   
  Kalau Anda simak baik-baik koreksian dari Bung MG Romli, dia dengan gamblang 
menjelaskan apa beda KUK dan TUK. Berungkali sudah dijelaskan bahwa TUK 
hanyalah salah satu bagian dari aktivitas KUK. Itu intinya. Sementara di 
makalah Anda, yang mustinya tertulis KUK, Anda tulis TUK. Mabuk bir boleh, tapi 
jangan salah nulisnya dong. 
 
Sekian dulu.
 
salam anget,
 
RD 
  lagi menyantap gado-gado betawi
   
  ______________________________
  
Secuil catatan untuk GG:
   
  Gola Gong alias Heri Hendrayana sebagai pimpinan (pimpinan lho ya) Rumah 
Dunia mustinya lebih teliti saat menulis sebelum dilempar ke publik. Lihat, 
terlalu banyak kesalahan ketik. Apa itu bisojop, pas-pasa, sayaq, piker, ay 
abaca, trater, ngeliweut, misalnyua, pislah? Anda juga tidak konsisten dengan 
pemakaian titik dan koma. Apakah itu Bahasa Banten, atau bahasa khusus ala suku 
Ode Kampung? Saya simak, bukan postingan ini saja Anda bikin adegan salah 
ketik, tapi sudah berkali-kali dilakukan sebelumnya.  
   
  Lalu kalau sosok seperti pimpinan Rumah Dunia ngajari nyuri ayam (boleh 
dibaca: bangga dengan tradisi nyuri ayam), bagaimana Banten bisa maju?
   
  salam keok-keok kokokpetok,
 
RD 
  lagi menyantap ayam rica-rica hasil curian
   
  ________________________________________
   
  Berikut tanggapan dari Mbak Tuty Umayati Kusworo dan saya sertakan postingan 
sebelumnya (dari SS, GG, dan Mohamad Guntur Romli):
   
  From: Tuty Umayati Kusworo
  E-mail: [EMAIL PROTECTED]
   
      
"Teater"
   
  Kalau  Saut Situmorang menyangka "Teater Utan Kayu"  sebagai "kelompok 
teater", maka ia bisa menduga "Jakarta Theater" yang dulu merupakan gedung 
bioskop, (atau Teater Arena di TIM yang dulu dipakai untuk pementasan dan 
diskusi),  juga sebagai  "kelompok
teater"  seperti "Teater Koma". Sebuah kesalahan yang sangat menggelikan 
sekali. 
   
  Kalau "teater" dianggap bahasa Inggris yang asing, dan dengan lagak rendah 
hati seorang jawara Banten mengatakan, ah, kami mah pakai bahasa orang kampung 
saja,  maka
bagaimana orang itu akan main "badminton" dan mau meminjam atau membeli  
"komputer" (yang berasal dari "to compute"). 
   
  Jawaban Saut Situmorang dan posting Gola Gong menanggapi koreksi dari Mohamad 
Guntur Romli tentang "Teater Utan Kayu" membuat aku geleng-geleng kepala. 
  
  _____________________________________________
  
From: Heri Hendrayana
  E-mail: [EMAIL PROTECTED]
   
  Heehehe...
Iya. Bahasa Inggris saya juga pas-pasa. Saya sempet berpikir, ketika ada 
penjelasan "teater utan kayu" itu tempat, Saya jadi ingat bisojop jaman saya 
remaja. Di Bandung ada Dian theatre, Ada lita theatre. Sayaq sempet nanya sama 
emak, theatre itu boleh 
  nggak ay abaca teater. Kata emak, "Suka-suka kamulah. Yang penting nulisnya 
'theatre' dan artinya sebuah tempat, bukan kelompok."
   
  Nah, pas "teater utan kayu", saya piker itu sudah diindonesiakan. Tidak 
apa-apa. Ini menarik. Kita diskusikan saja. Siapa tahu  "trater" bisa diusulkan 
ke pusat bahasa sebagai "tempat". Atau sudah? Itulah sebabnya, kenapa nama2 
kegiatan di rumah dunia, tidak 
  didominasi inggris. Kami nggak becus ngomong inggrisnya. "Ode Kampung", ini 
  juga kecentilan kami. Biar genit aja. Kebanyakan sih di rd memakai  bahasa 
lokal,

  Misalnyua kegiatan "gonjlengan" adalah diskusi. Gonjlengan itu  tradisi 
anak-anak Banten, setiap malam minggu, ngumpul begadang, ngerumpi ini-itu 
sambil ngeliweut dan bakar ayam. Nge-gonjleng. Dan ayamnya  dapet nyuri, 
hehehee...
   
  Ada kegiatan "Keranda Merah Putih", "Pesta Anak", "Kado Lebaran", "Tawuran 
Seni", "Gonjlengan Wacana", dll...
   
  Tetap semangat berkarya dan pislah
  
gg
   
  _____________________________________
   
  From: Saut Situmorang, Yogyakarta
  E-mail: [EMAIL PROTECTED]
  Subject: Re: Koreksi Untuk Saut Situmorang
   
  hahaha... (boleh ketawa kan di internet, radityo!)
  akhirnya kenak ya!
  
nama kalian itu kan sebuah terjemahan yang "salah"
dari istilah biasa dalam bahasa inggris. misalnya,
embassy theatre, ato mataram theatre. rujukannya jelas
memang sebuah "tempat" di mana acara-acara seni
pertunjukan, termasuk film tentunya, diselenggarakan.
kalok mo yang lebih detil lagi soal definisi
"theatre/theater", silahkan cek kamus inggris yang
bagus semacam oxford english dictionary (oed).
saya tidak salah dalam tulisan saya itu!
  
saya memang menyindir "kekenesan" Teater Utan Kayu
dalam memilih nama buat dirinya! sok
kebarat-baratanlah, ngutip sebuah nama/istilah dari
barat sono dan plok dicantumkan pada dirinya!
nah waktu saya mainkan seperti dalam tulisan saya itu,
terasa kan ecek-ecekannya!
  
pemakaian bahasa indonesia yang sok nyentrik begini
memang sudah jadi ciri teater utan kayu. lihat aja tuh
prosa dan puisi made in teater utan kayu, plus prosa n
puisi yang dimuat dalam kalam n koran tempo bahkan
puisi minggu kompas era hasih amini.
   
  di mana benernya pemakaian istilah "teater" spt pd
"teater utan kayu" dalam bahsa indonesia kalok gak
merujuk pada sebuah kelompok "teater"! sebuah kelompok
yang kerjanya, yah... berteater!
   
  tidak ngonteksnya istilah "teater" pada nama kalian
itu merupakan plesetan-freudian atas psikologi kalian
sendiri, hahaha...
   
  silahkan didebatkan lagi bener-tidaknya istilah
"teater utan kayu" dalam bahasa indonesia!
kalok pengen banget berbahasa inggris biar kelihatan
keren, walopun kemampuan pas-pasan, hehehe..., tukar
dong tuh nama jadi "UTAN KAYU THEATRE/UTAN KAYU
THEATER"!!!
   
  gitu aza kok repot!
   
  hahaha...
   
  -Saut Situmorang
   
  _________________________________________
   
  Koreksi Untuk Saut Situmorang
   
  Oleh Mohamad Guntur Romli.
  Kurator TUK, Jakarta.
   
   
  Makalah Saut Situmorang, “Politik Kanonisasi Sastra”, yang ditulisnya untuk 
Kongres Cerpen V di Banjarmasin, menjelang akhir Oktober 2007 ini, membidik 
sebuah sasaran utama: TUK. Bagi Saut, TUK adalah biang keladi “politik 
kanonisasi sastra” yang tidak sehat yang berlangsung sekarang.
   
  Tetapi Saut tak mengerti apa sebenarnya TUK. Dia mengatakan, TUK adalah 
sebuah “kelompok teater”. Katanya pula: inilah “kelompok Teater yang tidak 
pernah mementaskan produksi teater”.
   
  Ini sebuah kesalahan yang lucu. Atau kesalahan yang disengaja, untuk 
menciptakan “musuh”.
   
  Sebab kata “teater” dalam “Teater Utan Kayu” lain dari kata itu dalam nama 
“Teater Garasi”, “Teater Mandiri” atau “Teater Koma”. Mereka ini grup seni 
pertunjukan yang bekerja untuk mementaskan karya-karya yang mereka pilih. 
Sedangkan kata “teater” dalam kasus TUK berarti lebih “harfiah”: sebuah ruang 
pertunjukan.
   
  Ruang pertunjukan atau teater ini terletak di bawah sebuah bangunan di bagian 
belakang Jalan Utan Kayu 68-H ini (karena itu disebut “Teater Utan Kayu”). 
Bentuknya semacam “arena”, meskipun tidak sempurna, sebab harus disesuaikan 
dengan bangunan di atasnya. Teater ini bisa menampung penonton maksimum 75 
orang; mereka semuanya duduk di atas papan atau lantai. Para hadirin tidak 
dipungut karcis. Seorang pengurus TUK kadang-kadang mengedarkan tampah (nyiru) 
ke penonton menjelang pertunjukan, untuk menerima sumbangan serelanya.
   
  Walhasil, Teater Utan Kayu adalah sebuah tempat, bukan sebuah “kelompok”. 
Inilah tempat buat pementasan tari, teater, diskusi, pemutaran film, pembacaan 
karya sastra. Juga rapat dan pertemuan.
   
  Sebab itu ajaib sekali bila Saut mengatakan, “TUK adalah satu-satunya 
kelompok teater di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk 
mendominasi dunia sastra kita.”
   
  Bagaimana mungkin sebuah ruang pertunjukan punya ambisi untuk mendominasi 
dunia sastra Indonesia?
   
  Memang ruang pertunjukan ini ada pengelolanya. Tapi mereka yang mengelola 
acara di teater ini bekerja untuk menyelenggarakan acara tari, diskusi (sekitar 
agama, filsafat, seni dan kebudayaan), film, teater, dan musik. Acara sastra 
(pembacaan karya kreatif) hanya salah satu saja dari kegiatan yang ada, dan 
bahkan yang paling jarang.
   
  Para pengelola acara itu disebut “kurator”. Yang sekarang bekerja sebagai 
kurator TUK adalah Asikin Hasan (untuk seni rupa), Sitok Srengenge (untuk 
sastra dan teater), Tony Prabowo (untuk musik dan tari), Mohamad Guntur Romli 
(untuk acara diskusi), Hasif Amini (untuk program pemutaran film dan mengelola 
jurnal kebudayaan Kalam). Nirwan Dewanto bertindak sebagai koordinator mereka.
   
  Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Komunitas Utan Kayu, yang tidak lagi 
jadi kurator, terkadang ikut hadir dalam rapat dan pertemuan, tetapi tidak 
punya posisi untuk memutuskan dalam soal pengisian acara TUK. Demikian juga Eko 
Endarmoko, yang bekerja untuk Kalam.
   
  Jurnal Kalam – satu-satunya “unit” yang lebih langsung berhubungan dengan 
sastra dan dunia penulisan – paling banter hanya bisa terbit dua kali setahun. 
Dulu jurnal ini dibiayai majalah Tempo. Sejak Tempo dibredel sampai setelah 
Tempo terbit kembali, Kalam harus cari biaya sendiri, terutama dari sumbangan 
pribadi atau sisa dana dari sebuah acara. Sekarang, antara lain karena alasan 
dana pula, Kalam. muncul on-line.
   
  Para kurator, yang punya kegiatan lain atau sumber mata pencaharian 
sendiri-sendiri bertemu seminggu sekali, tiap hari Rabu (atau seminggu dua 
kali, jika dibutuhkan). Rapat Rabu itu khusus membahas rencana apa saja yang 
akan dipertunjukkan di TUK dalam bulan-bulan mendatang. Sekali lagi, porsi 
acara sastra sangat sedikit.
   
  Di luar TUK, Nirwan Dewanto bekerja sebagai redaktur sastra Koran Tempo dan 
Hasif Amini sebagai redaktur puisi Kompas. Tetapi mereka ada di sana karena 
mereka diminta oleh redaksi koran-koran itu. Untuk bekerja di luar TUK itu, 
baik Hasif maupun Nirwan tidak perlu minta ijin kepada rekan-rekannya di dewan 
kurator. Bahkan mereka tak pernah membicarakan pekerjaan mereka di dalam 
pertemuan tiap Rabu itu.
   
  Satu informasi lagi: TUK merupakan salah satu unsur dalam kegiatan Komunitas 
Utan Kayu (KUK).
   
  Komunitas ini terdiri dari para aktivis kesenian (para kurator TUK), aktivis 
media (yang tergabung dalam Institut Studi Arus Informasi, ISAI), para wartawan 
Kantor Berita 68-H serta para pengajar dan pengurus sekolah media penyiaran, 
serta aktivis Jaringan Islam Liberal. Langsung atau tak langsung, mereka 
bekerja sama dengan aktivis lain dalan soal hak-hak asasi, khususnya hak 
kebebasan berpikir dan bersuara.
   
  Sejarah KUK memang dimulai di tahun 1996 sebagai salah satu tempat pergerakan 
pro-demokrasi. Lahirnya KUK dipelopori oleh para aktivis Aliansi Jurnalis 
Independen (AJI) yang bekerja dengan media alternatif ("gelap") untuk melawan 
sensor rezim Suharto, a.l. Andreas Harsono, Ayu Utami, Goenawan Mohamad, Ging 
Ginanjar, , Irawan Saptono, Santoso, Stanley Adiprasetya, dan Tedjobayu. Yang 
mereka dirikan mula-mula adalah ISAI,  tak lama setelah AJI dinyatakan digrebeg 
dan tiga anggotanya dipenjarakan.
   
  Untuk itu, mereka mendapat ruangan di bangunan yang semula dipakai bagian 
penerbitan buku majalah Tempo yang bangkrut. Dari pelbagai kegiatan ISAI, 
berkembanglah ruangan-ruangan yang semula untuk pertemuan-pertemuan “gelap”. 
Ruangan itulah yang kemudian dipakai buat stasiun Radio 68-H dan kegiatan 
kesenian.
   
  Mengapa disebut “komunitas”? Pertama, karena memang para aktivis itu tidak 
tergabung dalam satu organisasi. Maka kata “komunitas” dianggap lebih tepat.
   
  Nah, ini sebuah saran. Supaya Saut Situmorang dan siapa saja tidak salah 
membayangkan TUK, silakan datang ke Jalan Utan Kayu 68-H. Silakan lihat dan 
tilik sendiri dari dekat apa dan bagaimana TUK itu sebenarnya. Bukan 
berdasarkan “konon” atau “kata orang” – apalagi fitnah.
  

Mohamad Guntur Romli
Kurator Diskusi di Teater Utan Kayu
Jl Utan Kayu No.68H Jakarta
Telp 0815-1319-1313 



e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke