Saut Situmorang menebarkan makalah "kabar angin"
  
Secuplik pengantar dari saya:
  
Dengan membaca postingan ini, semoga Saut Situmorang (SS) dan  bonek-boneknya 
--serdadu SS -- tidak masuk angin, karena terlalu  sering menebarkan kabar 
angin. Konon, menurut sahibul hikayat,  kalau ada orang yang demen menebar 
angin, itu akan menuai badai dahsyat. Saut yang lagi panas dingin dengan sastra 
berbau politisi, ingin? Atau sekadar ingin 
  menebarkan kanonisasi konon dan kononisasi kanon kah?
 
Salam semangat,
   
   
  RD
suka jeprat-jepret dengan kamera merk Canon
   
  _____________________________
   
  Catatan untuk Politik Kanonisasi Sastra
   
  Oleh E. Endratmoko
   
  Saut Situmorang, melalui makalahnya "Politik Kanonisasi Sastra"  Saut 
Situmorang (untuk Kongres Cerpen ke-5 di Banjarmasin, 26 Oktober 2007), 
bermaksud menunjukkan bagaimana karya itu diunggulkan jadi "kanon", bukan 
karena teks itu sendiri, tetapi karena peran politik dan kekuasaan.  Saya tidak 
akan membantah teorinya, tetapi saya lihat pandangannya  tentang sastra 
Indonesia itu kurang berdasar penelitian tentang sastra Indonesia sendiri. Saya 
akan menunjukkan lima contoh.
  
Pertama:
   
  Menurut Saut, Dalam sastra Indonesia persoalan "mutu" sebuah karya sastra 
selalu dikaitkan dengan sifat "universalitas". Dalam sejarah sastra Indonesia, 
keadaannya tidak selalu demikian. Pengaitan "universalitas" malah pernah 
ditentang setidaknya oleh tiga kalangan:
   
  (a) Di kalangan "angkatan terbaru" sastra Indonesia yang  diproklamasikan di 
tahun 1959 oleh Ajip Rosidi. Lihat  uraian Ajip  Rosidi dalam bukunya Kapan 
Kesusastraan Indonesia Lahir? Angkatan  ini membedakan diri dari angkatan 45 
yang menurut Ajip jendelanya hanya terbuka ke Eropa, sedangkan "angkatan 
terbaru" menampilkan warna "daerah" dalam kebudayaan nasional. 
   
  (b) Di kalangan Lekra, yang mengutamakan kesusastraan yang berwatak kelas, di 
tahun 1950-an sampai dengan 1960-an.
   
  (c) Di kalangan penganjur "sastra kontekstual",  seperti dapat dibaca dalam 
buku yang disusun Ariel Harjanto, Perdebatan Sastra Kontekstual, di tahun 
1980-an.
  
Kedua:
   
  Menurut Saut, selera HB Jassin menentukan bermutu-tidaknya karya sastra 
Indonesia pada zamannya. Kata Saut: "Jassin bukan cuma 'Paus Sastra Indonesia' 
tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri!" Menurut catatan sejarah, Jassin 
memang berpengaruh, akan tetapi tidak menentukan. Saya akan melengkapi apa yang 
sudah dikemukakan Rizka Maulana dalam milis dan blog ACI. Di tahun 1950-an, 
Jassin memimpin majalah sastra Kisah, ikut dalam redaksi majalah kebudayaan 
Zenith. Kemudian di tahun 1960-an ia juga memimpin Sastra.  
   
  Akan tetapi sejak tahun 1950-an, ada majalah kebudayaan lain di mana Jassin 
tidak memegang peranan. Misalnya majalah Indonesia, (diterbitkan oleh Badan 
Musyawarah Kebudayaan Nasional) dan majalah Basis yang sekarang masih hidup.
   
  Di samping itu  di masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965), ada lembaran Lentera 
Pramoedya Ananta Toer.Bahkan kemudian HB Jassin "tenggelam", ketika Manikebu 
dilarang dan Sastra (majalah yang memuat Manifesto itu) tutup di tahun 1964. 
Masa itu yang menentukan adalah politik sastra Lekra dan Lembaga Kebudayaan 
Nasional (LKN) dengan tokoh-tokoh macam Pramoedya Ananta Toer dan Sitor 
Situmorang.  Masa ini berakhir dengan datangnya rezim Orde Baru di tahun 1966. 
   
  Di tahun 1966, nama Jassin muncul di majalah Horison, tetapi dia tidak 
sendirian di majalah itu.  Dalam daftar nama redaksi majalah ini terdapat Arief 
Budiman, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono dan lain-lain. 
Tidak lama kemudian, Jassin sendirian memimpin majalah Sastra yang terbit 
kembali  Tetapi Sastra tidak bertahan lama. Di tahun 1968 majalah ini memuat 
sebuah cerpen yang dianggap menghina Tuhan, "Langit Makin Mendung", dan Jassin 
dijatuhi hukuman dengan masa percobaan.
   
  Di samping itu juga menonjol majalah Budaya Jaya yang dipimpin Ajip Rosidi.  
Peranan Ajip dalam "kanonisasi" sangat besar karena antologi sastranya, Langit 
Biru, Laut Biru (1976?
   
  Ketiga: 
   
  Menurut Saut, dalam masa Horison, "hanya karya-karya apolitis yang 
eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah 
cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia." Saut menyebut 
contohnya: fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji 
Calzoum Bachri. Tetapi yang tidak disebut Saut, dalam masa Horison juga sangat  
menonjol cerpen Umar Kayam, misalnya "Bawuk", "Musim Gugur Kembali  di 
Connecticut" yang realis dan berinti pembunuhan dan pengejaran orang PKI 
setelah 1965.
   
  Di tahun 1966, di Horison juga dimuat prosa non-fiksi berjudul "Perang dan 
Kemanusiaan", kenang-kenangan Usamah mengenai pembantaian orang PKI. Karya ini 
diterjemahkan oleh jurnal Indonesia di Cornell University.
   
  Keempat:
   
  Menurut Saut, para sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison 
"memilih ideologi berkesenian 'seni untuk seni', art for art's sake, l'art pour 
l'art". Dalam kata lain, memilih prinsip "Estetisisme adalah Panglima".
   
  Dalam dokumentasi atau arsip majalah itu, tidak pernah ada pernyataan atau 
indikasi bahwa menjadi sastrawan Horison memilih ideologi 'seni untuk seni' dan 
'estetisme sebagai panglima'. Apalagi jika dikaitkan dengan Manikebu. Sebab 
bertentangan dengan dugaan Saut, dalam teks yang disiarkan Majalah Sastra di 
tahun 1963, salah satu pernyataan Manifes(to) Kebudayaan adalah justru menampik 
'estetika di atas politik'.  Manikebu menganggap pendirian itu, (sama halnya 
pendirian 'politik di atas estetika'), mengandung "kontradiksi-kontradiksi". 
"Fungsi estetik murni", kata Manifes Kebudayaan, "adalah suatu imperialisme 
estetika".
   
  Kelima:
   
  Menurut Saut, seksualitas, konon, (mengapa "konon", Saut?)  adalah isu yang 
paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, 
para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.
   
  Saut juga menyebut "standar buka-bukaan Ayu Utami". Akan tetapi luas 
diketahui bahwa Ayu Utami, sastrawan perempuan  yang dianggap Saut membawakan 
"standar buka-bukaan", dikenal sebagai penulis novel Saman dan Larung. Kedua 
novel itu tidak melulu berbicara tentang sekualitas. 
   
  Seperti dinyatakan Ratih Ganda Saputra dalam milis dan blog ACI, kedua novel 
Ayu (yang belum menerbitkan novel yang lain) adalah novel politik. Ayu Utami 
sendiri aktivis dan pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang melawan 
rezim Orde Baru. Kita tidak tahu waktu itu Saut entah di mana. 
   
  Tokoh utama Saman adalah seorang mantan pastur muda yang terlibat dalam 
perlawanan petani yang digusur perusahaan kelapa sawit. Dalam Larung, tokoh 
utamanya ikut terlibat dalam pelarian para aktivis yang menentang rezim Orde 
Baru dan akhirnya ditembak mati oleh tentara.
   
  Demikianlah saya kemukakan bagaimana makalah Saut tidak didasarkan (atau 
memelintir?) fakta-fakta sejarah sastra Indonesia.  Kelihatannya Saut memang 
mampu sekali mengabaikan fakta. Contoh lain dalam makalahnya, ia mengatakan 
bahwa Sitok Srengenge, kurator TUK, pernah mengatakan bahwa "sastrawan 
Indonesia baru dianggap sebagai 'sastrawan Indonesia' setelah diundang dalam 
acara sastra TUK....."
   
  Tetapi Saut tidak dapat menyertai bukti tertulis maupun saksi-saksi yang 
menunjukkan Sitok Srengenge pernah mengatakan demikian. Boleh dikatakan, 
makalah Saut adalah makalah "kabar angin". 
   
   
  Salam,
   
   
  E. Endratmoko
   
   


e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke