Tulisan ini kami anggap cukup bagus, maka saya forward ke milis ini.

Budiman

----- Original Message ----- 
From: Dyah Retno Mulyandari



 
On 11/6/07, [EMAIL PROTECTED]  wrote: 

  Kebijaksanaan Cendol
  Emha Ainun Najib
  Indonesia Bagian dari Desa Saya



  Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kyai itu merasa harus 
menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, 
sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret desa, 
model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang Tamu besok mungkin akan 
mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi itu 
bukan masalahnya. Yang penting Kyai kita ini tidak akan mungkin menyediakan 
Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu. 

  Demikianlah akhirnya sekalian Santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah 
(Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan 
grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur 
asem dengan snack lemet dan limpung.

  Sang Kyai sendiri "cancut tali wondo" mempersiapkan suguhan siang hari yang 
diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam 
tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung 
kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kyai sudah 
memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat 
jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah. 

  Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

  Masih banyak, pak ?
  Masih Den, Wong baru saja bukak beberan

  Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa ?
  Pak Cendol kaget, Lho, Jangan Den ! Jawabnya spontan

  Sang Kyai pun tak kalah kagetnya : Kok Jangan ?
  Lho, Kalau dibeli semua, bagaimana saya bisa berjualan ?

  Sang Kyai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya.
  Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan 
lagi disini hari ini.

  Pak Cendol tertawa dan sang Kyai makin terperangah.
  Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres ?

  Pak Cendol makin terkekeh.
  Panjenengan ini bagaimana tho den !  Kalau dagangan saya ini dibeli semua, 
nanti kalau orang lainnya mau beli bagaimana ! Mereka kan tidak kebagian !

  Knock-Outlah Sang Kyai
  Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata : 
Maafkan, maafkan saya pak. Baiklah sekarang bapak kasih berapa saja yang bapak 
mau jual kepada saya. 

  Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian 
mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang.
  Sesampainya di Pondok ia langsung memberikan cendol ke dapur dan memberi 
beberapa penugasan kepada santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur 
dan mengucapkan istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang. 

  Alangkah dini pengalaman batinku gumannya dalam hati. Sembahyang dan latihan 
hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa 
itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat 
kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap 
punya dharma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya. 

  Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia !





 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke