Oleh TULUS SUDARTO

  Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat
mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas
berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya,
zaman sekarang tidaklah begitu "memedulikan" nama.

Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama
"Andreas Surya Saputra" untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang
Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor
yang bertugas di Semarang memiliki nama "Ibn Fajar Muhammad".

Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok
hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan
tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan
satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong
garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.

Sebutan "romo" tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan
tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki.
Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif
menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub
sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai "mesias" (lihat
Majalah Bola).

Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal
khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar.
Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.

Berkaitan dengan proses demikian, nama "Andreas" termasuk satu dari
sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam
gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang
dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung
tidak bisa serampangan.

Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa.
Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas
genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur
masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan
masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa
mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan
sebagai penyandang status subordinat kultural.

Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat
dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang
digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi
kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer,
segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis.
Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta
kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara
reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.

Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur
franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita.
Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar
Indonesia. Atau, "nama Indonesia" sekadar ilusi?

Berarti selama ini saya salah sangka.

TULUS SUDARTO

Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang 
   
  Pranala:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/09/utama/3975567.htm




blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com 
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke