dari blog ACI: http://artculture-indonesia.blogspot.com/2007/11/jangan-sepelekan-pembungkaman.html Jangan sepelekan pembungkaman! Untuk A. Kohar Ibrahim
Oleh J. Saiful E-mail: [EMAIL PROTECTED] Tulisan ini untuk menanggapi tulisan A. Kohar Ibrahim yang termuat di blog ACI (Art & Culture Indonesia). Ia menulis bahwa apa yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam menganjurkan "pembersihan" para penerbit yang menelurkan karya-kaya Manikebu hanyalah bagian dari "rangkaian retorika saat itu." Katanya pula: "Ada yang terbungkam, nggak bisa mengumumkan karya tulis? Bisa juga karena nggak punya nyali dan memang lagi nggak produktif! Lagi pula seberapa sih, jumlahnya? Dan "sang korban" itu kalau tak salah Pram sendiri pernah bilang : " .lecet aja, mereka nggak, kok !" Dan ketika itu, Pram nggak lagi berkedudukan di lembaga Pemerintah, apalagi jadi Menteri atau Penguasa. Nggak pernah dia." Kalau Kohar Ibrahim lebih jujur sedikit, dia pasti akan mengakui bahwa "retorika" di masa Demokrasi Terpimpin tidak terlepas dari tindakan penguasa untuk membungkam kemerdekaan bersuara. Waktu itu sejumlah koran dibredel dan wartawan/pengarang seperti Mochtar Lubis berada di dalam tahanan bertahun-tahun. Sikap Kohar sangat menyepelekan tindakan penguasa yang membrangus asal yang diberangus itu pihak "sana", bukan pihak "Lekra". Katanya, mengutip Pramoedya, tentang yang dibrangus: "Lecet saja tidak..." Memang tidak lecet. Ditahan, diberhentikan dari pekerjaan, dilarang karyanya diterbitkan, memang tidak lecet. Akan tetapi lebih dari itu. Dan betapa menghinanya Kohar ketika memberi kesan bahwa orang yang ditahan, dilarang karyanya diterbitkan, tidak menulis hanya karena tidak punya "nyali" atau tidak "produktf". Ia juga bertanya: "Seberapa, sih, jumlahnya?". Mungkin tidak sampai seratusan. Akan tetapi satu korban pemberangusan saja sudah TERLALU banyak. Bung Kohar, persoalannya bukanlah Pramoedya berkuasa atau tidak. Persoalannya apakah Pramoedya menentang pembrangusan atas pengarang seperti Mochtar Lubis, H.B. Jassin, dan lain-lain. Bisakah Bung Kohar menjawab? Bisakah Bung Kohar melihat, bahwa kalau pemberangusan dihalalkan karena yang diberangus adalah pihak "sana", maka menentang pemberangusan pihak "sini" adalah sikap yang munafik atau "double standard"? Terutama kalau bicara menegakkan hak asasi manusia? Kalau pemakaian "double standard" diberlakukan, maka musuh-musuh Lekra juga merasa sah menghalakan pemberangusan karya seniman Lekra. Saya lahir setelah 1965, kok merasa risau harus mewarisi sejarah kemerdekaan bersuara yang tidak gilang gemilang karena ada suara seperti suara Kohar itu. J. Saiful __________________________ Pramoedya Ananta Toer Sang Penguasa Yang Cerah Hidup Mati Penulis & Karyanya (2) Oleh A.Kohar Ibrahim Nama dan tempat kelahiran ? " Kohar. Abdul Kohar bin Ibrahim. Kelahiran Betawi, Oost-Indies, 1942. Bareng dengan dimulainya pendudukan militer fasis Jepang." Anda salah seorang pelarian Indonesia? Bukan. Saya nggak pernah lari dari Indonesia. Ketika terjadi kudeta militer fasis Indonesia 1 Oktober 1965, saya sedang berada di panggung tamu kehormatan Tien Anmen, Peking. Salah seorang tamu resmi Himpunan Pengarang Tiongkok untuk menghadiri acara Ultah Ke-16 berdirinya RRT. Anda mengaku kenal Pramoedya. Benar? Iya. Benar. Sejak tahun 1950-1960-an Lewat Keluaga Gerilya dan Korupsi. Kenal langsung di Jalan Cidurian, di Lestra Lekra. Lestra? Ia. Saya anggota Lembaga Sastra Indonesia, Pram salah seorang pemimpinnya. Selain Bakri Siregar, Bandaharo, Rivai Apin, Rukiah, Utuy dan Anantaguna Punya bukti kartu anggota? Nomor berapa? Nggak. Jadi anggota Lekra, pun keanggotaan lembaga-lembaganya, tanpa tanda bukti berupa kartu anggota. Lekra adalah lembaga kebudayaan rakyat. Sebenarnya merupakan gerakan kebudayaan massa yang kerakyatan. Saratnya hanyalah bergiat sebagai pekerja kebudayaan dan berkarya di bidang kesenian pilihannya masing-masing. Ada Lestra. Ada Lesrupa. Ada Lembaga Film, Musik, Drama, Tari dan lainnya lagi. Saya suka tulis-menulis, makanya masuk ke Lestra. Anda mengaku kenal Pram sejak lama, sejak di Lekra. Pram seorang tokoh pemimpin Lekra. Dia memang tokoh arogan, otoriter dan kolektivis, yah? Pram cuma salah seorang dari sekian banyak tokoh yang jadi pimpinan Lekra. Lekra punya Sekretaris Umumnya: Joebaar Ajoeb. Pram justeru penentang tongkat-komando dan terkenal individualis. Arogan? Ngemong atau memberi nasihat dan dorongan pada yang muda-muda, jujur-lugas terhadap sesama teman, tegas terhadap lawan bicara atau penantang sikap- pendiriannya. Tapi di Lekra dia jadi orang besar. Pembesar. Kerna itu omongnya juga besar. Seperti di Lentera juga, toh? Tapi bukan lantaran Lekra semata dia jadi orang besar. Kebesaran Pram karena hasil karyanya sebagai pengarang. Dia punya pengaruh besar karena keharuman namanya. Tapi dia bukan pembesar dalam artian punya kedudukan atau kekuasaan Tapi Anda tau, dia juga yang tertuduh sebagai orang yang bertanggungjawab melakukan pembakaran buku-buku, dan bikin sengsara para budayawan dan sastrawan yang beda pendapat dengannya. Ah, nggak begitulah keadaan sebenarnya. Saya sendiri, maupun Pram, nggak pernah melakukan penghancuran atau pembakaran buku-buku. Sebaliknyalah. Kami termasuk yang paling giat untuk memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia. Dengan kegiatan penerbitan buku kami, yang lumayan juga jumlahnya. Yang justeru jadi korban pemberangusan. Dan malah perpustakaan Pram sendiri yang dihancurkan gerombolan yang dipimpin oleh lawan politiknya. Hartabendanya, termasuk rumah pribadinya, bahkan sampai popok anak bayinya pun dirampok orang ! Tapi Anda tahu, tentu masih ingat, bagaimana keberingasan Pram dalam pidato, ceramah atau tulisannya seperti di Lentera itu. Bikin orang yang jadi korban serangannya kehilangan kerjaan, terberangus. Saya menyaksikan sendiri, Pram memang bersikap tegas dan amat bersemangat dalam pernyataan lisan maupun tulisannya. Tapi semua itu masih dalam batas-batas yang layak berdebat atau berpolemik hangat, berkobar-kobar. Adu argumentasi, pergesekan pendapat, demi mencari kebenaran dan kemajuan ilmu Dampaknya, Anda tau, kan banyak yang terbungkam, nggak bisa mengumumkan karya tulisnya dan kehilangan kedudukan. Sejak Manikebu dilarang Pemerintah Sukarno. Ada yang terbungkam, nggak bisa mengumumkan karya tulis ? Bisa juga karena nggak punya nyali dan memang lagi nggak produktif ! Lagi pula seberapa sih, jumlahnya? Dan sang korban itu ? Kalau tak salah Pram sendiri pernah bilang : " .lecet aja, mereka nggak, kok !" Dan ketika itu, Pram nggak lagi berkedudukan di lembaga Pemerintah, apalagi jadi Menteri atau Penguasa. Nggak pernah dia. Tapi, Anda tau dan ingat sekali, kan ada tulisannya yang bikin menggidik bulu tengkuk lawan-lawan politiknya. Apa tuh? Kata Pram : 'Tahun 1965, Tahun Pembabatan Total!" Yang disiar di Lentera 9 Mai 1965. Hahaha ! Itu mah, mesti dianggap juga sebagai rangkaian dari retorika saat itu. Dan bisa dijadikan bukti akan kekuasaan Pram memang. Sang Penguasa Lentera -- Ruang Kebudayaan Bintang Timur. Kekuasaan yang meski singkat namun mutlak : dari tahun 1962 sampai terjadinya Kudeta Militer yang berhasil mendirikan Orde Baru Jendral ! Dalam hatiku : Meski singkat, kecemerlangan Lentera itu bak mercusuar sekaligus tonggak sejarah dalam kebudayaan Indonesia umumnya, khususnya seni sastra dan pendidikan yang cerah. Dari padanya tercermin juga sikap-pendirian Pramoedya Ananta Toer selaku pejuang kemerdekaan Rakyat dan Bangsa Indonesia dan ke-integritas-annya selaku pekerja kebudayaan dan sastrawan Indonesia yang terkemuka. (1 Nopember 2007) *** blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]