Ananda Sukarlan: Menjadi Pianis dan Komponis Dunia dari Titik Nol
"Sukarlan is recognised as one of the world's leading pianists and has been at 
the forefront of championing new piano music," tulis Sydney Morning Herald, 
harian yang berpengaruh di Australia. "Ananda Sukarlan is a magnificent pianist 
who gives complete commitment to every composer, penetrating to the roots of 
their musical ideas," ulasan dari El Pais, harian asal Spanyol.

by a. mohammad bs

Itulah sebagian sanjungan media dan publik internasional pada Ananda Sukarlan, 
pianis jenius asal Indonesia. Maklum, berkat kepiawaian, kreativitas dan 
karyanya, segudang prestasi dan penghargaan tingkat dunia telah diraihnya.

Pianis kelahiran Jakarta 10 Juni 1968 ini, menguasai beragam komposisi karya 
komponis abad ke-17 hingga abad ke-20. Lebih dari 300 komposisi musik - baik 
orkestra maupun solo - yang ditulisnya, dimainkan oleh komposer kelas dunia 
dari Eropa, Amerika Serikat, Australia ataupun Asia. Perusahaan rekaman di 
Belanda, Austria, Italia dan Spanyol telah merekam penampilannya dalam kemasan 
CD. Tahun 1998 ia memenangi hadiah kedua Vienna Modern Master Performers 
Recording Award. Rekaman yang terakhir, bertajuk Complete Piano Works by 
Santiago Lanchares menjadi best seller di Spanyol, untuk kategori musik klasik 
kontemporer.

Ananda juga telah tampil sebagai solois dalam beragam orkestra kelas dunia di 
Rotterdam, Berlin, Madrid, Spanyol, Lisboa, Mexico City, Queensland, dan 
sebagainya. Ia pun tak jarang tampil dalam pertunjukan resital piano di gedung 
konser dunia, seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio 
Nacional Madrid, Rachmaninov Hall Moskow dan Queen's Hall Edinburgh. Ananda 
tercatat sebagai satu-satunya orang Indonesia dalam buku 2000 Outstanding 
Musicians on the 20th Century yang diterbitkan oleh the International 
Biographical Centre of Cambridge, Inggris. Yang relatif baru, tahun 2006 Ananda 
terpilih menjadi salah satu dari 10 musisi dan komponis Spanyol yang dianggap 
paling berpengaruh, dalam buku Punto de Inflexion de la Musica Espanola.

Tak hanya itu. Dari keterampilan bermusiknya itu, pianis yang sekarang tinggal 
di Cantrabria - kota kecil di pinggiran Santander, Spanyol - ini, hidup 
berkecukupan. Menurut Chendra Panatan, sahabat dekat sekaligus manajernya, 
untuk sebuah karya musik pendek saja, Ananda memasang harga 1.000 euro. Harga 
itu sudah termasuk manuskrip asli untuk pemesan - yang nantinya bisa dijadikan 
koleksi seni untuk dilelang. Adapun untuk satu karya orkestra, tarifnya 20 ribu 
euro, ditambah royalti dari pertunjukan karyanya. Sementara itu, sebagai 
pianis, honor konsernya tergantung dari tempat dan organisasi yang 
mengundangnya. Rata-rata tarifnya sebesar 6-12 ribu euro per konser. "Sekarang 
saya sudah hidup berkecukupan tanpa harus kerja ngos-ngosan. Bahkan, saya sudah 
bisa menyumbang sebagian dari pendapatan untuk make the world a better place," 
tutur Ananda lewat e-mail-nya kepada SWA.

Sebelumnya, dalam setahun, rata-rata ia bisa tampil di pertunjukan konser 
hingga 80 kali. Namun sekarang, Ananda mengaku mulai membatasi diri, yakni 
setahun maksimum hanya 30 kali tampil di konser. Bapak dua anak ini menganggap 
masa cari duit sudah lewat. Baginya, sekarang waktunya berbagi. Salah satu 
karya terbarunya Dalam Sakit, dengan teks dari puisi Sapardi Djoko Damono, 
misalnya, ia sumbangkan seluruh copyright-nya kepada AIDS Foundation cabang 
Spanyol. "Sekarang saya banyak meluangkan waktu untuk menulis musik, bekerja 
sama dengan seniman-seniman lain. Kalau di Indonesia seperti dengan Goenawan 
Mohamad, Sapardi Joko Damono, dan koreografer Chendra Panatan," ungkapnya. 
"Sebentar lagi saya 40 tahun. Dan, life begins at 40. Jadi, masa cari duit 
sudah lewat. Sekarang masanya hidup beneran, termasuk membikin proyek-proyek 
buang duit," papar Ananda setengah guyon.

Keberhasilan Ananda menjadi seorang maestro, tentu saja tidak diraih begitu 
saja. Menurutnya resep suksesnya terletak pada dua hal, yakni: sikap be 
yourself, dan bisa beradaptasi ke kultur yang lain tanpa harus kehilangan 
identitas diri. Ananda menilai, justru ke-Indonesia-an yang dimunculkannya 
malah bisa memberi nilai lebih. Ia sendiri mengaku, setiap kali memainkan karya 
komponis Indonesia - seperti Amir Pasaribu, Yazeed Djamin, ataupun karyanya 
sendiri - penonton malah memberi perhatian lebih besar. "Tentu saja, semua itu 
perlu didukung kerja keras. Saya datang ke Eropa tanpa mengenal siapa pun, 
tanpa ada koneksi, bahkan tanpa bermodal uang. 

Semua dimulai dari nol. Tetapi saya harus membuktikan bahwa saya mampu," ia 
menuturkan.
Ke depan, Ananda berkeinginan bisa memberi kontribusi lebih besar buat dunia 
musik sastrawi Indonesia. "Target saya sekarang adalah mengembalikan apa yang 
telah saya terima," tandasnya. Bentuknya, antara lain, dengan mendirikan 
Jakarta Conservatory of Music. Tujuannya, selain untuk pendidikan, juga untuk 
memproduksi konser-konser musik sastra yang berkualitas dari para musisi lokal; 
di samping mengajak para musisi muda untuk menjadi bintang tamu pada setiap 
konser Ananda di Indonesia; serta mengumpulkan karya-karya komponis Indonesia, 
merekamnya, dan memainkannya di setiap konser Ananda di berbagai belahan dunia. 
"Karya-karya komponis Indonesia itu justru yang menjadikan konser-konser saya 
spesial di Eropa," katanya buka kartu.
Yang juga menarik, Ananda ternyata banyak memperkenalkan kekayaan budaya Jawa 
dan Bali di Eropa. Tujuannya, sebagai bahan untuk diasimilasikan dengan materi 
para komponis musik sastrawi di Eropa. Misalnya, ia bekerja sama dengan Chendra 
Panatan, menampilkan tari Kecak di Spanyol. Ananda mengklaim, dampaknya sangat 
kuat terhadap perkembangan musik sastrawi di Spanyol. Bahkan, komponis 
terkemuka Jesus Rueda kemudian menuliskan karya pianonya dengan judul Kecak, 
yang merupakan asimilasi gaya bahasanya dengan ritme dan polifoni Kecak. 

Bunyinya bukan jiplakan tari Kecak, melainkan suatu bentuk baru yang segar dan 
dinanti-nanti penonton. "Upaya ini bukan hanya memajukan budaya Indonesia, tapi 
juga proses komunikasi, hubungan dan asimilasi budaya Barat-Timur," ungkapnya. 
Ananda pun rupanya seorang "ideolog" musik. "Saya tidak percaya 'globalisasi', 
karena sebenarnya itu artinya 'Amerikanisasi'. Tetapi saya punya prinsip 
tersendiri mengenai apa itu globalisasi kultural," lanjutnya serius.

(SWA, No. 23/XXIIV/ 25 Oktober - 7 Nopember 2007)


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to