W.S. Rendra:
Maqam Mereka Masih Viagra

Penyair besar berjuluk Burung Merak itu memasuki usia 72 tahun. Suaranya 
tak lagi selalu menggelegar, tapi karismanya masih membayang. Ketika 
berbicara, kutipan ayat suci kerap mengalir dengan pengucapan puitis dari 
mulutnya.

Beberapa teman lama dan kerabat menyambanginya pada hari ulang tahun, Rabu 
pekan lalu, untuk mengucap tahniah. Sehari-hari Rendra kini menyibukkan 
diri dengan membaca teks sejarah--kegiatan yang sudah dilakukannya dalam 
beberapa tahun terakhir. Berbagai bacaan ia lahap tanpa batas, mulai dari 
asal mula buah-buahan dan tanaman pangan yang sekarang lazim ditemui di 
Indonesia sampai periode kejayaan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan Nusantara.

Seniman yang kenyang masuk tahanan di masa Orde Lama dan Orde Baru itu tak 
lagi terlalu produktif berteater. Pentas teater terakhirnya adalah Sobrat, 
yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dua tahun lalu. Tapi ia 
masih sering diundang berorasi, berbicara, dan sesekali membaca puisi di 
berbagai daerah.

Seperti para leluhur yang, menurutnya, tak hanya pandai menyerap tapi juga 
mahir mengolah, Rendra masih mengikuti dan menganalisis berbagai peristiwa 
yang terjadi di Tanah Air. Di padepokannya yang luas dan asri di Cipayung 
Jaya, Depok, Jawa Barat, ia menuturkan berbagai soal, mulai dari sastra, 
fundamentalisme agama, sampai spiritualitas kepada Nugroho Dewanto, Seno 
Joko Suyono, dan Anton Septian dari Tempo. Berikut nukilannya.

Apakah Anda masih mengikuti perkembangan dunia sastra kita?
Saya rutin mengikuti dengan membaca rubrik sastra dan puisi di Koran Tempo 
dan Kompas yang saya langgani.

Siapa saja sastrawan muda kita yang menurut Anda cukup menonjol?
Salah satunya Nenden Lilis. Sebagai lirikus, makin lama dia makin matang. 
Dia sudah pentas di Eropa. Juga Joko Pinurbo dan banyak lagi yang lain.

Ada kritik, seperti disampaikan penyair Taufiq Ismail, bahwa dunia sastra 
kita belakangan tergelincir kepada erotisme. Bahkan ia menyebut ada Gerakan 
Syahwat Merdeka dan Fiksi Aliran Kelamin dalam dunia sastra kita?
Erotika bukan hal baru dalam dunia sastra kita. Sudah ada sejak zaman 
Centhini, juga dalam cerita-cerita carangan seperti Sembodro Larung dan 
Pergiwo-Pergiwati. Wah, itu erotikanya indah. Erotika itu penting untuk 
kesehatan badan dan gairah pemikiran. Berbeda dengan malaikat, kita itu 
dilahirkan dengan hormon-hormon yang menimbulkan nafsu. Kita diciptakan 
Allah dengan hormon semacam itu yang perlu peremajaan. Menurut agama saya 
yaitu Islam, erotika dan seksualita itu boleh. Islam itu bukan agama yang 
aseksual. Yang dilarang itu adalah perzinaan. Erotika itu bagus untuk 
menjaga kebugaran. Jadi erotika tidak untuk diredam.

Sudah seberapa gawat sesungguhnya dunia sastra kita sehingga ada yang 
merasa harus melarang sastra yang menonjolkan erotika?
Ah, enggak gawat. Zaman sekarang apresiasi terhadap tubuh semakin terbuka. 
Orang semakin banyak pakai bikini. Kita yang harus menahan diri.

Beberapa novelis seperti Ayu Utami dan Jenar Mahesa Ayu dinilai vulgar 
karena menonjolkan adegan persenggamaan secara terperinci, bagaimana 
menurut Anda?
Gerakan anti-erotika memang agak galak sekarang ini. Saya kira itu salah 
kaprah dalam soal me-manage nafsu. Mereka bukan mengendalikan nafsunya tapi 
malah melarang-larang orang lain. Seperti orang mengatakan jangan terlalu 
banyak makan gula, bikin gemuk. Jangan terlalu banyak makan lemak nanti 
kolesterol. Mestinya dia menahan diri, bukan mengatakan daging atau makanan 
bergula harus dilarang. Itu menunjukkan perasaan suudzhon dan zalim karena 
melarang sesuatu yang tak dilarang oleh agama.

Menurut Anda, karya mereka tidak vulgar?
Dengan sikap seperti itu, orang yang menganggap vulgar sesungguhnya dia 
sendiri sangat vulgar. Meremehkan naluri manusia. Meremehkan sunatullah.

Mereka sendiri tak bisa menahan diri?
Mereka tidak bisa me-manage diri sendiri, menyalahkan orang lain. Buruk 
muka cermin dibelah.

Kenapa gerakan anti-erotika sekarang begitu kencang?
Mereka itu orang yang beragama untuk politik. Mereka merasa memonopoli 
kebenaran dan kesucian. Mereka memperkenankan dirinya melakukan kekerasan 
dan kezaliman kepada orang lain.

Anda percaya ada karya sastra yang sengaja untuk merangsang berahi?
Memang ada yang sengaja mengeksploitasi seksualitas untuk merangsang 
pancaindra, itu saya sebut picisan. Mereka hanya merangsang sensasi. 
Seperti pembacaan puisi yang mengandung sensasi, membawakan diri dengan 
sensasional. Tidak ada hubungan dengan puisi, sekadar gimmick.

Padahal kesadaran manusia tak cuma pancaindra?
Kesadaran manusia itu adalah kesadaran pancaindra, kesadaran naluri, dan 
kesadaran batin atau rohani. Pada tingkat tertentu, intensitas penghayatan 
rohani yang bertemu dengan naluri dan pikiran, tiga-tiganya bila bersatu 
dengan intens sering muncul imaji erotik seperti yang terdapat pada candi. 
Rasa menyatunya diri dengan alam.

Artinya, itu semua alamiah?
Iya. Orang Jawa mengatakan greget. Puncak dari greget kadang-kadang adalah 
erotik. Kelenjar-kelenjar adrenalin menjadi somatik. Gagasan, buah pikiran 
yang turun ke kalbu lalu bertemu gairah hidup itu somatik, membangkitkan 
air mata. Kadang-kadang bisa membuat kita menari atau menulis syair sambil 
menangis. Saya sering seperti itu. Bukan cengeng. Lalu sambil gemetar. 
Somatik. Kelenjar-kelenjar bergeletar. Sebab di dalam kelenjar-kelenjar itu 
terdapat melodi. Kalau jantung berdetak, dia berirama. Jadi, pada waktu 
buah pikiran turun ke kalbu, pertemuan itu intens, dia membutuhkan bentuk. 
Apalagi waktu bertemu naluri, dia butuh irama. Itu melodi. Dalam intensitas 
seperti itu muncul imaji-imaji erotik.

Anda mengalaminya juga ketika berkarya?
Waktu saya menulis Suto Mencari Bapak, itu melahirkan imaji persetubuhan. 
Saya kira seperti itu juga yang terjadi pada relief-relief di Candi Cetho 
dan Candi Sukuh. Atau dalam cerita Bimasraya. Itu tak ada hubungannya 
dengan sekadar pornografi.

Dan itu semua bukan sekadar syahwat?
Itu bukan syahwat. Itu kelenjar. Itu greget. Kalau sekadar syahwat itu 
maqam-nya obat kuat, maqam-nya masih Viagra. Sayang sekali, penghayatan 
akan kehidupan dan bersatu dengan alam itu hanya terbatas sampai pergaulan 
Viagra. Mereka kurang mendalam, jadi tak perlu ditanggapi secara 
berlebih-lebihan. Urusannya dengan majalah picisan saja.

Apakah gerakan anti-erotika juga ada dalam sejarah di Jawa?
Tidak ada. Cuma ada sekarang. Kebudayaan kita itu matang dalam menangani 
erotika. Tidak melihat kerbau perempuan terus berahi. Kalau itu sudah 
penyakit jiwa modern. Kita tidak cuma menyerap, tapi juga mengolah.

Apa maksudnya matang dalam menangani erotika?
Artinya, tidak mudah terangsang. Kita bisa me-manage nafsu. Melihat Ratu 
Ken Dedes, orang berkomentar, “Wah, payudaranya masih bagus.” Itu maksudnya 
Ken Dedes masih sehat. Bukan berarti, “Aku pengen dia.” Seperti orang lihat 
kembang bagus, terus ingin memetik. Orang yang begitu-begitu tidak siap 
beragama. Kurang beriman. Sibuk menyalahkan dunia. Mengaitkan agama dengan 
kekuasaan atas kebenaran. Sangat tidak Islamiyah.

Bagaimana dengan kelompok yang menyebut diri sastra Islami yang mendambakan 
akhirat?
Boleh saja. Saya juga menyampaikan hal semacam itu dalam Suto Mencari 
Bapak. Nyanyian Angsa itu proses pelacur yang mau meninggal dan berakhir 
dengan persetubuhan. Tapi tidak ada niat membangkitkan kepuasan pancaindra.

Bagaimana Anda memandang RUU Anti-Pornografi?
Itu menunjukkan kelemahan iman. Menghadapi nafsunya sendiri mbok ya enggak 
usah pakai undang-undang. Ada ulama dari Cirebon, KH Husein Muhammad, 
pernah mengingatkan saya. Mas, Nabi dulu pernah berpesan, sepeninggalku 
janganlah hal-hal yang tak bisa dirumuskan, diundang-undangkan. Dan jangan 
memperkarakan sesuatu yang tak bisa dirumuskan.

Pornografi termasuk hal yang tak bisa dirumuskan?
Bila Anda ke Bali atau Hawaii, orang pakai pakaian minim dan ketat itu 
tidak apa-apa. Apalagi kalau itu hanya grafik. Tapi di tempat lain bisa 
jadi masalah.

Bukankah ada hukum adat yang malah berbeda dalam memandang pornografi?
Pada beberapa suku bangsa yang hukum adatnya masih kuat, malah ada 
perumusan yang jelas terhadap pornoaksi, yaitu sesuatu yang keluar dari 
tubuh adalah najis. Jangan sampai itu terjadi di muka umum. Jadi, kalau 
saya kentut, meludah, membersihkan kotoran mata, dan lain-lain, jangan di 
muka umum. Termasuk kalau saya mengeluarkan darah, saya menikam atau 
menggores seseorang sampai keluar darah, itu jadi masalah. Tak usah sampai 
membunuh, tapi sekadar membuat berdarah saja sudah masalah. Lalu berlanjut 
hal-hal yang disebut fi'il di Lampung atau siri di Bugis. Menolak hadiah, 
meremehkan unjuk kebaikan orang lain, itu fi'il. Merusak komunikasi dan 
silaturahim. Tidak dermawan dalam bersikap.

Itu juga pelanggaran?
Iya, saya tidak suka itu. Sikap arogan. Tidak dermawan dalam bersikap dan 
perkataan. Tidak mengenal bersyukur.

Bagaimana dengan beberapa daerah yang memberlakukan peraturan tentang syariat?
Saya tidak mau tinggal di tempat seperti itu. Bayangkan ada pekerja yang 
ditangkap karena kemalaman. Orang didorong hidup dalam prasangka buruk. 
Membuat undang-undang kok dasarnya suudzhon.

Mungkin terlalu mencontoh budaya Arab?
Ya, itu kan budaya Arab. Allah tidak menyukai orang yang penuh waswas dan 
suudzhon. Kita tidak bisa terlalu berpaling ke Timur Tengah karena rasa 
suudzhon-nya luar biasa. Di sana sama-sama syahadatnya bisa saling membunuh 
kok, dengan bom lagi. Krisis moral dalam beragama ini harus diperhatikan.

Fundamentalisme agama sedang mengalami gelombang pasang?
Itu sudah dari dulu. Ku Klux Klan itu sejak abad ke-19 tidak juga reda. 
Pertentangan antara Buddha dan Buddha sudah ada sejak zaman Sriwijaya. 
Begitu juga Hindu dan Hindu di India. Kelemahan manusia itu kalau sudah 
beragama lalu ada nafsu kekuasaan politik. Kalau sudah begitu, gampang 
waswas. Wah, ini ada Kristenisasi. Seolah-olah Islamisasi itu beda dengan 
Kristenisasi.

Bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Harus kembali kepada iman. Kita harus memperkuat iman, nukleus keluarga dan 
masyarakat yang beriman. Dan menghargai iman orang lain. Dalam Islam, itu 
yang diajarkan Allah. Kita tidak diajari untuk mengatakan kepada orang 
kafir, “Salah agamamu. Masuk neraka kamu. Buntulah jalanmu ke surga.” 
Sebaliknya kita diajari untuk mengatakan, “Untukmu agamamu, untukku agamaku.”

Terus, bagaimana dengan  banyak yang mengaku-aku nabi kemudian dilarang MUI?
Itulah ekstremnya kalau orang merasa paling benar. Sudah diperingatkan 
Allah dalam Al-Quran, surat “Para Penyair”. “Berhati-hatilah kamu yang 
sering mengembara ke lembah-lembah yang gelap.” Konsep “lembah yang gelap” 
itu berkembang luas. Misalnya naluri. Meditasi, tafakur, dan zikir juga 
kalau dilakukan secara intens membuat kita seakan-akan dekat dengan Allah, 
padahal tidak. Lalu kita sendiri menciptakan berbagai jalan supaya dekat 
dengan Allah. Padahal Allah sudah memberikan jalan. Kalau kamu beriman, 
bertakwa, beramal saleh, beribadah, kamu dekat dengan Allah.

Belakangan ini Anda menjadi sangat religius?
Dari dulu saya religius. Selalu melakukan olah batin yang bagus untuk 
kesehatan. Tapi pengasuh saya dulu, Mas Janadi, mengingatkan, “Jangan kamu 
anggap dengan olah batin kamu bisa ketemu Tuhan, ketemu Nabi. Ketemu 
eyangmu saja tidak.”

Anda merasakan ada perbedaan spiritualitas, dulu dan sekarang?
Dulu ada pengaruh dari mistikus Katolik yang mengatakan, “Menjelmalah Kau.… 
Mendekatlah Kau.” Sedangkan orang Jawa kan maqam-nya suwung, meniadakan 
diri untuk dekat dengan Allah. Kita tak bisa berteriak, “Mendekatlah Kau, 
Ya Allah.” Tapi kita sendiri yang mendekatkan diri kepada Allah dengan 
perbuatan kita. Orang Jawa berpegang pada surat Al-Ikhlas. Allah itu ahad. 
Bahkan, sebelum Islam datang, orang Jawa itu telah suwung. Makanya, Jawa 
mudah menerima Islam.

Dengan spiritualitas itu Anda merasa tenteram?
Iya, seperti pengembara yang menemukan rumah.

Itu juga yang membuat Anda kelihatan segar?
Ah, ini karena diperkenankan Allah. Saya juga rutin berolahraga. Meditasi 
dalam gerak. Sehabis mandi, dengan tubuh masih basah, saya melakukan 
beberapa gerakan sampai tubuh kering (Rendra mengembangkan kedua tangannya, 
menggerakkan perlahan hingga kedua telapak tangannya bertemu, lalu ditarik 
ke arah dada). Itu sekitar sepuluh menit.

Kalau meditasi yang lain?
Saya memakai metode yang diperkenalkan Sosrokartono--kakak laki-laki 
Kartini--yaitu Petruk Kantong Bolong. Kita tak menahan, tak menolak semua 
suara, semua pikiran, tapi seperti kantong bolong. Masuk lalu keluar lagi. 
Dalam hidup sehari-hari pun, kita tidak menahan, kita ramah saja. Hal-hal 
yang mengganggu, yang tidak mengenakkan, permusuhan, biarkan saja. Kita 
tidak perlu berteriak-teriak bahwa orang lain sesat. Kesucian tidak perlu 
dipamer-pamerkan.

+++++++

W.S. Rendra

Tempat dan Tanggal Lahir:
Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935

Pendidikan:
         American Academy of Dramatic Arts, Amerika, 1967
         Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, 
Yogyakarta, tidak lulus
         SMA St Josef, Solo, Jawa Tengah

Pekerjaan:
         Sastrawan. Pendiri Bengkel Teater
         Menulis sajak sejak 1950-an
         Kumpulan puisinya: Balada Orang Tercinta meraih Hadiah Sastra 
Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, 1957
         Menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
         Menerima Hadiah Seni dari Akademi Jakarta, 1975
         Ditahan pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes 
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1978
         ***-/**


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke