Sesatnya Kriteria Sesat

Oleh: Mohamad Guntur Romli


Islam diturunkan sebagai misi penyelamatan, bukan amunisi penyesatan. Namun,
cita-cita ini tidak terjadi pada beberapa kalangan, khususnya mereka yang
mengeluarkan sepuluh kriteria ajaran/kelompok yang dianggap "sesat dan
menyesatkan".


Terbitnya kriteria itu semakin meyakinkan publik bahwa mereka -dengan
berlindung di balik otoritas Islam- bisanya hanya melakukan penyesatan dan
pengafiran, tidak memperbanyak bimbingan terhadap umat.


Kriteria penyesatan versi mereka harus ditolak karena bertentangan dengan
prinsip-prinsip akidah dan etika dakwah Islam. Dalam akidah Islam, hak
pengimanan dan penyesatan hanya milik Allah. Ketika wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad terhenti dengan meninggalnya Nabi, semua
orang atau kelompok memiliki derajat yang sama, yaitu berusaha memahami
wahyu tersebut.


Derajat mereka hanya sampai pada pencarian kriteria "benar dan salah" dalam
menentukan ajaran agama, tidak sampai pada derajat mengetahui "iman dan
kafir". Wilayah "benar dan salah" adalah lahan manusia yang menjadi bidang
garapan "ijtihad", yakni usaha manusiawi yang sungguh-sungguh untuk
memahami. Dalam hal itu pun, hakikat kebenarannya masih sampai pada tahap
"kebenaran manusiawi". Bukan "kebenaran ilahi".


Oleh sebab itu, ulama terdahulu (salaf) begitu selesai membahas satu
persoalan lantas mengakhirinya dengan pengakuan yang sangat terkenal:
wallahu a'lam bi al-shawab (Dan Allah yang Maha Mengetahui yang benar).
Pengakuan jujur dan mendalam bahwa yang mengetahui hakikat kebenaran
hanyalah Allah.


Wilayah "iman dan kafir" jauh di atas wilayah perdebatan "benar dan salah",
yang tak seorang pun bisa memasukinya meskipun membawa dalil-dalil agama.
Sebab, wilayah itu bukan lagi ruang penafsiran dan pemahaman yang bisa
dimasuki oleh manusia seperti derajat "benar dan salah". Wilayah itu juga
berupa ruang sangat pelik yang tidak bisa diketahui, yaitu "hati manusia".


Syariat hanya bisa menghukumi hal-hal yang tampak, di sinilah sabda Nabi
menemukan konteknya: nahnu nahkumu bi al-dlawahir wallahu yatawalla
al-sara'ir -"kita (manusia) hanya bisa menghukumi yang lahiriah dan hanya
Allah yang bisa menguasai yang batiniah".


Kriteria benar dan tidaknya salat (sah atau batal) adalah cakupan ilmu fikih
yang membahas syarat dan rukun yang tampak sesuai dengan mazhab fikih yang
diyakini. Namun, tak ada seorang pun yang tahu kriteria mazhab mana salatnya
yang paling diterima oleh Allah?


Maka, kriteria sesat itu, selain melanggar batas, juga "menyesatkan".
Maksudnya, kriteria tersebut akan menyesatkan orang yang dituding tersesat,
bukan menunjukkan mereka arah dan jalan yang lurus.


Bisakah kita membayangkan apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang yang
malah menyesatkan orang yang telah tersesat?


Munculnya aliran dan pandangan yang dituding tersesat bukan malah meramaikan
pentingnya bimbingan dan ajakan, tapi justru menegaskan penyesatan,
seolah-olah mereka yang paling tahu mana yang tersesat dan mana yang tidak.


Lebih dari itu, kriteria penyesatan itu akan menumbuhkan tradisi yang buruk
(sunnah sayyi'ah) di kalangan umat karena akan menutup pintu dialog dan
menggiring ke ruang konflik yang penuh dengan kekerasan.


Umat dipancing agar bereaksi keras bila terdapat sebuah kelompok atau
keyakinan yang berbeda, bukan diajak untuk memahami dan mengenalinya
terlebih dahulu.


Padahal, bila ada perbedaan, maka itulah rahmat yang disebutlah oleh sabda
Nabi: ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan umatku adalah berkah). Dan bila
terdapat kesalahan, maka diperlukan bimbingan dan ajakan karena manusia
merupakan tempat salah dan alpa (al-insanu mahallul khatha' wa al-nisyan).


Namun, dasar tersebut tidak menjadi pijakan kriteria sesat itu. Tengoklah
poin kesepuluh kritertia itu yang ambigu dan bisa "menyesatkan". Bagi
mereka, kriteria kelompok sesat adalah "mengkafirkan sesama muslim tanpa
dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya".
Hakikatnya, poin itu masih membuka kesempatan boleh "mengafirkan sesasama
muslim dengan dalil syar'i".


Padahal, yang seharusnya ditradisikan adalah larangan mengafirkan sesama
muslim meskipun bersenjata dalil syar'i karena selama ini tidak ada
pengafiran tanpa digunakannya dalil syar'i. Misalnya, Khawarij yang
mengafirkan Imam Ali Ra. Mereka mengunakan dalil-dalil syar'i, mengutip
ayat-ayat Alquran dan Hadis.


Sejarah juga mencatat, praktik pengafiran yang terjadi sesama orang Islam
melibatkan penggunaan dalil-dalil syar'i. Oleh karena itu, yang perlu
dijadikan dasar adalah bukan karena tidak adanya pengggunaan dalil syar'i
maka pengafiran itu harus dilarang, namun karena praktik pengafiran itu
sendiri -meskipun dengan alasan dan dalil syar'i sekalipun- harus dilarang.


Maka, kriteria sesat tersebut bisa dianggap gugur dan batal; bukan karena
dalam kriteria-kriteria itu tidak ada poin-poin yang "benar", namun karena
berpijak pada dasar yang keliru, yakni bisa terjadi penyesatan, bukan
penyelamatan.


Di situlah perlu diserukan kembali ajakan dan bimbingan agama sesuai dengan
jalur asalnya. Yakni membuka lajur penyelamatan. Agama adalah kebaikan yang
memang diturunkan bagi mereka yang belum atau tidak "baik".


Agama menyempurnakan sesuatu yang kurang. Memperbaiki yang rusak. Bukan
sebaliknya, mengurangi yang kurang dan merusak yang rusak. Wallahu a'lam bi
shawab


Mohamad Guntur Romli, host Kongkow Bareng Gus Dur di KBR68H


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke