Mari Bicara REDD
M Riza Damanik Perkara penyelamatan Bumi dari pemanasan global menjadi rumit karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan dan sampai hari ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Padahal, hutan masih menjadi andalan utama untuk menyerap karbon? dalam hal ini karbon dioksida (CO). Maka, muncul tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing smissions from deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban membayar negara-negara Utara kepada negara-negara Selatan guna mengurangi penggundulan hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi. Dalam catatan penulis, setidaknya terdapat tiga gugatan terhadap REDD yang perlu dicermati, paling khusus bagi Pemerintah Indonesia yang tertarik memanfaatkan skema ini. Pertama, REDD secara nyata telah menyimplifikasi fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbon dioksida (carbon sinks). Padahal, ekosistem hutan memiliki fungsi yang lebih luas, mulai dari sebagai daerah tangkapan air (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood) di sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentu akan merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik. Kedua, mekanisme REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan (termasuk Indonesia) untuk menjaga dan bahkan mengunci kawasan hutannya dengan imbalan berupa "dana santunan". Tawaran ini dengan sendirinya akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common goods. Ketiga, REDD pun akan mengaburkan (menyulitkan) proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi kewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan begini, posisi Departemen Kehutanan pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasional dan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Moratorium Menyinggung sekurang-kurangnya ketiga gugatan di atas, dapat dipastikan REDD tidak akan pernah menjadi mekanisme efektif dalam memerangi emisi karbon di atmosfer. Bahkan, keyakinan meningkatnya jumlah emisi karbon di atmosfer justru semakin kuat, mengingat REDD tidak secara gamblang berkeinginan menghentikan seluruh kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap pemusnahan hutan itu sendiri. Keprihatinan REDD justru lebih condong pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melalui mekanisme insentif yang ditawarkan. Dalam kasus Indonesia, dengan kenyataan 70 persen hutan alam telah musnah, sepatutnya kebijakan moratorium logging (jeda tebang) jadi pilihan untuk menurunkan laju deforestasi yang saat ini mencapai kisaran 2,7 juta hektar per tahunnya. Sewajarnya kebijakan moratorium menjadi inisiatif progresif Pemerintah Indonesia daripada harus menempatkan 220 juta warga negara Indonesia sebagai "satpam (baca: penjaga) hutan" dengan menerima upah dari pelaku perusak hutan dan lingkungan seperti yang ditawarkan REDD. M RIZA DAMANIK Anggota Tim Teknis Program Perubahan Iklim Eksekutif Nasional Walhi Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/15/humaniora/3991653.htm Harian KOMPAS: Senin, 15 November 2007 ____________________________________________________________________________________ Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/sports;_ylt=At9_qDKvtAbMuh1G1SQtBI7ntAcJ