Oleh Goenawan Mohamad -- Untuk pertemuan di Rumah Dunia (Serang, Banten)
27 Nopember 2007 Saya akan mulai percakapan ini dengan mengutip sebuah sajak Subagio Sastrowardojo: Asal mula adalah kata Jagat tersusun dari kata Di balik itu hanya ruang kosong dan angin pagi Seorang penyair tapi tak cuma seorang penyair -- akan mengenal keniscayaan kata: praktis, hanya melalui bahasa-lah kita bisa menangkap dunia. Bahkan ruang kosong dan angin pagi yang ada di balik jagat yang tersusun dari kata tak hanya kita kenali karena mata kita melihat ruang itu dan kulit kita tersentuh oleh desau angin itu. Ruang kosong dan angin pagi kita kenali karena kata telah menamai benda ini atau itu, menyebut perasaan ini atau itu. Dengan kata itulah, atau lebih tepat dengan kata sebagai penanda, kita dapat membedakan ruang kosong dengan celah, angin dengan badai, pagi dengan siang. Dari pembedaan itu, kita memberi dan mendapatkan arti. Sebab itu, memang ada benarnya, asal mula adalah kata. Sangat mungkin Subagio Sastrowardojo meminjam frase itu dari Kitab Injil. Dalam Injil, pada mulanya adalah kata berarti pada mulanya adalah logos, dan logos berasal dari kata Yunani lagein, yang berarti menghimpun. Menurut para pakar etimologi, penyair Homeros konon menggunakan kata kerja itu untuk menggambarkan aktivitas menghimpun makanan, senjata, tulang belulang, dan orang-orang. Tersirat di situ adalah proses memilah-milah dan menggolongkan: panah dan tombak akan diletakkan dalam satu himpunan, roti dan daging kambing dalam himpunan lain. Tampak, bahwa kriteria pemilahan yang saya contohkan itu berdasarkan satu saja dari ciri benda itu, yakni fungsinya: panah masuk dalam himpunan senjata karena dipakai untuk membinasakan musuh, paha domba masuk dalam himpunan makanan karena dipakai untuk disantap. Dari kata lagein yang dijadikan kata benda logos itulah berasal istilah yang kita kenal sampai sekarang, katalog, yang asal mulanya kita temukan dalam bahasa-bahasa Eropa: catalogue (Prancis) atau catálogo (Portugis dan Spanyol). Tiap penyusunan katalog, tiap penggolongan atau klasifikasi, mengandung suatu proses abstraksi: sebuah benda hanya diambil satu seginya saja, misalnya segi kegunaannya; segi-segi lainnya (umpamanya bentuk, warna, asal usul) diabaikan. Dengan lagein orang menggolongkan -- dan sekaligus membedakan -- satu benda dengan benda-benda lain, semuanya melalui abstraksi, semuanya hanya ditilik dari salah satu seginya. Abstraksi adalah hasil analisis: menjelang proses abstraksi, sebuah benda diurai ke dalam aspek-aspeknya, tak lagi kita temui dalam totalitasnya. Dari sini, konsep lahir. Konsep anjing kita kenakan kepada sehimpun hewan yang sebenarnya beraneka-ragam, tapi konsep itu mencoba merangkum ke-anjing-an hewan-hewan itu. Tapi apa itu yang disebut anjing tak pernah dapat dirumuskan sebenarnya; ia hanya dikenali dari pembedaan dengan sesuatu yang lain. Maka dalam tiap logos tersirat sebuah hasil analisis, abastraksi, identifikasi, dan pembedaan. Dengan kata lain, kata sebagai penanda atau nama adalah hasil konstruksi manusia tapi yang berangsur-angsur justru jadi sesuatu yang ikut membentuk manusia. Saya ingat satu adegan dalam film kung fu yang dibintangi Jet Li, Fearless. Dalam salah satu adegan, Jet Li, yang berperan sebagai juara silat Ho Yuanjia, dijamu minum teh oleh karateka Jepang, Anno Tanaka (dimainkan oleh Nakamura Shido) . Dengan bangga Tanaka bertanya kepada Ho, apakah jagoan Cina itu tahu ada bermacam-macam teh di dunia. Ho menjawab, Tidak. Ketika Tanaka menyebutkan nama beberapa jenis teh yang dikenal orang Jepang, Ho menyahut: Tapi yang membeda-bedakan itu adalah manusia, bukan tehnya sendiri. Dengan satu kalimat yang sederhana itu agaknya Ho ingin mengingatkan, bahwa makna ditentukan dengan sewenang-wenang. Kita memang mengerti: gyokuro, nama untuk jenis teh yang dipetik ketika daunnya baru saja muncul, bisa punya makna lain, misalnya ketika seseorang menemukan bunyi atau huruf-huruf gyokuro di sebuah puisi yang menggambarkan embun. Dengan satu kalimat sederhana, Ho, sang pesilat, telah menyampaikan sebuah kritik, seperti Derrida, kepada logosentrisme. Makna begitu tak pasti, dan jika kita memastikannya, kita sendiri akan dikuasainya. Mungkin kritik yang sama membayangi sajak Subagio Sastrowardojo yang saya kutip di atas. Sajak itu mengandung ironi dan sekaligus rasa murung: Asal mula adalah kata Jagat tersusun dari kata Di balik itu hanya ruang kosong dan angin pagi Kita takut kepada momok karena kata Kita cinta kepada bumi karena kata Kita percaya kepada Tuhan karena kata Nasib terperangkap dalam kata Karena itu aku Bersembunyi di belakang kata Dan menenggelamkan diri tanpa sisa Saya katakan ironi dan rasa murung, karena bait terakhir itu: bersembunyi menyarankan ketakutan, ketidak-jujuran, kengganan tampil terus terang. Menenggelamkan diri menyarankan kehilangan, pembinasaan, dan kematian. Walhasil, sajak Subagio bukan merayakan kata sebagai pembebas, tapi kata sebagai keniscayaan, sesuatu yang tak terelakkan, walaupun tak dengan sendirinya menyenangkan. Kita ingat kalimat di atas: Nasib terperangkap dalam kata. Mungkin itu sebabnya seorang sastrawan Perancis, Maurice Blanchot, mengatakan: menulis adalah mematahkan ikatan antara kata dan diriku, menulis adalah menarik bahasa dari dunia. Dalam tafsir saya, yang dihasratkan Blanchot adalah membebaskan diri dari keadaan yang disebut Subagio terperangkap dalam kata atau yang dikatakan Nietzsche sebagai penjara bahasa. Perangkap itu memang sudah lama ada dalam diri kita. Seorang anak diberi nama oleh ayahnya, dan dengan itu ia membayangkan diri mempunyai satu identitas yang tetap satu penanda yang akan melekat pada KTP-nya, bahkan pada batu nisannya. Tapi sebenarnya, nama adalah semacam pembatasan, semacam larangan yang tak boleh dilanggar, agar dunia dan percakapan tidak kacau balau. Hanya kemudian kita tahu: ada dalam diri kita yang tak tertangkap oleh sebuah nama. Kata-kata Juliet dalam Romeo and Juliet yang sudah jadi klise itu tetap benar: "What's in a name? That which we call a rose By any other name would smell as sweet." [Apa arti nama? Yang kita sebut mawar Akan tetap harum biarpun bernama beda] Kita ingat, bahwa dalam lakon Shakespeare itu, Romeo tak boleh menikah dengan Juliet, karena mereka masing-masing punya nama keluarga yang menandai dua kubu yang bermusuhan. Sekali lagi, ketika nama jadi hukum, jadi pembatas yang meringkus manusia dan mereduksi dunia, sebuah laku pembebasan mau tak mau diperlukan. Puisi adalah sebuah ikhtiar ke arah pembebasan itu. Itulah sebabnya puisi membuka ruang artikulasi hingga longgar dan luas, sebuah lespace littéraire, ruang literer, dalam pengertian Blanchot. Puisi tak berangkat dari nama yang menyempitkan identitas, yang membuat arti beku. Puisi menampik konsep yang selesai. Konsep yang pasti dan selesai memang memungkinkan kita menguasai hal ihwal, kita tak merasa dalam khaos, kekaburan, ketidak-stabilan. Tapi niat untuk menguasai dunia mau tak mau akan menjerat manusia. Maka puisi lahir. Puisi hidup dengan dan dari metafora, yang mencoba menangkap hidup dalam kekayaannya yang tak terhingga. Mungkin itu sebabnya metafora sangat subur dalam khasanah sastra pra-modern: ketika bahasa belum disibukkan oleh konsep dan definisi, ketika dunia masih tampil sebagai pesona, bukan sebagai obyek ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapital. Tak mengherankan bila metafora (kiasan dan perumpamaan) tersebar dalam pepatah dan tembang yang berkisah. Saya kutip satu contoh dari salah satu cerita Panji yang terkenal, Wangwang Wideya: Saksana rahina umijil arka kumram angrandinima yaya cinirup sawang strya angliga panepi (Segera siang datang dan surya yang suci muncul, memerah gemilang seakan-akan dicelup warna, bagaikan seorang perempuan yang membuka pinggangnya). Tampak, dalam frase itu, yang sensual lebih muncul ketimbang yang serebral, pancaindera lebih berperan ketimbang logos. Kita seakan-akan kembali mengenali, bahwa di luar logos, di luar kata yang merasa berkuasa, masih ada seperti dalam sajak Subagio Sastrwardojo tadi ruang kosong dan angin pagi. Ada hal-hal yang belum ditaklukkan oleh kata, oleh nama yang diberikan sang bapak sebagai hukum, oleh apa yang disebut tata simbolik. Memang di sana ada khaos. Tapi saya kira, puisi adalah kesediaan kita untuk menerima chaos sebelum logos. Dalam chaos, kita menemukan kembali kebenaran sebagai proses, bukan sebagai kesimpulan. Kesimpulan (dari kata simpul, yang mengikat). mengimplikasikan adanya kekuasaan untuk menetapkan dan mengikat, adanya pemaksaan untuk menutup tafsir. Di hadapan wacana yang seperti itu, puisi adalah keterbukaan kepada yang tak rapi terumuskan, yang tak ternamai. Terkadang itu berarti keterbukaan kepada hening yang bukan kosong, kepada suwung yang sebenarnya berisi. Ada satu sajak Subagio lain yang saya kira menegaskan hal itu: Apakah hasil pembicaraan? Pertengkaran mulut atau bual sombong sekedar membenarkan perbuatan atau omong kosong mengisi waktu tak menentu. Ah, baik diam dan merasakan keramahan pada tangan yang menjabat dan mata merindu Dalam keheningan detik waktu adalah pilu yang menggores dalam kalbu. Memilih diam dan membiarkan gerak sebelum wacana dikuasai logos, memilih diam dan membiarkan tubuh menyampaikan isyaratnya, memang tak selalu membuat hal jadi jelas. Tapi kita setidaknya kita bisa lebih bisa tahu, bahwa kita tak harus mengenggelamkan diri tanpa sisa dengan bersembunyi di belakang kata. Kita selalu bersisa. Dengan itu pula, kita bisa merdeka. di 1:43:00 AM 0 komentar Label: goenawan mohamad blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage. [Non-text portions of this message have been removed]