Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  BALI
   
   
  Akhir tahun 2007, dua bulan aku berada di tanahair tanpa  berberita tentang 
kehadiranku kepada banyak teman, karena aku tidak menganggap  diriku penting  
dan memang bukan orang penting dalam bidang apa pun sebagaimana orang lain 
memberitakan kepulangannya. Penting dan hebat dari segi apa ya, sampai perlu 
diuar-uarkan? Sebuah pertanyaan antropologis mentalitas saja.  
   
   
  Pada kesempatan ini, aku menyempatkan diri menghadiri Pertemuan Ubud Writers 
and Readers yang sudah berlangsung beberapa kali. Kuharapkan dengan kehadiran 
ini aku punya kesempatan sekaligus berjumpa dengan teman-teman-teman lama yang 
tak berjumpa. Ini pun adalah kunjungan pertamaku ke Bali. Sebelumnya aku hanya 
transit. Sedang beberapa kali peluang semasa remaja Yogya, tak kugunakan karena 
harus menjadi "penunggu rumah": Yogyakarta, kota pengasuh remajaku. 
   
   
  Tahun 1991, waktu terbang dari Melbourne melalui Bali ke Jakarta, memandang 
ke bawah aku melihat Australia berwarna merah dan kering. Tapi begitu melintasi 
Bali,  aku menyaksikan sawah-sawah teras dan warna hijau segar. Pemandangan 
yang ingatkan aku akan kata-kata Presiden Soekarno bahwa tanahair kita sangat 
indah sulit tertanding.  Rara, berartikah bagimu keindahan tanahair ini? Apakah 
arti keindahan tanahair itu ketika ia mandi darah di suatu masakre, jadi 
kampunghalaman koruptor, sarang kekerasan atas nama Tuhan,   kemiskinan dan 
pengangguran  yang tak juga berkurang -- warna-warna hitam yang mengotori wajah 
negeri?  Kau kutanyai begini karena waktu aku masih mahasiswa Gadjah Mada di 
Yogya, aku kelaparan. Dari beranda asrama aku memandang mawar di taman asrama 
dan bertanya pada diri:Apa indahnya mawar dan apa artinya indah jika perutku 
lapar? Sekilas, aku pun teringat kata-kata Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 
1930an yang berpesan kepada anak tunggalnya: "Jangan jadi
 pengarang kalau kau takut gila". "Jangan jadi pengarang jika takut lapar". 
Waktu lapar kita tak bisa menulis. "Tubuh kita seperti jendela. Yang masuk ke 
perut segera keluar", jika menggunakan ungkapan canda anak-anak Kesawan Medan 
tahun 60an.  
   
   
  Aku memang melihat  dan merasakan indahnya Bali seperti halnya aku menikmati 
dan melihat keindahan khusus daerah-daerah lain. Tapi sekaligus di tengah 
keindahan, keramahan, di antara patung-patung dan lukisannya, serta angin 
pantainya yang mengusap muka dan mengaduk rambutku,  aku sekaligus merasa 
sangat sedih.  Melihat Bali aku seperti melihat Kalimantan , pulau lahirku.  
Kalimantan kaya akan sumber daya alam: hutan, emas, minyak dan lain-lain... 
tapi penduduknya tetap saja miskin. Hutan jadi padang pasir seluas mata 
memandang, sudah dikapling-kapling, sungai penuh airraksa. Bali tidak punya 
sumber alam seperti Kalimantan, tapi ia punya kekayaan budaya luar biasa.   
Hanya saja aku melihat, seperti halnya dengan Kalimantan, kekayaan ini habis 
terjual dan dijual. Sementara orang setempat hanya mendapatkan remah-remahnya 
saja, kalau pun remah-remah itu ada dan memadai. Apakah kita sebagai penduduk 
lokal hanya cukup puas dengan remah-remah ini?  Aku melihat benar, ketika aku
 bekerja di Kalimantan, bahwa  remahremah ini sama dengan tangis, derita dan 
kemiskinan serta kehilangan diri. Penyingkiran diri dan barangkali menempatkan 
kita pada perbudakan tipe baru. Aku tidak mengharapkan kita hidup dari "trickle 
down effect" Rostow. Aku ingin kita jadi tuan di kampung kita dan ini mungkin. 
Aku khawatir , "trickle down effect" Rostow adalah pelanggengan perbudakan 
belaka. Barangkali pengenalanku akan Bali tidak cukup, tapi aku tak gampang 
melepaskan kesan ini. Waktu krisis moneter, tanah-tanah dijual dan jatuh ke 
tangan orang asing. Artinya orang Bali makin kehilangan tanah. Dampak 
kehilangan tanah ini, kukira sangat besar. Waktu di Kalimantan, aku ingatkan 
benar kepada penduduk kampungku agar jangan gampang-gampangan menjual tanah, 
lebih-lebih menyongsong disatukannnya pulau oleh jalan trans Borneo dan 
kereta-api. "Jangan gampang-gampang jual tanah, apalagi kepada orang asing", 
adalah harapanku kepada orang di kampungku. "Jangan melihat esok  hanya
 sejauh jari". Malangnya, hal begini terjadi di kalangan keluargaku sendiri 
ketika aku jauh dan tak berdaya. Aku melihat jalan perbudakan baru makin lebar.
   
   
  Bali, yang kulihat pun tidak jauh dari keadaan pulau kelahiranku. Lebih-lebih 
jika kita melihatnya dari  posisi perempuan. Aku datang ke restoran-restoran 
Ubud. Luks dan baik memang. Tapi aku menyaksikan yang dominan adalah bulé 
sebagai boss, sedangkan yang orang Bali tidak lebih dari pengantar makanan dan 
penunggu bar. Aku merasa asing  dan merasa sakit di restoran begini. Merasa 
asing dan sakit karena aku mau, orang Indonesia, orang Bali, orang Kalimantan 
jadi tuan di kampung, pulau dan negeri mereka. Kitalah yang mengatur orang 
asing, bukan sebaliknya. 
   
   
  Tidak usah jauh-jauh. Ambil saja Pertemuan Ubud Writers and Readers. 
Prakarsanya berasal dari seorang asal Australia. Kita , orang Indonesia cukup 
bangga dengan status embel-embel dan hadir. Ubud dijual. Apakah tidak baik 
seandainya pertemuan internasional begini diprakarsai oleh penulis-penulis 
Indonesia? Tapi di mana prakarsa kita? Tanpa prakarsa kita menggunakan strategi 
mereaksi dan bukan berprakarsa. Tanpa prakarsa kita sebenarnya, belum 
mejinggalkan mentalitas budak. Ngekor! Bangga jadi ekor dan budak. Beda dengan 
penyelenggaraan Konprensi Pengarang Asia-Afrika zaman Soekarno dulu.  
Barangkali prakarsa zaman Soekarno yang aktif dan menolak jadi embel-embel 
sudah ketinggalan zaman?! Aku jadi teringat akan kata-kata Presiden Soekarno 
bahwa kita adalah bangsa koeli di antara koeli. Canangan Presiden Soekarno ini 
aku masih lihat pada Pertemuan Ubud Writers and Readers. Di Bali , di Ubud 
Writers and Readers aku melihat mentalitas kita masih mentalitas "bangsa koeli 
di
 antara koeli" dan kita bangga jadi koeli. Aku melihat Bali diperas sama 
habisnya dengan pemerasan sumber daya alam pulau-pulau lain. Bedanya , Bali 
diperas dari segi kebudayaan. Orang Bali tidak menjadi tuan di pulau dan 
kampungnya.  Di Bali, aku melihat kembali bahwa masalah kerusakan kita yang 
terpenting agaknya terletak pada kerusakan pola pikir, mentalitas, wawasan dan 
komitmen manusiawi. 
   
   
  Datang ke Bali, seperti halnyaa ketika saban  datang ke Kalimanta atau Papua, 
aku melihat daerah-daerah itu terancam hilang. Sekali pun demikian, kepada 
Amazran Loebis di kantornya tingkat empat gedung Majalah Tempo, sebelum 
mengucapkan "sampai jumpa" masih kukatakan bahwa "Indonesia masih merupakan 
negeri di mana kita tetap bisa berharap".
   
  "Sekali pun amburadul?", tanya Amarzan.
   
  "Iya!" , jawabku. Amarzan mereaksiku dengan geleng-geleng kepala berkata:
   
  "Kau masih yang dulu saja!".
   
  Aku menutup pintu kantor Amarzan . Ingat besok aku akan terbang ke Paris, 
dalam hati aku bertanya:  "Indonesia, apakah kau menutup pintumu untukku?! Aku 
tetap anakmu padahal!".
   
  Menuruni tangga gedung kantor Majalah Tempo meninggalkan Amarzan, aku kembali 
merasakan seperti sedang meniti tangga-tangga tragedi. Tangga yang kutiti 
seperti tak punya usai dan mengejek menantangku. Menyongsong Rara yang 
menungguku di Tokobuku Imanuel, aku melihat bayangan Bali, suasana Ubud Writers 
and Readers,  di mana aku merasa sakit dan dilukai. Indonesia dan aku sebagai 
anaknya sama-sama luka. Aku mau bangkit dengan luka-luka ini. Kukira Indonesia 
pun demikian. ***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke