Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  KE SUATU MALAM  PUISI DI KEDAI KEBUN
   
   
  Sinyal sms telpon genggamku yang sederhana berbunyi. Hari itu awal November 
2007.  Kubuka, ternyata pesan dari Saut Sitomurang: "Aku harap Bung bisa datang 
jam 20:00 malam ini di Kedai Kebun, Yogya. Ada acara baca puisi".  
   
   
  Sebelumnya, kami, aku dan Saut,  memang sudah pernah bertemu berdua. 
Pulang-pulang ke tempat masing-masing, malam  sudah cukup larut setelah omong 
hulu-hilir tentang macam-macam soal sastra , tentu saja. Saut mengantarku 
dengan sepeda motornya.  Sambil menuju ke tempat penginapanku di Jalan Dagen,  
menengahi gemuruh lalulintas dan derum sepeda motornya,  aku cerita masa remaja 
Yogyakartaku. 
   
   
  "Kau kangen iya?"tanyanya.
   
  "Tidak juga. Hanya terlalu manis untuk bisa lepas dari   dari ingatan", 
ujarku. "Yogya, mempunyai tempat sendiri dalam hidupku. Betapa pun waktu dan 
segala peristiwa telah mengobah dan sempat mengasingkan aku daripadanya, Yogya 
tetap merupakan salah satu arah yang kutuju saban ada kesempatan. Aku masih 
hapal lorong-lorongnya yang dulu sering kulalui dengan jalan kaki saban pergi 
kuliah. Yogya seperti Rara yang melekat di hatiku", tambahku.
   
   
  Dengan latar Yogya begini maka sms Saut segera kubalas: "Aku pasti datang 
Bung". Jawabannya pun segera: "Kutunggu!". Dalam kontak dengan Saut, aku 
berterimakasih kepada Sai yang telah menyiapkan pertemuan kami.  
   
   
  Berjumpa langsung dan bicara kurasakan memberi peluang untuk saling mengenal 
pribadi, pandangan dan sosok seseorang. Jika ada persoalan, cara ini pun akan 
membuka peluang besar untuk memecahkan persoalan, jika memang ada masalah.  
Melalui pertemuan berkali-kali, aku mulai mengenal Saut lebih jauh.  Mengenal 
alur pikirannya dan lebih-lebih lagi perasaannya.   
   
   
  Aku memang lebih tua usia dari Saut, tapi aku tidak merasakan kelebihan usia 
sebagai kelebihan dalam sastra dan bidang-bidang lain. Kami berbicara dalam 
posisi setara, bahkan mendekati curhat. Memecahkan soal jika berangkat dari 
perasaan lebih unggul dan tidak bertolak dari keinginan menyelesaikan soal, 
perjumpaan hanya akan berujung dengan ketegangan kian meruncing. Dalam hal ini, 
aku jadi teringat akan kepekaan remaja Yogyaku dulu. Aku sering tidak puas dan 
memprotes. Dalam menghadapi sikapku ini, aku bertemu dengan macam-macam sikap 
pula. Ada yang mengatakan secara terbuka bahwa "aku anak kemarin sore, tak 
perlu diindahkan". Bahkan ada yang mengejek: "Apa sih perlunya sastra dalam 
hidup!?". Tapi ada  pula yang memperlakukan kebengalanku dengan sabar, 
mendengarku dengan sabar, mencoba memahami pikiran dan perasaanku, bahkan 
menempatkan aku setara dengan dirinya, betapa pun jenjang pengetahuan, 
pengalaman dan usia sesuai dengan prinsip "tut wuri handayani", "saling asih,
 saling asuh dan saling asah". Sikap terakhir ini membuatku kemudian malu 
sendiri, dan aku dijawab: "Aku adalah matahari yang sudah condong ke barat dan 
kau adalah matahari jam 8-9 pagi. Dalam analisa terakhir, kaulah, angkatanmulah 
pemilik bumi dan esok, bukan aku yang berbau tanah". Ketika mengenal istilah 
ilmu komunikasi "win-win  solution", sempat juga terlintas di kepalaku, apakah 
ini bukan istilah baru yang dimenterengkan agar lebih kelihatan canggih secara 
psikhologis atas nama  sesuai zaman,  untuk suatu kearifan lama? Dari apa yang 
kualami dan bagaimana aku diperlakukan , membekas benar betapa penting arti 
kemampuan mendengar dan saling menghargai serta menghormati harga diri orang 
lain. Untuk sampai ke tingkat ini, tingkat yang kusebut sebagai tingkat lebih 
dewasa secara psikhis, pemikiran dan perasaan, aku menempuh jaman berliku dan 
jatuh bangun. Ketika tiba di tempat begini, aku menertawai diri sendiri, 
menertawai kepongahan yang sesungguhnya tidak lain dari
 sifat kekanakan, berbeda dengan mimpi, cinta dan cita-cita. Mimpi atau cinta 
yang ranum pun agaknya merupakan buah yang dimatangkan waktu. Tidak dirontokkan 
angin ketika masih puitik. Mengatakan "kamilah, akulah, ukuran, standar sastra" 
, kukira tidak lain dari kepongahan bocah sedang tumbuh yang tidak indahkan 
kiri-kanannya. Pede sih pede, tapi kepedean yang awur-awuran.
   
   
  Agar bisa mengikuti acara dari awal , dan agar keterlambatan tiba tidak 
menarik perhatian orang, aku pun datang lebih awal ke Kedai Kebun. Sambil 
menunggu acara dimulai, aku melihat-lihat keadaan Kedai Kebun yang sudah banyak 
berobah dari beberapa tahun sebelumnya ketika kukunjungi.  Orang-orang kulit 
putih dan Indonesia, ada yang asyik di komputer tanpa kabel, ada yang makan dan 
minum di ruang restoran, ada juga yang seperti aku melihat-lihat buku yang 
dipajangkan di tembok. Tak terlalu kaya memang jumlah dan judul buku-buku yang 
dipajangkan sehingga bisa kupastikan dari buku-buku ini Kedai Kebun yang 
kudengar disponsori dan dimiliki oleh seorang pelukis [perempuan?!] tidak 
mungkin ia menjalankan kelangsungan Kedai Kebun. Aku menduga bahwa sumber 
finansial utama akan bersandar pada usaha restoran.  Buku-buku yang dipajang 
tidak lebih dari menciptakan suasana budaya secara permanen. Bahwa restoran 
Kedai Kebun beda dari restoran biasa, apalagi ada ruang pertunjukan di
 lantai satu atau atas,  yang mampu menampung kurang lebih 100-200 orang.  Di 
ruang inilah dilakukan rupa-rupa pergelaran. Sebuah ruangan yang lebih memberi 
suasana budaya pada Kedai Kebun. Pembacaan puisi yang diorganisasi oleh Saut 
Situmorang malam ini pun berlangsung di ruang ini.
   
   
  Makin malam makin banyak orang-orang tak kukenal datang dan langsung memasuki 
mamadati  ruang pergelaran.  Duduk di atas kloso alias tikar. Aku suka cara 
ini. Selain sederhana, juga kupandang suatu kritik pada mewahisme yang 
sedikit-sedikit menggunakan hotel berbintang guna menyelenggarakan rapat atas 
nama keadilan, kemiskinan, pembangunan dan HAM atau kata-kata indah lainnya 
yang secara kenyataan merosot jadi jargon. Melalui keadaan ini pun aku melihat 
bahwa bangsa ini sakit berat. Aku sendiri bersama walikota Palangka Raya pada 
Kolonel Salundik Gohong, sering menyelenggarakan pertemuan dengan menggunakan 
tikar rotan saja. Dan Salundik serta istrinya , tanpa keengganan sedikit pun 
sering menyusup dan membaur ke kampung-kampung. 
   
   
  Oleh keserdahanaan ini maka  aku menyukai pembacaan puisi yang diorganisasi 
oleh Saut Situmorang yang dibilang "kasar" bahkan "brutal" oleh sementara 
orang, malam ini dengan cara seadanya, tapi berlangsung lancar. 
   
   
  [Tentang "brutal" dan tidak "brutal","kasar" dan tidak "kasar", sesungguhnya 
bisa perlu dilihat lebih serius. Apa ukurannya?  Kebrutalan pun bisa 
menampakkan diri dalam berbagai bentuk: kasar dan halus. Diam pun bisa bermakna 
brutal.  Kepekaan jika berhadapan ketidakadilan, akan membangkitkan perlawanan 
dalam berbagai bentuk , apalagi jika ketidakadilan itu dilakukan oleh pihak  
yang lebih "kuat" . Dalam konteks ini, aku lalu merasa bahwa belajar dan 
sekolah yang membuat orang punya syarat untuk  menjadi dan berusaha merdeka dan 
menjadi dirinya, membuat orang makin berpikir serta membuat orang makin peka. 
Belajar kadang terasa  merupakan keterlanjuran beresiko tinggi. Belajar dan 
sekolah membuat orang menolak jadi ekor dan budak, peka pada ketidakadilan dan 
kesewenang-wenangan keangkuhan yang merasa diri kuat dan dominan]. 
   
   
  Paling tidak 40 penyair dari berbagai pulau membacakan puisi mereka. Manusia 
bersifat kompleks, jika menggunakan pendekatan sosiolog-filosof Perancis Edgar 
Morin. Manusia dan hidup nampak padaku bukanlah hal-ikhwal bersahaja. 
Kepongahan, ketidak toleransi, keengganan memahami , kukira sama dengan 
menyahajakan masalah yang kompleks. Kekomplekan ini juga kusaksikan di Kedai 
Kebun malam ini. 
   
   
  Melalui acara baca puisi di Kedai Kebun malam ini pun, seperti halnya dengan 
kegiatan-kegiatan sastra yang kami lakukan di Palangka Raya bersama walikota 
Salundik Gohong dan Soelandari, kepala Dinas Pariwisata Kalteng , bahwa manusia 
bisa menjadi tuan atas dirinya dan tidak menjadi budak uang yang ia ciptakan. 
Benar bahwa di zaman ini, uang adalah Frankenstein yang bertarung dengan 
penciptanya.   Membiarkan Frankenstein berkuasa, kulihat kita menutup jalan 
maju memanusiawikan diri, kehidupan dan masyarakat. Pembacaan puisi di Kedai 
Kebun malam ini yang diorganisasi oleh Saut Situmorang dengan menghadirkan 
penyair-penyair dari berbagai pulau, seperti halnya kegiatan Festival Lima 
Gunung di Jawa Tengah atau Ode Kampung yang diselenggarakan oleh Rumah Dunia, 
Serang, Banten atau Kongres-kongres NU, aku masih melihat bahwa manusia belum 
terkalahkan. Manusia yang manusiawi dulu, baru uang. 
   
   
  Hal lain yang menarikku pada malam puisi yang diorganisasi secara periodik 
oleh Saut Situmorang sejak Febuari tahun lalu [kalau tak salah ingat], bahwa 
selain memberi peluang kepada semua , terutama penyair-penyair muda yang belum 
"terangkat", adalah kesan bahwa rasa keindonesiaan itu lebih kental pada 
penyair-penyair luar Jawa, lebih-lebih dari Indonesia Timur.  Yang dari Jawa, 
terkesan padaku, lebih leleh pada berindah-indah. Sementara yang dari luar Jawa 
selain mencoba berangkat dari lokalitas, semangat berusaha menjadi Indonesia 
lebih kental.  Padahal keadaan pulau-pulau di luar Jawa dalam banyak bidang 
jauh ketinggalan dari Jawa.  Apakah keterpinggiran ini yang justru mereka lebih 
berharap pada konsep Republik dan Indonesia, betapa pun "ambulradumnya", jika 
menggunakan istilah penyair Amarzan Ismail Lubis.  Terkesan padaku, pada 
penyair-penyair asal Jawa, lebih ada rasa kemapanan relatif sehingga bentuk 
pergulatan jadi berbeda dengan yang dihadapi oleh luar Jawa atau
 "daerah seberang".  Hal ini kudengar dari puisi-puisi para penyair dari 
Flores, Timor Barat atau Sumatra dan Kalimantan yang tampil malam itu. 
Sayangnya aku tidak sempat mendapat teks puisi-puisi yang dibacakan itu karena 
didesak malam.
   
   
  Yang mengesankan juga pada malam pembacaan puisi di Kedai Kebun adalah 
terciptanya forum pengungkapan diri para penyair dari segala penjuru. 
   
   
  "Ayo tampil tanpa segan", ujar Saut. "Kalian sering mengeluh tak punya 
kesempatan dan froum mengungkapkan diri, sekarang forum sudah disediakan. 
Mengapa tidak digunakan".  
   
   
  Di segi lain, adanya forum periodik begini dan bersifat kesetaraan tanpa 
keangkuhan tapi justru melapangkan jalan pengembangan diri, kuanggap sangat 
insipiratif dan berguna. Forum setara dan pengembangan begini, kukira mempunyai 
makna bagi pengembangan sastra.  Tanpa pembedaan, semua yang hadir diakui 
sebagai penyair sah.  Sah sebagai penyair.   
   
   
  Forum pembacaan puisi dan diskusi Kedai Kebun nampak padaku tidak mempunyai 
pretensi menyeleksi dan apalagi untuk mengesahkan  seseorang sebagai penyair 
atau tidak, tapi memberi forum kepada semua yang bersyair. Pengakuan?  Apa sih 
artinya pengakuan? Apa sih otoritas bagi sesorang atau kelompok untuk   
mengesahkan seorang menjadi penyair atau tidak? [Wahai pengakuan dan yang 
merasa diri berhak mengesahkan kepenyairan seseorang! Aku hanya mencandai diri 
sendiri dan ngakak sendiri].   
   
   
  Adanya forum periodik yang diorganisasi oleh Saut di Kedai Kebun, sungguh 
jauh lebih baik dari pertemuan malam Bringharjo di masa remajaku.
   
   
  Saut Situmorang yang "kasar" dan "brutal" kusaksikan lembut, toleran, dan 
demokratis serta tidak menonjolkan diri. Tapi iya, sebagai seorang Batak , ia 
tetap alot. Saut manakah ini? Dalam percakapan berdua, aku masih sangat ingat 
ia pernah mengatakanku dengan lembut: "Sebenarnya aku bisa berkata lebih lembut 
sejati dibandingkan dengan orang Jawa". 
   
   
  Hei, aku ingatkan benar agar ketika mendengar kata-kata ini,   jangan kau 
katakan aku mengungkit dan mengobarkan konflik SARA dan jangan dorong aku 
menyokong gerakan pemisahan diri dari Republik Indonesia dengan kata-kata tak 
tertakar!  Aku sedang membicarakan kesan jujurku ketika  menghadiri pembacaan 
puisi di Kedai Kebun Yogyakarta. Terimakasih Bung Saut bahwa kau telah 
mengajakku  dan ingat aku. Terima kasih juga kusampaikan  kepada Sai yang telah 
mengatur segala yang memungkinkan aku bisa menghadiri berbagai kegiatan sastra 
di berbagai tempat selama aku berada di Indonesia.
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke