Tentu saja si Salma menggunakan pdt Nehemia sebagai titik tolang, karena 
niatnya yang tidak mulia dalam mengadakan perbandingan, yakni untuk merendahkan 
agama lain.
   
  Benar sekali, keimanan agama A tak dapat digunakan untuk menilai agama B. 
Jangankan iman, tradisi dan kebiasaan yang dinamakan adat istiadat sebuah suku 
saja, tak mungkin dipakai menilai suku lainnya. Coba bayangkan, parameter 
perilaku manusia Jawa, terutama dari Jogya Solo dipakai untuk menilai peilaku 
orang Sumatra utara. Pasti tidak pas..
   
  Terimakasih, pak atas pencerahan.
  

Lukas Kristanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Komentar saya ini sebagai tanggapan atas posting-posting mbak Salma 
Fei (khususnya tulisan Pdt Nehemia)
----------------------------------------------------------

Saya ingin luruskan terlebih dulu tentang apa yang dimaksud dengan penafsiran 
alegoris. Alegori adalah cara menafsirkan teks-teks kitab suci dan doktrin 
keagamaan dengan model perlambangan. Burung merpati adalah lambang perdamaian, 
padi dan kapas adalah lambang keadilan dan kesejahteraan, itulah contoh-contoh 
alegori. Sedangkan metafora yang sering digolongkan dalam kelompok alegori 
(walau saya tidak sependapat) bukanlah bersifat perlambangan tetapi merupakan 
transposisi makna untuk menggambarkan sesuatu yang ekspresif-aktraktif dan luar 
biasa (extraordinary) melampaui kebiasaan pada umumnya, seperti kata: Arkhiles 
menerkam seperti singa, pukulan rudi yang bak meteor menjatuhkan lawannya , 
kata menerkam yang biasanya dikonotasikan pada singa digunakan untuk menyatakan 
keluarbiasaan Arkhiles. Jadi alegori lebih bersifat simbolisasi, sedangkan 
metafora merupakan transposisi.

Dalam studi biblika yang bersifat theologis, baik dalam konteks hermenuetika 
maupun misterical-expository (penyingkapan makna tersembunyi), para theolog 
akan menghindari penggunaan alegori dan bahkan sangat tabu menggunakannya! 
Dengan alasan, selain unsur subyektivitas yang tinggi, juga karena biasanya 
alegori sangat literal dan tidak menyelam ke dalam teks, sangat berbeda denga 
metafora yang lebih mengarah penggambaran yang ekstra terhadap sesuatu.

Begitu lemahnya model penafsiran ini, maka akan semakin runyam jika digunakan 
untuk menafsirkan teks dan doktrin agama lain (religion comparassion). Maka 
selain memunculkan kontroversi, juga akan berakibat memunculkan apa yang 
disebut Mike Gascoigne dengan latent danger (bahaya latent). Orang dari agama X 
menafsirkan kitab suci agama Y, tentu paradigmanya dari kacamata X, yang 
tentunya dari basis imannya saja tidak equivalent.

Melihat cara penafsiran yang dilakukan Pdt Nehemia (Amos) jelas dia bukanlah 
seorang theolog, yang dalam tataran berpikirnya jauh dari prinsip-prinsip 
theologis. Dalam etika perbandingan agama obyektivitas ditempatkan sebagai 
basis analisa, karena ranahnya adalah keilmuan (scientific area) dan selalu 
menghindari adanya semangat menggempur (warlike) atau membandingkan untuk 
menandingi (counter-balance). Agama satu dengan yang lain tidak dapat 
dibandingkan (incomparable) tetapi dalam rangkah studi lintas agama kebutuhan 
perbandingan agama dibutuhkan untuk mengenal (recognizing) agama lain sebagai 
dasar toleransi.

Saya berharap, semua analisa Pdt Nehemia tidak digeneralisasikan sebagai cara 
pandang para pendeta, pastur, terutama para theolog, karena hal ini akan 
menimbulkan prasangka umum (general prejudice). Bagi saya, model perbandingan 
agamanya Pdt Nehemia --kalau meminjam istilah Alm. Pdt. Eka Darmaputra 
merupakan narrow-mindedness.....!

Salam

Lukas Kristanto

Looking for the perfect gift? Give the gift of Flickr! 

http://www.flickr.com/gift/



                         

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke