Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  KEMBALI KE YOGYAKARTA KOTA PENGASUH 
   
   
   
  Hari itu kembali aku sudah berada di Yogya. Khusus untuk berjumpa dengan Saut 
Situmorang.  Pada hari pertamaku di kota pengasuh ramajaku ini, ketika pulang 
tahun lalu, aku diajak oleh A. Malik untuk berjumpa dengan kawan-kawan pelukis 
yang sedang mengerjakan lukisan mural di tol Lempuyangan, sampai larut tengah 
malam. Lukisan mural merupakan salah satu ciri Yogyakarta dewasa ini, ujar 
kawan-kawan pelukis yang kutemui malam pertamaku di Yogya. Lukisan mural 
memberikan suasana khusus pada Yogya. Beaya pengerjaannya dilakukan dengan 
bantuan walikota -- menunjukkan peran positif yang bisa dilakukan oleh 
penyelenggara kekuasaan dalam mengembangkan kegiatan berkesenian. Mural yang 
sekarang ditangani, betemakan cerita-cerita legenda lokal Jawa Tengah. Waktu 
menjadi penasehat walikota Palangka Raya semasa Salundik Gohong, aku memang 
menganjurkan walikota memperhatikan soal warna lokal ini sehingga apabila orang 
datang ke Palangka Raya, orang segera merasa bahwa ia sedang berada
 di Tanah Dayak. Warna lokal juga akan membuat orang, secara langsung atau 
tidak, melirik sejarah dan budaya setempat di mana ia dilahirkan dan 
dibesarkan.  
   
   
  "Tolong tunggu aku. Aku segera datang" , jawabku melalui sms kepada Saut yang 
mengatakan bahwa ia sudah tiba di penginapanku  sederhanaku. Melihatku tiba, 
Saut langsung berdiri dan memelukku hangat. Ya, Saut memelukku hangat laiknya 
sebagai dua sahabat lama yang jarang bersua.  Tak kudapatkan kesangaran pada 
orang memelukku dan pelukannya kubalas dengan hangat pula. Sangar dan tidak 
sangar, agaknya memang relatif dan sering sangat subyektif serta emosional. 
Jika sangar sebagai suatu kesimpulan, kukira, sebelum sampai pada keseimpulan, 
akan sangat layak jika kita melihat dan mempelajari rupa-rupa segi, saling 
hubungan segi-segi itu,  untuk bisa relatif utuh memahami hal-ikhwal. Malangnya 
, tidak jarang kita suka berasyik-asyik dengan subyektivisme dan bangga pada 
praduga sebagai kebenaran. Ngintrik dan gunjing pun adalah salah satu bentuk 
subyektivisme  ang dalam sejarah republik kita pernah menimbulkan banjir darah. 
Jika benar bahwa demikian pentingnya pola pikir, jika
 benar demikian besar dampak pola pikir terhadap kehidupan individu dan 
kolektif, malangnya  kerusakan terbesar yang diidap negeri dan bangsa kita 
justru terdapat di sektor ini. Bermula dari kerusakan sektor ini sehingga kita 
tanpa enggan memerosotkan diri secara individual dan bangsa. Aku jadi teringat 
akan kata-kata Shakespeare dalam drama "Hamlet"-nya: "there is something wrong 
in the state of Denmark" dan tidakkah "there is something wrong in the state of 
Indonesia" dewasa ini?
   
   
  Jumpa pertamaku dengan Saut, terjadi di TIM Jakarta ketika Meja Budaya asuhan 
Martin Aleida, mengorganisasi diskusi proses kreatif Eka Kurniawan. Dalam 
pertemuan ini, relatif,  identitasku  tak dikenal. Dalam diskusi di TIM yang 
tidak terlalu serius ini, kudapatkan pendapatku dan Saut saling mengisi. Sekali 
pun demikian, melalui diskusi ini, aku belajar banyak dengan  melihat wajah 
pemikiran dan polah para penulis angkatan sekarang. Aku belajar membaca keadaan 
kekinian negeriku. Melihat potensi pendukung-pendukung dan penyangga dunia 
sastranya hari ini dan esok. Aku mengkhawatiri bahwa kita lebih suka mengagumi 
bayangan pohon daripada pohon yang sesungguhnya, kalau menggunakan istilah 
cerita silat. Kita pun menjadikan diri dan bermain dengan bayang-bayang. Suatu 
bentuk masturbasi mental. Mentalitas "mie instant" apakah bukan ujud dari 
masturbasi mental?! Aku tidak tahu seberapa jauh ilmu antropologi mentalitas 
berkembang di Indonesia dan seberapa jauh masalah mentalitas
 bangsa ini sekarang disorotnya. Di kalangan pengajaran ilmu fisafat pun tak 
jarang kutemui keasyikan atas nama "go interasional" tapi dengan 
mengunyah-ngunyah yang diulas di dunia Barat sambil memandang bahwa bangsa 
sendiri yang terdiri dari rupa-rupa etnik tidak mempunyai filsafat. Filsafat 
hanya terdapat di Yunani Kuno dan Barat. Saban mendengar pernyataan begini , 
aku selalu langsung bertanya: "Apa Anda kenal negeri dan diri Anda? Apa bangsa 
asal Anda?" . Di hadapan keadaan begini , aku sering teringat pada konstatasi 
Frans Fanon yang menyindir  Orang Hitam dengan kata-kata "berkulit hitam 
berjiwa putih". Dengan kata lain asing dari diri sendiri.  Apakah kita luput 
dari sasaran sarkasme gugatan Fanon ini?Dari sejarah dunia sastra kita, kukira 
keadaan begini pun bisa ditelusuri. Tapi sudahkah ada kajian akademi tentang 
soal ini? Aku anggap menempatkan sastra Barat atau sastra lain di luar 
Indonesia, sebagai standar bermutu tidaknya karya sastra, barangkali merupakan
 gejala rendah diri dan kehilangan diri . Tidak bisa mengharga i diri sendiri 
dan budaya sendiri.  Kukira akan lebih kena jika sastra dari negeri mana pun 
kita jadikan acuan dan bandingan dalam suatu pencarian diri, dan bukan 
menempatkannya sebagai standar baik-buruk. Melihat keadaan begini, jika 
penglihatanku benar, demikian,  aku sempat berpikir: Apakah masalah kompleks 
rendah diri -- yang sisi lainnya menjelma berbentuk kepongahan, sektarisme -- 
merupakan bakteri berbahaya menyerang jiwa, hati dan kepala kita.  Dengan 
demikian sarkasme gugatan Fanon, barangkali layak dicamkan. 
   
   
  Dalam jumpa berdua dengan Saut Situmorang, juga dengan Nursam dari Penerbit 
Ombak,  soal ini kuangkat. Ketika mengangkatnya, seperti juga sering kutawarkan 
dalam berbagai kesempatan , seperti di Muntilan, aku menduga sudah saatnya kita 
memikirkan penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Nasional Dari  Bawah. Embrio 
kongres ini sudah diperlihatkan oleh Festival Lima Gunung dan Ode Kampung Rumah 
Dunia Serang, Banten. Dalam Kongres Kebudayaan Dari Bawah ini, pemerintah bisa 
ikut, dan selayaknya turutserta, tapi setara dengan yang lain: sebagai peserta. 
 Kongres ini berangkat dan bersandar dari pelaku-pelaku kebudayaan, bukan 
pejabat. Ia berusaha menyimpulkan keadaan yang ada dan mencoba merumuskan 
langkah-langkah programatik sebagai tindak lanjutnya untuk membangkitkan suatu 
gerakan kebudayaan yang bhinneka, berkindonesiaan dan republiken. Barangkali 
Kongres Kebudayaan Dari Bawah begini berguna untuk menata ulang dan mengelola 
kemajemukan hingga menjadi suatu kesadaran mendasar
 dan dimiliki bersama. Saat ia menjadi milik bersama maka ia akan berobah jadi 
kekuatan material. Kata, menjadi terjemahan baik bagi  kesadaran dan tindakan 
serta kenyataan. Kata, tidak merosot jadi jargon. Saat keadaan bergini 
tercipta, barangkali gerakan kebudayaan akan berkembang seperti bola salju. 
Pada saat demikian aku melihat semangat Kraeng Galesong yang meninggalkan laut 
mendarat di Jawa Timur bergabung dengan Trunajaya tumbuh di iklim baru. Dan 
anak-anak bangsa dewasa ini, tumbuh sebagai anak zaman yang tanggap, tidak 
menjadi Malinkundang baru yang dilahirkan oleh globalisasi kapitalisme. 
   
   
  Mendengar usulku, Saut bertanya: "Beayanya dari mana untuk menyelenggarakan 
Kongres demikian?". Iya Saut mendengarku. Menyimak pikiranku. Ia bisa dan 
pandai mendengar interlukutornya. Sikap yang mengingatkan aku akan ucapan Sai, 
temanku: "Aku suka mendengar orang dan bisa jadi pendengar yang baik". 
Mendengar memang kuanggap suatu kemampuan dan bukan hanya mau didengar. Walau 
pun kita punya telinga tapi sering kita berulah seperti kita tak memiliki alat 
pendengar ini. 
   
   
  Menjawab pertanyaan Saut ini kukatakan: Pengalaman Rumah Dunia dengan Ode 
Kampungnya, pengalaman NU dengan kongres-kongresnya, demikian juga pengalaman 
budayawan Jateng menyelenggarakan Festival Lima Gunung, memperlihatkan bahwa 
uang merupakan soal kedua. Yang pertama-tama keselesaian pikiran pada anak 
manusia". 
   
   
  Malam sudah larut sekali di sekitar botol bir kami yang terakhir, 
mengisyaratkan bahwa sudah waktunya kami pulang. Ketika berpisah, aku merasa 
bahwa kebersamaan merupakan kekuatan, dan jika memang berniat, agaknya segala 
kemelut bisa dicarikan penyelesaiannya. Apalagi di kalangan pekerja sastra-seni 
sebagai orang-orang berkebudayaan. Kebudayaan juga berkembang oleh kebersamaan 
ini. Sehubungan dengan pengembangan kebudayaan, cq. sastra-seni, dalam suatu 
percakapan, kepada Ayu Utami pernah kutanyakan: Apakah kita memerlukan pahlawan 
dan siapakah itu pahlawan sesungguhnya? Sedangkan aku hanyalah pekerja biasa di 
Koperasi Restoran Indonesia Paris yang di mata umum bisa dikatakan "pekerja 
kasar", seorang jongos tapi masih mencintai sastra dan seni. Waktu itu, Ayu 
Utami memandang mataku lurus. Barangkali berpikir dan tidak mau segera 
menjawab. Pertanyaan yang tak berjawab  inilah yang sekarang kembali 
kuketengahkan ulang.
   
   
  Anggi hasian, dingin dan hujan di luar tidak membekukan gelisah pencarianku 
yang tak pernah berhenti menapak, merelatifkan segala jawab ditemu. Musim 
dingin masih menguasai kota dan sungaiku berkemah. *** 
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke