Surat Dari Montmartre:
   
   
  BERANI DAN PANDAI MELAWAN SERTA MEMBERONTAK
   
  [Tanggapan sederhana atas artikel A.Kohar Ibrahim: "Berontak Dapat 
Dibenarkan"].
   
   
   
   
  Aku masih ingat betapa alm. Pramoedya A Toer dalam pembicaraannya dengan 
anggota-anggota Partai Rakyat Demokratis  [PRD]  sangat menekankan masalah 
keberanian melawan dan memberontak. Sedangkan Wiji Thukul terkenal dengan 
ucapannya: "hanya ada satu kata: lawan!"
   
   
  Semangat dan pandangan ini barangkali merupakan cerminan semangat zaman pada 
saat "budaya takut" hasil pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional" yang 
diterapkan oleh Orde Baru menjadi pola pikir dan mentalitas serta sikap dominan 
dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang "tiarap" dan "mencari selamat sendiri", 
tak enggan menjual teman.  Orang-orang hanya bisa mengatakan "iya" sedangkan 
kata "tidak" dipandang sebagai subversif yang dibayangi oleh hukuman berat 
bernilai nyawa dan kepala. Dalam keadaan begini "chou fan you li", "memberontak 
itu beralasan dan benar". Demikian Mao Zedong mengatakan kepada rakyat Tiongkok 
di bawah kuasa Chiang Kaishek Kuo Min Tang, yang menciptakan suasana di mana 
anjing berpesta ria dengan bangkai manusia bertaburan pada musim dingin yang 
garang. Apa yang dikatakan oleh Mao, Pram dan Wiji Thukul , boleh jadi  
merupakan rumusan keadaan pada suatu periode sejarah belaka. 
   
   
  Dengan anjuran dan kalimat puisinya, Pram dan Thukul oleh kedekatannya pada 
kehidupan nyata, bahkan merasakan sendiri secara langsung beratnya tekanan dan 
dampak "budaya takut" yang menghantui bangsa, melihat "melawan", "memberontak" 
merupakan jalan keluar alternatif untuk hidup bermartabat dan bukan menjadi 
"bangkai" santapan "anjing musim dingin" seperti di Tiongkok  zaman Chiang 
Kaishek yang kemudian terdesak oleh perlawanan, lalu lari ke Taiwan. Oleh 
semangat ide ini,  Pram "terbakar sendiri" dengan frustasinya yang berujung 
dengan ajal, sedangkan Thukul membayar kata-katanya dengan nyawa.
   
   
  Dari anjuran dan bait Thukul di atas, aku juga melihat bahwa  mereka bisa 
membaca keadaan,  dan merumuskannya sehingga mereka boleh dikatakan bisa 
menjurubicarai zamannya. Sebagai sastrawan, kukira sudah memadai. Mereka bisa 
berbuat demikian bukan karena luar biasa zenial, tapi karena kenal kehidupan.  
Dekat dengan kehidupan dan tidak melihat kehidupan dari menara gading, tapi 
langsung menghayati kehidupan itu sendiri. Kedekatan dan penghayatan atas 
kehidupan inilah yang membuat mereka mampu merumuskan semangat zamannya dan 
tahu keadaan. Kedekatan pada kehidupan, membuat mereka lebih dahulu tahu dari 
orang lain sehingga mereka bisa menawarkan sesuatu kepada masyarakatnya dan 
melihat "melawan", "berani" merupakan jalan keluar keluar. Hanya saja tawaran 
berwawasan akan ditentukan lagi oleh kadar pengusul. Bisa terjadi pengusul 
hanya bisa menyampaikan lukisan keadaan tapi tak bisa menawarkan hal yang lebih 
jauh lagi dan bagaimana mewujudkannya.
   
   
  Apabila kita berbicara dengan banyak "aktivis" pada saat itu, semangat "hanya 
ada satu kata: lawan!"memang merupakan sikap umum di hadapan tindasan  sebagai 
hasil logis  pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional", "desa mengambang", 
"tidak bersih lingkungan", "terpengaruh", dan sebagainya  yang diterapkan oleh 
Orba sebagai pilihan politik guna mengendalikan masyarakat dan terus berkuasa. 
Pokoknya Orba harus tumbang dan dilawan.  Demikian aku memahami anjuran 
"berani" dari Pram, dan "hanya ada satu kata: lawan!" dari Wiji Thukul. 
Bagaimana melawan dan apa bagaimana  sesudahnya, tidak menjadi urgen.
   
   
  Pada saat itu, dalam keadaan represif demikian, melawan dan memberontak 
merupakan keniscayaan alami. Ia dibangkitkan oleh politik pemerintah Orba itu 
sendiri. Ia adalah hasil dan dihasilkan oleh keadaan obyektif itu sendiri. Jadi 
bukan masalah "dapat dibenarkan" atau "tidak dapat dibenarkan". Siapa yang 
mengesahkan dan layak membenarkan dan tidak membenarkan suatu pemberontakan? 
Apa haknya "membenarkan" dan "tidak membenarkan"? Siapa yang memberi hak 
padanya?   Namanya saja pemberontakan dan perlawanan seperti asap bermuasal 
dari api. Dalam sejarah kita melihat adanya pemberontakan Komune Paris abad 
ke-18. Karl Marx sendiri  melihat bahwa pemberontakan akan berakhir dengan 
kekalahan. Kukira perlawanan dan pemberontakan adalah akibat alami dari suatu 
keadaan obyektif. Chou fan yu li, tidak berarti "dapat dibenarkan" tapi 
menceriminkan konflik kepentingan sudah tak terdamaikan. Yang ingin kukatakan 
dengan ini terutama agar menterjemahkan kata-kata "chou fan yu li"
 barangkali perlu cermat dan dihitung dari berbagai segi. Aku sendiri sering 
melihat bahwa sastra-seni itu pada dasarnya merupakan "republik berdaulat" di 
mana  para pemberontak dan panarung bernama sastrawan-seniman. membangun 
benteng mereka. 
   
   
   
  Bagaimana melawan, dan apa alternatif sesudah yang dilawan tumbang tidak 
masuk hitungan rinci. 
   
   
  Jika penglihatanku ini benar, maka tingkat perlawanan pada waktu itu tidak 
lebih dari tingkatan perlawanan spontan dan instingtif karena di mana ada 
penindasan maka di situ akan ada perlawanan.  Perlawanan spontan tidak 
terancang, tidak punya konsep alternatif baik secara organisasi maupun secara 
pemikiran. Sehingga ketika yang dilawan itu tumbang, yang melawan tidak bisa 
memberikan alternatif apa pun baik secara wacana mau pun secara organisasi 
sebagai penunjang. Tidak heran jika yang disebut periode "reformasi" pun 
berlangsung tanpa membuahkan hal yang hakiki. 
   
   
  Sartono Kartodirdjo dalam salah sebuah tulisan beliau tentang "gerakan Ratu 
Adil di Jawa" pernah menyebut bahwa di kalangan petani tebu dan tembakau di 
Klaten, kekerasaan sudah membudaya. Artinya kekerasaan melawan tuan tebu dan 
tembakau tidak kunjung henti. Kekerasaan di sini, seperti halnya dengan 
tindakan bandit yang disinggung oleh Hobsbawn dalam karyanya, merupakan ujud 
dari perlawanan dan pemberontakan terhadap ketidakadilan. Jika ditelusuri, 
sejarah bangsa kita, tidak pernah memperlihatkan bahwa bangsa kita  sebagai 
bangsa yang tidak pemberani. Yang sering kupertanyakan iyalah bagaimana kita 
memiliki keberanian yang cerdik. Kecerdikan dan keberanian sekaligus. 
"Berakal", jika menggunakan istilah orang Viêt Nam. 
   
   
  Berbeda dengan Pram dan Wiji Thukul adalah pandangan dan langkah-langkah 
penyair Mao Zedong dan Ho Chi Minh. Kedua tokoh ini yang melaksanakan tradisi 
Tiongkok memadukan ketrampilan politik, militer dan budaya, menganjurkan dan 
mempraktekkan pemaduan keberanian dan kepandaian. Mao pernah mengatakan "berani 
berjuang dan pandai berjuang", "berani dan pandai menang". Dengan pemaduan 
keberanian dan kepandaian , mereka tidak membakar diri sendiri, meminimkan 
korban dan tahu apa bagaimana selanjutnya.  Dengan keberanian dan kepandaian 
ini maka Mao memimpin sisa-sisa Tentara Merah yang dihancurkan oleh politik dan 
taktik Li Li San yang syok pintar dan ngintelek, melakukan Long March ribuan 
lie menyeberang seluruh Tiongkok yang luas dan kemudian dari Yen An dan Timur 
Laut melancarkan strategi ofensif yang memaksa Chiang Kaishek lari ke Taiwan. 
Sedangkan Ho Chi Minh dari pegunungan Viêt  Bac "membebaskan"  Viêt Nam Utara 
untuk selanjutnya menyatukan seluruh Viêt Nam, setelah
 menghalau Amerika. Kekalahan di Viêt Nam membuat Amerika mengidap penyakit 
Syndrom Viêt Nam kemudian  melakukan masturbasi mental dengan filem Rambo-nya. 
   
   
  Wawasan terungkap dalam kata. Terutama kata kerja. Keadaan yang mengingatkan 
aku akan pendapat bahwa semuanya bermula dari kata dan arti penting verb [kata 
kerja].
   
   
  Dari segi usaha mewujudkan Republik dan Indonesia, kukira pertanyaan Taslima 
Nasreen, pengarang Bangladesh yang diburu-buru maut kalangan ekstrimis sampai 
sekarang: "Aku berada di mana?" menjadi relevan dalam melihat tingkat gerakan 
republiken dan berkeindonesia.  Apakah masih di tingkat spontan ataukah sudah 
melangkah ke tingkat sadar. Jika pertanyaan Taslima Nasreen ini tak bisa kita 
jawab, agaknya taraf kita akan masih lama berada pada tingkat amatiran betapa 
pun menggelora dan menyala kata-kata yang diucapkan.  Tapi kata-kata itu tak 
akan menjadi "percikan api yang bisa membakar padang ilalang". 
"Percikan-percikan api"  itu akan gampang dipadamkan seperti yang diperlihatkan 
oleh kehidupan sekian banyak "aktivis" sampai sekarang. "Percikan-percikan api" 
ide ini tidak akan menyulutkan kata-kata,  betapa pun berapinya, menjadi 
"kandil di bukit  dan terang dunia".
   
   
  Tanpa mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa bodoh, tapi aku masih 
mepertanyakan seberapa jauh usaha kita menjadi berani dan pandai, seberapa jauh 
kita menyadari serta meresapi arti kata kerja. Apakah dengan tingkat 
sastrawan-seniman yang asyik dengan diri sendiri dan hanyut oleh gelombang 
dahsyat globalisasi kita akan bisa menjadi anak zaman, menjadi 
sastrawan-seniman tanggap  zaman yang berani dan pintar yang tidak hangus 
terbakar oleh keberangan sendiri tanpa mampu memberi jalan keluar dari 
frustrasi diri atau bertarung membuta? Kata sebagai simpulan wacana, sering 
menjelma jadi penjara diri kita sendiri. Aku sungguh khawatir, kata masih 
merupakan suatu penjara besar yang mengerangkeng otak dan hati kita tanpa kita 
sadari benar. Dan kita menikmati ketidakbebasan kita di penjara atau 
rumahtahanan jargon.
   
   
  Sebagai orang yang baru diajar berdoa, aku berdoa benar agar keadaan demikian 
tidak terjadi dan tidak terulang. Apakah benar yang kumintai doa mendengarkan 
doaku?  Doa sebagai pengakuan diri selaku seorang pencinta, tapi  penuh 
keterbatasan, dibatasi oleh waktu, ruang serta kemampuan.  Tapi betapa pun doa, 
tidak menghancurkan  budaya Dayakku sebagai anak panarung, budaya  yang 
kuanggap masih   paling tanggap untuk berusaha menjadi  "rengan tingang nyanak 
jata" [anak enggang putera-puteri naga] seperti aku masih kecil dulu 
mengacungkan tinju ke langit sebelum menceburi merenangi dengan telanjang bulat 
 gelombang sungai dan laut.  Sungai dan laut itu kemudian kudapatkan tidak lain 
dari kehidupan. Berenang adalah suatu kepandaian. Dengan kepandaian berenang 
ini kukatakan pada laut dan sungai: Aku tak bisa kau tenggelamkan. Berani dan 
pandai berpadu di kenakalan bocahku. Kalian tentu tidak bocah seperti aku dulu 
menarung sungai dan laut. Jika demikian kalian apakan bangsa dan
 negeri ini, hari ini dan esok? Kalian apakan sastra-seni negeri bersama ini?! 
Aku sudah terlalu jompo untuk menjawabnya tak obah matahari jam lima-enam 
petang ditunggu oleh hulu malam. Tubuhku pun dilelahkan oleh pecutan dan 
luka-luka kembara panjang. Aku hanya bisa berkata bahwa melawan tak cukup 
dengan keberanian tapi perlu pandai. Bahwa menjadi penulis pun perlu menjadikan 
diri manusia utuh berani,  pandai serta berketerampilan. Katakata yang juga 
mungkin tak benar. Hanya secara bergurau pada anak-anak muda di Koperasi 
Restoran  Paris yang bekerja sambil sekolah sering kukatakan bahwa "menjadi 
Indonesia itu tidak boleh bodoh! Jangan jadi babi buta!". "Vivere vere coloso" 
yang tercantum di patung Danton, di Place de l'Odeon, Paris dan pernah  disitat 
oleh Bung Karno bahkan dijadikan judul pidato 17 Agustusnya, bukanlah 
nyerempet-nyerempet bahaya bagai babi buta. Berani dan pandai berjuang,  berani 
dan pandai menang meniscayakan penganutnya menggunakan strategi dan taktik
 aktif dan bukan reaktif. Aktif sama dengan kreatif. Kreatif dimungkinkan jika 
kita pandai membaca keadaan dan kehidupan guna menyusur jalan mencapai tujuan. 
Barangkali kesemuanya ini terangkum di satu kata: pandangan hidup. Wawasan. 
Diakah matahari dan bulan atau bintang itu? ***
   
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke