Jadi, sebetulnya dua-duanya dibutuhkan kan ya? Yang formal legalistik dan hati nurani?Tinggal gimana menempatkannya. Ato tempatkan pada tempatnya yang sesuai sehingga tercapai keadilan.
wassalam, --- In ppiindia@yahoogroups.com, Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > >Diskusi Bulanan The Wahid Institute > > > >"Kontribusi Para Sufi dalam Membangun Toleransi Beragama di Indonesia" > > > > > > > >Narasumber, KH A. Mustofa Bisri dan Abdel Moqsith Ghazali > > > >Senin, 28 Januari 2008 di Auditorium The Wahid Institute > > > >Jln. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta > > > >Kerukunan antar-umat beragama di Indonesia tak terlepas dari peran para > >sufi. Wali Songo adalah deretan sufi yang berhasil meletakkan fondasi > >kerukunan beragama di Indonesia. Mereka berdakwah dengan pendekatan > >sufistik. Berbeda dengan para ahli fikih yang cenderung legal- formalistik, > >maka para sufi mendekati Islam dari sudut hati nurani. Dengan cara itu, > >para sufi tak mengalami hambatan formal keagamaan untuk berjumpa dan > >bertukar pikir dengan umat agama lain. Bagi sufi, semua manusia adalah > >makhluk Tuhan yang perlu dihargai. Sufi tak mempeributkan bentuk- bentuk > >formal. Lihatlah, banyak bangunan mesjid yang dibangun para sufi dengan > >menyontoh arsitektur pura dan gereja. Yang inti bagi sufi bukan sebuah > >bangunan ibadah, seperti yang kini ramai diperdebatkan, melainkan > >merenovasi moral orang-orang yang sembahyang (shalat) dalam bangunan itu. > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] >