Saya pernah baca buku "Bibel, Quran, dan Sains Modern" karya Maurice Bucaille (MB). Hal yang esensi dari buku tsb, MB yang notabene non muslim dapat membuktikan kebenaran Al quran dari sudut pandang historis dan sains modern. MB percaya akan kebenaran Islam, Al quran, dan Muhammad sebagai rasul penerima wahyu terakhir yang menyempurnakan ajaran Islam. Tapi tidak dijelaskan oleh MB sebagai penulisnya apakah kemudian ia pindah agama, mengucapkan syahadat lalu memeluk Islam.
Mari kita berumpama. Umpanya saja jasad (fosil) Yesus versi Nasrani atau Isa versi Islam akhirnya ditemukan, lalu diteliti (forensik), kemudian didapatkan fakta bahwa ternyata Yesus/Isa tidak mengalami penyiksaan secara fisik seperti diyakini oleh umat Nasrani --seperti divisualisasikan dalam film karya Mel Gibson "Passion of Christ", maka logikanya kita dapat mengatakan bahwa umat Nasrani meyakini suatu sejarah dan kisah yang keliru. Berdasarkan perumpamaan tsb, logika kita juga dapat mengatakan bahwa Yesus sesungguhnya tidak pernah di salib. Maka kemudian akan muncul kebimbangan pada umat Nasrani. Tapi kebimbangan tsb belum tentu berujung pada berubahnya keyakinan mereka untuk kemudian memeluk agama yang lain. Saya pikir penjelasan dan temuan sains modern yang mengungkapkan fakta mengenai kekeliruan suatu sejarah/ajaran agama tidak serta- merta dapat membuat orang yang meyakininya mendadak berubah atau kemudian berpindah agama. Kalau tidak salah, itulah yang disebut dogma. Dogma tidak peduli dengan temuan sains modern atau fakta logis atas terungkapnya kekeliruan suatu ajaran. Ada pendapat, "Kita tidak perlu lagi mempertanyakan ajaran-ajaran agama yang telah kita yakini. Memang begitulah adanya, dan itulah adanya yang benar." Saya pikir kalau ada orang bertanya, "Kalau suatu hari sains modern menemukan fakta bahwa Muhammad itu adalah seorang penyair dan Al quran itu bukan wahyu Allah melainkan karangan Muhammad, apakah anda akan pindah agama?" Bila pertanyaan itu diajukan pada seorang Muslim, mungkin dia akan mengatakan, "Tidak mungkin akan ditemukan fakta seperti itu." Toh bila ada seseorang atau lembaga yang berusaha membuktikan hal itu, entah rekayasa atau bagaimana, seorang Muslim tidak akan percaya pada mereka. Lebih-lebih untuk pindah agama. Jauh sekali pikiran itu dari otak seorang muslim bukan? Itulah dogma yang dipercayai oleh orang Muslim. Begitu pula orang Nasrani akan berkata, "Bila jasad Yesus ditemukan, tidak mungkin tidak terdapat bukti penyiksaan fisik di tubuhnya. Pasti tubuhnya penuh luka, dan telapak tangannya berlubang." Dogma... Jadi saya pikir kalimat mas Satrio, "Jika ada clash antara sains dan agama, maka logikanya saya harus memilih MANA YANG LEBIH BENAR antara keduanya. Jika sains yang benar, maka saya logisnya ya harus meninggalkan agama." tidak akan terjadi, karena dogma yang dia yakini saat ini. Atas kalimat mas Satrio: "..Bagaimana sebuah agama, YANG DIANGGAP TIDAK SESUAI (APALAGI CLASH) DENGAN SAINS, bisa memberi makna yang tepat dalam menjalani kehidupan? Bukankah agama semacam ini justru menimbulkan keragu- raguan, kebimbangan, kebingungan? Orang yang mengaku "terpelajar" atau "berpendidikan" akan merasa MALU mengakui menganut suatu agama, yang dianggap tidak sesuai dengan sains!.." tanggapan saya.. Apakah Buddha, Konghucu dan Hindu sejalan --tidak clash-- dengan sains? Umpamanya saja Buddha tidak sejalan dengan sains, apakah meditasi, yoga, dsb. tidak memberi makna dalam kehidupan? Yoga dan meditasi jelas bermanfaat bagi kehidupan! Jika anda rajin ke Gereja seminggu sekali atau sembahyang ke masjid setiap hari, ditambah dengan Yoga secara teratur, jiwa anda akan lebih tenang. Jelas saja yoga bukan ibadah bagi Muslim dan Nasrani, tapi bentuk meditasi yang bermanfaat bagi ketenangan jiwa. Acuan seseorang dalam menjalani kehidupan itu kan ajaran agama, bukan sains. Sains itu sendiri dapat menyebabkan dua hal: dukungan atau sebaliknya kritikan pada sebuah ajaran agama. Bahkan kebenaran sains yang bertentangan dengan dogma suatu agama, tidak atau belum tentu menimbulkan efek kebimbangan pada umat. Belum tentu. Ohya, tidak semua orang yang memeluk agama itu terpelajar dan berpendidikan, bahkan percaya sains. Bukankah sebagian umat muslim Indonesia masih ada yang menggunakan metode rukyah dalam penentuan awal bulan Qomariyah? Sementara sebagian lagi menggunakan ilmu astronomi (hisab). Bukankah menentukan awal bulan dengan kasat mata itu artinya belum mau menggunakan sains modern (teropong bintang, dsb) sebagai alternatif metode penentuan bulan baru yang juga dianggap sah? Ini juga bukan berarti mereka yang menggunakan metode rukyah berarti tidak terpelajar dan berpendidikan. Mhn maaf jika saya keliru. Salam. --- In ppiindia@yahoogroups.com, Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > 1. alinea itu berkaitan erat dengan beberapa alinea sebelumnya: > > "...Logika iptek bukanlah deretan fakta yang ajeg dan berlaku sepanjang masa. > Iptek hidup dan berkembang dari hasil akumulasi, revisi, kritik dan > pembaharuan yang > terus menerus." > > "....tidak ada yang abadi dalam ilmu pengetahuan. Pada suatu masa, suatu teori > mungkin dianggap valid dan sesuai, tapi di lain waktu ia dikritik atau diganti > dengan teori yang dianggap lebih benar. Jika Alqur'an diperlakukan > demikian, tak tertutup kemungkinan terjadinya benturan antara agamawan > versus ilmuwan seperti yang terjadi di zaman renaissence." > > "....Kita boleh saja meyakini Islam sebagai agama yang pro-ilmu pengetahuan. > Tapi, sikap itu tak perlu ditempuh dengan cara "mencocok-cocokan" atau > mencari ayat mana yang sesuai dengan fakta ilmiah tertentu. Sikap yang > benar adalah terbukanya nalar sehingga mau mempelajari ilmu pengetahuan > darimanapun asalnya. Tidak perlu membeda-bedakan ilmu pengetahuan di bidang > teknik maupun sosial." > > "....Saya pribadi berpihak pada pembedaan antara agama dan sains. Pembedaan > tersebut justru perlu untuk mengokohkan sekularisasi dan penting buat > agama. Sains hanya bicara fakta-fakta, baik yang bersifat sosial maupun > alam. Di sini berlaku verifikasi ilmiah yang dapat membuktikan secara pasti > mana yang benar dan mana yang salah. Tugas agama lain lagi. Ia tidak > berkutat dengan fakta-fakta ilmiah. Agama seperti kata Ulil Abshar- Abdalla, > berurusan dengan makna atau pemaknaan. Di sanalah peran agama yang tepat, > yaitu memberikan makna dalam kehidupan seseorang." > > 2. alinea terakhir itu adalah kesimpulan sekaligus prinsip andriyansyah > sebagai > seorang ilmuwan islam. kesimpulan yang sangat jelas dan terang benderang. > > 3. sekularisasi diterapkan berbeda-beda di berbagai belahan dunia. tergantung > pada sejarah negeri masing-masing. ada sekularisasi yang ramah agama > seperti di > amerika, karena sejarah amerika sebagai negeri tempat hijrah penganut agama > yang tertindas di eropa. ada pula sekularisasi yang tegas tanpa kompromi > terhadap > agama, seperti di eropa terutama prancis, karena sejarah pertentangan keras > kaum > ilmuwan dengan kaum agama. indonesia mau pilih yang mana? > > > > > At 07:24 AM 1/29/2008 -0800, you wrote: > >Saya tidak mengerti logika penulis di alinea terakhir: > > > >".....Karena itu, hendaknya kita tak terlalu ambisius mencari kesesuaian > >antara Alquran dengan fakta sains. Sebab, ketika ada clash antara sains > >dan agama, kita masih bisa mengikuti sains sambil tetap berpegang teguh > >pada ajaran agama. Agama yang benar tak bicara soal ketepatan ilmiah, > >melainkan ketepatan makna dalam menjalani kehidupan...." > > > >Menurut pemikiran saya, konsekuensi dari alinea itu adalah: > > > >Jika ada clash antara sains dan agama, maka logikanya saya harus memilih > >MANA YANG LEBIH BENAR antara keduanya. Jika sains yang benar, maka saya > >logisnya ya harus meninggalkan agama. > > > >Bagaimana sebuah agama, YANG DIANGGAP TIDAK SESUAI (APALAGI CLASH) DENGAN > >SAINS, bisa memberi makna yang tepat dalam menjalani kehidupan? Bukankah > >agama semacam ini justru menimbulkan keragu-raguan, kebimbangan, > >kebingungan? Orang yang mengaku "terpelajar" atau "berpendidikan" akan > >merasa MALU mengakui menganut suatu agama, yang dianggap tidak sesuai > >dengan sains! > > > >Komentar saya: Andriyansyah masih "setengah-setengah" atau "malu- malu" > >dalam membuat kesimpulan. > > > >Satrio Arismunandar > >Producer "Jika Aku Menjadi" (tayang tiap Minggu, pukul 18.00 WIB) - > >News Division, Trans TV, Lantai 3 > >Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 > >Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4026, Fax: 79184558, 79184627 > > > >http://satrioarismunandar6.blogspot.com > >http://satrioarismunandar.multiply.com > > > >"Berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, mati tidak > >diakui...." > > > > > > > >----- Original Message ---- > >From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> > >To: ppiindia@yahoogroups.com > >Sent: Monday, January 28, 2008 12:09:40 PM > >Subject: [ppiindia] Sains Islami atau Pseudo-Sains? > > > >Sains Islami atau Pseudo-Sains? > > > >Oleh Andriyansyah > >25/06/2007 > > > >Kita boleh saja meyakini Islam sebagai agama yang pro-ilmu pengetahuan. > >Tapi, sikap itu tak perlu ditempuh dengan cara "mencocok-cocokan" atau > >mencari ayat mana yang sesuai dengan fakta ilmiah tertentu. Sikap yang > >benar adalah terbukanya nalar sehingga mau mempelajari ilmu pengetahuan > >darimanapun asalnya. Tidak perlu membeda-bedakan ilmu pengetahuan di bidang > >teknik maupun sosial. > > > >Selalu ada kecenderungan unik dari pola pikir fundamentalisme agama. Para > >fundamentalis Islam misalnya, sangat giat mengampanyekan Islam yang > >syâmil-mutakâmil (mencakup segala sesuatu). Mereka juga senang merujukkan > >berbagai penemuan ilmiah mutakhir para ilmuwan Barat sebagai sesuatu yang > >sudah berpreseden dalam Islam. Kita kerap mendengar bidang-bidang keilmuan > >seperti astronomi, kimia, fisika, geografi dan sejarah, dikait- kaitkan > >dengan nama-nama ilmuwan Islam Abad pertengahan seperti al-Biruni, > >al-Kindi, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina dan lainnya. > > > >Perilaku ini ingin menegaskan satu hal: kemajuan ilmu pengetahuan Barat > >tergantung sepenuhnya atau kelanjutan saja dari era gemilang peradaban > >Islam. Dengan kata lain, peradaban Barat yang kini maju, berhutang besar > >pada Islam masa lampau. Benar, dulu Barat sempat berhutang besar pada > >Islam. Benar juga bahwa peradaban Islam pernah unggul di bidang ilmu > >pengetahuan berkat penemuan-penemuan para sarjana Muslim. Namun, kaum > >fundamentalis kurang menyadari bahwa kemajuan Barat saat ini bukanlah hasil > >jiplakan sekali jadi. Ia merupakan akumulasi dari proses penemuan dan > >pengembangan yang tiada henti. > > > >Kecenderungan lain adalah: anggapan bahwa sains yang benar adalah yang > >bersumber dari Alquran, atau sekurang-kurangnya punya kesesuaian dengan > >Alquran. Ini adalah klaim penolakan terhadap sekularisasi ilmu pengetahuan. > >Dengan kata lain, sains yang dianggap benar adalah yang berakar dan tidak > >"bertentangan" dengan wahyu. Lalu, munculah buku-buku yang mengulas > >keterkaitan sains tertentu dengan Alquran ataupun Hadits. Buku-buku > >tersebut bercorak geneologis. Artinya, berusaha mencari akar pengetahuan > >itu sampai kepada penemu di lingkungan Islam. > > > >Interaksi Peradaban > >Yang perlu dicatat, kemajuan peradaban Islam klasik tidaklah berdiri > >sendiri. Ia merupakan hasil interaksi yang dinamis dengan peradaban lain > >seperti Yunani, Mesir, Persia dan India. Tokoh-tokoh ilmuwan Islam masa itu > >sangat rajin berdialog dengan cara mempelajari peradaban lain. Kesan > >terbuka, toleran dan pluralis, amat menonjol dalam karakter ilmuwan Islam > >masa itu. Karakter tersebut jelas-jelas berseberangan dengan karakter kaum > >fundamentalis yang ingin memajukan Islam dengan jalan menutup diri dan > >bahkan berkonfrontasi. > > > >Dalam literatur ilmuwan Islam masa silam, jarang sekali ditemukan > >tulisan-tulisan yang bernada menyerang atau membeda-bedakan diri dengan > >peradaban lain. Dalam ungkapan Hasan Hanafi, persoalan anâ (ego) dan > >al-âkhar (the other), bukanlah aspek pembedaan yang penting dalam ilmu > >pengetahuan. Yang paling menonjol justru semangat ekumenis dan persatuan. > >Orang-orang semacam al-Farabi dan Ibnu Sina selalu berupaya mendekatkan > >nabi-nabi besar dengan para filosof Yunani. > > > >Keanehan lain pemikiran fundamentalis: mereka hanya memuji para ilmuwan > >Islam dari aspek penemuan ilmiahnya. Dalam segi agamanya, mereka justru > >"dijelek-jelekan" . Tuduhan-tuduhan sesat, heterodoks dan sinkretis, kerap > >kali dialamatkan pada para filosof dan ilmuwan Islam itu. Kontradiksi ini > >memang cukup aneh. Di satu sisi, mereka ingin sekali mengklaim kemajuan > >Barat berkat jasa Islam. Tapi, ketika tahu bahwa kemajuan Islam merupakan > >buah karya para filosof "liberal" dan inklusif, mereka segera menarik klaim > >dan menyatakan bahwa para filosof itu sesat dan menyimpang dari ortodoksi > >Islam. > > > >Lalu muncullah ide baru yang lebih dianggap valid untuk menjawab > >kontradiksi: Alquranlah yang sesungguhnya menjadi sumber kemajuan ilmu > >pengetahuan yang dikembangkan oleh ilmuwan Islam itu. Beragam argumen > >dikemukakan untuk meyakinkan bahwa Alquran telah mengajarkan astronomi, > >farmasi, geografi, fisika, dan lain sebagainya. > > > >Para apolog-pseudo- sains-Islam ini (demikian saya menyebutnya) , lalu > >berusaha menggali segala aspek Alqur'an yang menurut mereka mengandung > >unsur-unsur pengetahuan praktis dan teoritis. Mereka lupa bahwa logika > >iptek tidak berjalan sebagaimana yang mereka pikirkan. Logika iptek > >bukanlah deretan fakta yang ajeg dan berlaku sepanjang masa. Iptek hidup > >dan berkembang dari hasil akumulasi, revisi, kritik dan pembaharuan yang > >terus menerus. > > > >Saya sependapat dengan Lutfie Assyaukanie dalam hal ini: amat bahaya > >memandang Alqur'an sebagai ensiklopedi ilmu pengetahuan. Sebab, tidak ada > >yang abadi dalam ilmu pengetahuan. Pada suatu masa, suatu teori mungkin > >dianggap valid dan sesuai, tapi di lain waktu ia dikritik atau diganti > >dengan teori yang dianggap lebih benar. Jika Alqur'an diperlakukan > >demikian, tak tertutup kemungkinan terjadinya benturan antara agamawan > >versus ilmuwan seperti yang terjadi di zaman renaissence. > > > >Saya ngeri sekali membaca karya-karya Harun Yahya yang amat ambisius > >menampilkan gambaran Islam yang "serba ilmiah". Ayat-ayat Alquran > >"dicocok-cocokan" dengan fenomena-fenomena alam dan sejarah. Gambaran > >ilmiah tersebut bukanlah gambaran yang objektif sebagaimana dalam sains > >murni. Ada kepentingan ideologis di situ: ingin menunjukan bahwa ilmu > >pengetahuan sesuai dengan "kebenaran" Islam atau sebaliknya. Yahya sangat > >menggebu-gebu saat menyerang Darwin tentang teori orang pertama yang > >dianggap bertentangan dengan Alquran. > > > >Buku-buku sejenis Yahya ini, pada intinya sama-sama berangkat dari semangat > >apologi dan hampir punya pola yang sama. Pertama, fakta ilmmiah dicari > >rujukannya kepada sumber normatif Islam: Alqur'an dan Hadits. Kedua, > >menerapkan prosedur pemilahan fakta yang dianggap sesuai atau tidak dengan > >Alquran atau Hadits. Ketiga, fakta yang sesuai dijadikan justifikasi > >kebenaran Islam sebagai agama pro-pengetahuan. Keempat, yang tidak sesuai > >dianggap tidak benar kemudian dibuatkan bantahan-bantahanny a. > > > >Ilmiah dan Pseudo-Ilmiah > >Buku-buku tersebut sebenarnya tak layak disebut karya ilmiah, tapi > >pseudo-ilmiah atau pseudo-sains. Saya pernah membaca buku pseudo- ilmiah > >karangan ulama Arab Saudi yang amat menggelikan. Di situ dinyatakan: bumi > >adalah pusat tatasurya, bahkan pusat alam semesta. Premis buku tersebut > >berangkat dari ayat Alquran tentang perputaran benda-benda angkasa seperti > >bulan dan matahari. Ini jelas teori yang berbahaya karena melibatkan agama > >dalam spekulasi ilmiah. > > > >Kita boleh saja meyakini Islam sebagai agama yang pro-ilmu pengetahuan. > >Tapi, sikap itu tak perlu ditempuh dengan cara "mencocok-cocokan" atau > >mencari ayat mana yang sesuai dengan fakta ilmiah tertentu. Sikap yang > >benar adalah terbukanya nalar sehingga mau mempelajari ilmu pengetahuan > >darimanapun asalnya. Tidak perlu membeda-bedakan ilmu pengetahuan di bidang > >teknik maupun sosial. > > > >Saya pribadi berpihak pada pembedaan antara agama dan sains. Pembedaan > >tersebut justru perlu untuk mengokohkan sekularisasi dan penting buat > >agama. Sains hanya bicara fakta-fakta, baik yang bersifat sosial maupun > >alam. Di sini berlaku verifikasi ilmiah yang dapat membuktikan secara pasti > >mana yang benar dan mana yang salah. Tugas agama lain lagi. Ia tidak > >berkutat dengan fakta-fakta ilmiah. Agama seperti kata Ulil Abshar- Abdalla, > >berurusan dengan makna atau pemaknaan. Di sanalah peran agama yang tepat, > >yaitu memberikan makna dalam kehidupan seseorang. > >Karena itu, hendaknya kita tak terlalu ambisius mencari kesesuaian antara > >Alquran dengan fakta sains. Sebab, ketika ada clash antara sains dan agama, > >kita masih bisa mengikuti sains sambil tetap berpegang teguh pada ajaran > >agama. Agama yang benar tak bicara soal ketepatan ilmiah, melainkan > >ketepatan makna dalam menjalani kehidupan. > > > >Referensi: http://islamlib. com/id/index. php?page= article&id= 1271 > > > >[Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > > > > > > > >_____________________________________________________________________ _______________ > >Be a better friend, newshound, and > >know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it > >now. http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ > > > > > >[Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > >********************************************************************* ****** > >Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia > >yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. > >http://groups.yahoo.com/group/ppiindia > >********************************************************************* ****** > >_____________________________________________________________________ _____ > >Mohon Perhatian: > > > >1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > >2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > >3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com > >4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > >5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > >6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > > >Yahoo! Groups Links > > > > > > >