>From: [EMAIL PROTECTED] > >Mas Soes, >Makasih telah dingatkan dgn kasus dibawah. >Kita memang menghargai jasa pak Harto, namun jangan sampai lupa sisi >kelamnya juga cukup / sangat pekat. >Semoga bisa menjadi pelajaran yang baik utk kita dimasa depan. > >A3K >________________________________________ >From: Suryo Susilo >Sent: Wednesday, January 30, 2008 1:55 PM >Subject: Fw: Soeharto dan Anak-anaknya "Kowe Pancen Sing >Bener, Ben!" > >From: Rudy Patirajawane >Subject: Soeharto dan Anak-anaknya "Kowe Pancen Sing Bener, Ben!" > >Soeharto dan Anak-anaknya >"Kowe Pancen Sing Bener, Ben!" >Oleh Kristanto Hartadi > >JAKARTA-Ini sebuah kisah yang dituturkan oleh seorang mayor jenderal yang >kini masih aktif. Dia pernah sangat dekat dengan almarhum Jenderal (purn) >Leonardus Benny Moerdany, mantan Menhankam dan mantan Panglima ABRI, orang >paling kuat kedua di Republik Indonesia setelah Presiden Soeharto pada >periode 1983-1993. > >Menurut jenderal itu, ketika Benny Moerdany sudah berada di puncak sakit >stroke yang dideritanya, Soeharto datang menjenguk mantan pembantu >dekatnya itu dan ada ucapan khusus yang disampaikan kepada Benny, dalam >bahasa Jawa: "Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu ora >koyo ngene" (memang kamu yang betul, Ben. Kalau saya menuruti nasehatmu >mungkin keadaan tidak seperti sekarang). Benny yang sudah sulit bicara >karena sakitnya, hanya menangis sesenggukan. > >Menurut sumber itu, ucapan Soeharto itu diulang kembali di depan jenazah >ketika melayat LB Moerdani yang akhirnya meninggal dunia karena strokenya >itu pada 29 Agustus 2004. > >Episode itu, yang mudah-mudahan bisa dituangkan secara lebih terperinci >dalam sebuah buku oleh sang saksi mata, akan lepas begitu saja bila kita >tidak melihat kaitan-kaitan di belakangnya. Tentu saja yang dimaksud >Soeharto adalah situasi hiruk-pikuk dan kacau-balau yang terjadi dalam >kancah kehidupan sosial politik di Indonesia seusai kejatuhannya pada 21 >Mei 1998, yang memulai Era Reformasi. Mereka yang menikmati "kemapanan" >semasa kekuasaan Orde Baru pastilah pusing kepala melihat segala tatanan >dijungkirbalikkan di Orde Reformasi ini. TNI tidak lagi punya gigi, >pemerintah juga seperti tak berdaya, kerusuhan pecah di mana-mana, Timor >Timur merdeka, dan seterusnya, dan seterusnya. > >Menurut catatan penulis biografi, Julius Pour, dalam buku Benny Tragedi >Seorang Loyalis, perpecahan Soeharto dan Benny berawal di suatu malam dari >sebuah insiden di ruang bilyar di Jalan Cendana, kediaman Soeharto, saat >kedua orang kuat di republik ini main bilyar bersama. Ketika itu Benny >mengingatkan Soeharto bahwa untuk pengamanan politik presiden, seluruh >keluarga dan presiden harus mendukung dan terlibat. >"Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak Harto >langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di >ruang bilyarÂ… sendirian," kata Benny seperti dituturkan oleh dr Ben Mboi, >mantan gubernur NTT. > >Sejak saat itu posisi Benny surut di mata Soeharto, karena berani >mengingatkan presiden untuk secara sukarela mundur karena telah memimpin >lebih dari 20 tahun. Dia dicopot sebagai Panglima ABRI pada tahun 1988, >digantikan Jenderal Try Sutrisno, mantan ajudan presiden, namun masih >diberi jabatan sebagai Menteri Pertahanan (1988-1993), karena Soeharto >khawatir Benny berontak. > >Ketika sudah tidak di pemerintahan, Benny berkata bahwa masa pemerintahan >Soeharto yang kelima adalah yang terakhir. "Masak setelah 25 tahun masih >terus?" itu katanya. Namun tidak pernah dijelaskan bagaimana cara Soeharto >akan atau harus mengakhiri kekuasaannya, karena kesadaran itu harus datang >dari Soeharto sendiri. Dan akhirnya memang Soeharto diturunkan oleh >gerakan reformasi pada 21 Mei 1998. > >Melindungi Anak-anaknya > >Melindungi anak-anaknya mungkin merupakan salah satu alasan kenapa >Soeharto enggan melepaskan jabatannya, atau mempersiapkan cara-cara >menjalankan suksesi. Padahal wacana suksesi sudah banyak dilontarkan >berbagai pihak dan berbagai skenario sudah disusun, termasuk oleh Mabes >TNI di Cilangkap. Tetapi tidak ada yang berani melawan Soeharto. Memang, >ketika Benny mengingatkan Soeharto dan keluarganya agar menjaga dan >melindungi kepresidenan, anak-anak Soeharto beserta kroni mereka baru >mulai membesarkan kerajaan bisnis masing-masing dengan memanfaatkan >kekuasaan sang ayah. > >Mengenai hal ini, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew menuturkan dalam buku >memoarnya From Third World to First: The Singapore Story, dia secara >pribadi pernah bertemu dengan anak-anak Soeharto pada 25 Desember 1997 di >Singapura, yang juga dihadiri oleh PM Goh Chok Tong. Dia mengingatkan >mereka agar berhenti menjalankan praktik bisnis yang tidak sehat, karena >mereka diincar oleh para fund manager yang gerah dengan tingkah polah itu >dan bisa saja memainkan nilai tukar rupiah. "Perilaku anak-anak Soeharto >menyumbang kejatuhan orang tuanya," tulis Lee dalam memoar yang >diluncurkan pada September 2000 tersebut. > >Memang, bisnis anak-anak dan kroni Soeharto begitu merajalela, memasuki >hampir setiap sektor kehidupan, mulai dari pengadaan barang bagi TNI/Polri >dan berbagai instansi pemerintah, real estate, otomotif, jalan tol, bank, >minyak, perkebunan, telekomunikasi, properti, impor beras, bungkil, >kedelai, peternakan, ritel, komputerisasi SIM dan STNK, stiker halal, >penerbangan, taksi, pertambangan, kehutanan, dan lain-lain. > >Mereka tidak berbisnis sendiri, dan pada umumnya mereka juga menggandeng >sejumlah konglomerat yang menjadi kroni. Banyak pihak yang menilai pada >masa itulah Soeharto sudah seperti raja Jawa, dan membiarkan anak-anak >maupun kroni-kroninya berbuat sesukanya. Negara seperti milik keluarganya >dan dia melindungi. > >Salah satu modus lainnya untuk mengumpulkan uang adalah dengan mendirikan >berbagai yayasan, atau mereka menjadi calo untuk menggolkan berbagai >proyek pemerintah, atau mereka menguasai tata niaga, mulai dari cengkih, >jeruk pontianak, cukai minuman keras, dan lain-lain. > >Misalnya saja, untuk PT Sarpindo yang sahamnya dikuasai Hutomo Mandala >Putra, Bob Hasan dan Lim Sioe Liong, satu-satunya perusahaan yang >mengimpor kedelai untuk Bulog, pemerintah harus menyubsidi perusahaan ini >senilai US$ 21 juta per tahun. Dan ketika Menteri Pertanian Wardoyo >(ketika itu) meminta pemerintah mengakhiri monopoli impor ini karena >sangat tidak kompetitif, Soeharto hanya berkata: "Kalau mau membunuh >Sarpindo, silakan." Ujung-ujungnya, semua yang mengusulkan deregulasi >impor bungkil ini akhirnya mundur teratur. Hal yang sama terjadi dengan >impor gandum yang ketika itu dimonopoli perusahaan milik Lim Sioe Liong. >(Adam Schwarz, A Nation in Waiting, hal 133-134). > >Monopoli dan menjadi calo adalah cara yang ditempuh anak-anak dan para >kroni Soeharto untuk membesarkan kerajaan bisnis mereka. Siapa yang tidak >kenal dengan kelompok bisnis anak-anak Soeharto seperti Bimantara (Bambang >Trihatmojo), Citra Lamtoro Gung (Siti Hardiyati Rukmana), Humpuss (Hutomo >Mandala Putra), bahkan sampai cucu Soeharto pun ikut terjun berbisnis. >Bahkan di antara mereka pun berebut proyek. Sampai-sampai ada yang >menyebutkan bahwa yang paling transparan di Indonesia pada masa itu adalah >korupsi! Majalah Time pernah menyebut dari berbagai bisnis ini keluarga >Soeharto berhasil mengumpulkan kekayaan hingga US$ 15 miliar. > >Bisnis anak-anak Soeharto, seperti Bank Andromeda dan mobil "nasional" >merek Timor yang sebenarnya buatan perusahaan Korea KIA, termasuk dalam >kegiatan usaha yang diminta oleh IMF untuk diakhiri sebagai salah satu >syarat dalam letter of intent ketika Indonesia akhirnya minta bantuan >kepada dunia internasional karena krisis ekonomi 1997. > >Namun hebatnya, meski ditengarai banyak hal yang tidak wajar dari bisnis >anak-anak Soeharto, hanya Tommy saja yang tersandung di sana dan di sini. >Lima anak Soeharto yang lain sampai hari ini aman-aman saja. Yang menjadi >pertanyaan, kini, setelah Soeharto tiada, apakah anak-anaknya masih bisa >tenang menikmati kekayaan yang pernah mereka jarah dari Indonesia? Kita >lihat saja... > >.