Jurnal Sairara:
   
   
   
  MENUJU SARAWAK [11]
   
   
  Secara keinginan, aku memang ingin menyusup juah  dan lebih jauh lagi, jauh 
hingga sampai ke pedalaman Sarawak,  yang seperti sudah kukatakan di atas,  
telah kukenal namanya dalam lagu-lagi yang dilarang Belanda seperti "Borneo 
Tanahairku". Aku ingin mengenal dengan baik dan rinci keadaan serta budaya 
semua bagian Borneo dan pulau-pulau tanah kelahiranku sehingga aku mengerti apa 
arti kebhinnekaan tanahair. Tidak asing di negeri sendiri , sekali pun fisik 
berada di tengah-tengahnya. Untuk mengenal pulau, maka Tjilik Riwut, yang 
kebetulan adalah pamanku, ketika melancarkan perang gerilya melawan Belanda 
untuk mengibarkan sang saka di Kalimantan, telah berjalan kaki ke Kalimantan 
Utara [Sarawak dan Sabah] guna mengenal Kalimantan secara langsung. Barangkali 
melalui kunjungan berkali-kali ke Utara inilah kemudian yang menjadi sangkan 
paran adanya orang-orang Iban, Dayak dari Sarawak, dalam Angkatan Udara 
Republik Indonesia  [AURI].
   
   
  Selama ini aku lebih banyak ke muara daripada ke hulu sungai. Lebih banyak ke 
laut daripada ke gunung. Sebab aku masih ingat nasehat:"Melihat sekali jauh 
lebih baik dari pengetahuan buku". Walau pun nasehat ini kukira masih berat 
sebelah. Melihat adalah membandingkan. Membandingkan bacaan dengan kenyataan 
dan perkembangannya. Sebab bisa saja apa yang terdapat di buku, selain banyak 
celah-celahnya, bahkan kesalahan,  juga sangat rentan akan keadaan yang tak 
henti berkembang. Membaca buku, laporan, dokumen, sejarah,  dan sebagainya 
mengenai suatu daerah yang akan didatangi, kemudian kurasakan sebagai suatu hal 
yang sangat  perlu. Apalagi jika perjalanan dianggap sebagai kesempatan 
belajar, membanding bersangukan soal-soal dari negeri sendiri. Sangu dialog 
dengan budaya lain, jika meminjam pendapat filosof Perancis Paul Ricoeur.
   
   
  Bacaan sebelum datang memberi kepada pengunjung sebuah peta garis besar 
tentang berbagai keadaan sehingga ketika tiba, kita tidak seperti rusa masuk 
kampung. Bacaaan sebelum tiba ke suatu tempat agaknya tak obah sejenis  
mercusuar bagi kapal menuju dermaga. 
   
   
  Keinginan memperpanjang kunjungan ke Sarawak, tidak bisa kuujudkan. Acara 
besar tentang Dayak oleh orang Dayak di Palangka Raya segera berlangsung dan 
sangat ingin kuhadiri walau pun sebagai pendengar yang duduk di deretan kursi 
paling belakang. Aku pun segera mencari tiket  bus untuk kembali  ke Pontianak. 
   
  "Sudah penuh, Pak" , ujar pejual tiket.
   
  "Besok, lusa, esoknya dan esoknya lagi sudah penuh semua", lanjutnya. Aku 
hanya bisa terdiam. Berpikir mencari jalan keluar yang lain. Aku tidak mau 
menunggu dan tidak pula mau tergantung pada jalan tunggal.
   
   
  Akhirnya aku mendapat tiket pesawat Malaysia Air Service [MAS] ke Pontianak. 
Sopir taksi yang mengantarku ke bandara adalah Kuching asal etnik Tionghoa. 
Agaknya ia baru menjemput anak lelakinya lepas sekolah. Kami berbicara bahasa 
Tionghoa dan Inggris. Anaknya memanggil aku dengan panggilan "uncle". Kami 
berbicara hulu-hilir termasuk keadaan keluarga sopir itu sendiri seakan kami 
sudah lama berkenalan. Sopir dan anaknya mengantarku hingga ke pintu "check-in" 
bandara. Sebelum melanjutkan langkah, kucium pipi anak sopir itu yang 
menjawabku dengan suara bocahnya: "Cai cien Xuxu". Goodbye Uncle.
   
   
  Sebelum masuk pesawat MAS, aku mondar-mandir dari toko ke toko. Yang sangat 
menarik perhatianku bahwa toko-toko di bandara ini dimeriahi oleh barang-barang 
suvenir Dayak dan dijaga oleh orang-orang Dayak. Aku tidak tahu, apakah 
modalnya juga modal orang Dayak. Tapi  mengingat posisi orang Dayak di Sarawak 
yang cukup berpengaruh, termasuk di dunia politik,  hal demikian kukira 
bukanlah tidak mungkin dan bukan mustahil. Jika benar dugaanku, maka kenyataan 
ini membantah anggapan bahwa orang Dayak itu tidak mampu berwiraswasta. Yang 
menjadi pertanyaan dalam hatiku: Apakah benar manusia Dayak Sarawak sudah bisa 
keluar dari kungkungan anak alam yang manja pada periode betang [long house] 
dan hutan tropis pulau belum ganas dibabat? Eksploatasi hutan tropis secara 
ganas dan buas telah menggoncangkan jiwa putera-puteri alam yang tadinya ramah 
memanjakan. Olehnya kehidupan menjadi garang dan ganas pula dan tidak sedikit 
anak alam yang kehilangan dirinya.
   
   
  Bandara sebagai pintu gerbang memasuki Sarawak. Adanya dominasi Dayak di 
bandara seakan-akan mau mengatakan bahwa Dayak merupakan salah satu identitas 
Sarawak. Sebagai kenang-kenangan, aku membeli patung enggang [hornbill] dari 
kayu.  Hal ini tidak kudapatkan di Sepinggan, Balikpapan. Tidak juga di 
Supadio, Pontianak, bahkan juga tidak di bandara Tjilik Riwut,  Palangka Raya, 
Kalimantan Tengah. 
   
   
  Kuching seperti halnya Yogyakarta, melalui bandara sudah menyambut para tamu 
dengan berkata: Inilah aku. Inilah identitasku.
   
   
  Baru selesai secangkir kecil kopi yang dihidangkan oleh pramugari-pramugari 
Melayu pesawat MAS yang penuh penumpang, pengumuman sudah menggaung di pengeras 
suara pesawat udara  bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di Supadio. 
Lalu-lintas darat dan udara antara Kuching-Pontianak mengesankan suatu 
kesibukan tinggi. Di balik keramaian hubungan ini tersimpan pula rupa-rupa 
kisah manis dan getir.
   
   
  Sambil menuruni tangga pesawat MAS dengan kenangan mengarah Sarawak, 
diam-diam kuucapkan dengan rupa-rupa bayangan dan imajinasi tentang esok: 
"Sampai jumpa Sarawak!". Memandang tas burung enggang yang kujinjing, aku pun 
memasuki dengan langkah pasti gedung bandara Supadio seakan mendengar enggang 
kayu dari Kuching itu bersuara: Apakah hari ini, di zaman ini,  manusia-manusia 
Tanah Dayak dari segala etnik, benar bisa menjadi anak enggang dan 
putera-puteri naga? Yang pasti, aku masih melanglangbuana, berbetangkan bumi. 
Enggang hilang rimba. Naga hilang lubuk.***
   
   
  Paris,  Akhir Musim Dingin 2008.
    ---------------------------------------------
  JJ. Kusni,  pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   
   
  [Selesai].


       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke