Berikut berita roadshow upah layak jurnalis AJI ke Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dan Dewan Pers, Rabu (2 April) kemarin, yang dimuat Koran Tempo dan Hukumonline.com. Thx ============ Koran Tempo Serikat Penerbit Dukung Upah Layak Jurnalis
*Jakarta* – Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) mendukung kampanye upah layak wartawan yang digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Serikat Penerbit meminta waktu dua bulan untuk merumuskan upah layak wartawan versi mereka. "Angka yang diajukan AJI sudah pas. Sayangnya, masih banyak media yang memberikan porsi kecil untuk gaji wartawannya," kata Ketua Umum SPS Muhammad Ridlo Eisy setelah menerima perwakilan AJI di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, kemarin. Menurut Ridlo, perusahaan media kebanyakan hanya mengalokasikan 10-15 persen dari total biaya produksi untuk menggaji karyawannya. Di media yang sehat, kata dia, total gaji karyawan bisa naik hingga 30 persen dari biaya produksi. Karena rendahnya upah, menurut Ridlo, sebagian jurnalis mencari pendapatan di luar gaji mereka. "Upah rendah berkaitan erat dengan banyaknya wartawan yang ngamplop," kata Ridlo. Untuk mengurangi praktek "amplop" di kalangan wartawan, Serikat Penerbit akan mendorong lahirnya undang-undang yang menghukum siapa pun yang memberikan uang kepada wartawan."Hukumannya harus masuk kategori suap," kata dia. Pekan lalu, AJI Jakarta merilis upah minimum terbaru untuk jurnalis Ibu Kota. Menurut aliansi, upah layak minimum untuk jurnalis lajang Rp 4,1 juta. Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Winuranto Adhi, mengatakan perumusan upah layak minimum didahului survei kebutuhan hidup jurnalis lajang di Ibu Kota. "Angka Rp 4,1 juta sudah pas-pasan," kata dia. Dua tahun lalu, setelah AJI Jakarta merilis upah minimun Rp 3,1 juta, Serikat Penerbit merilis upah layak jurnalis minimal Rp 2,2 juta. "Kami akan menghitung lagi, kata Ridlo. "Diharapkan ada jalan tengah antara keinginan jurnalis dan pemilik media." MUSTAFA SILALAHI ========== Hukum Online.com http://hukumonline.com/detail.asp?id=18905&cl=Berita *Dewan Pers dan SPS Dukung Upah Layak Jurnalis *[3/4/08] *Masih maraknya praktek jurnalis amplop lantaran upah mereka yang masih minim. Problema makin membelukar dengan adanya sistem beli-putus alias korespondensi. Dengan sistem ini, status kekaryawanan jurnalis mengabur.* Usai meluncurkan upah layak jurnalis 2008<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18800&cl=Jeda>pada tengah bulan silam, bukan berarti jadi langkah final bagi organisasi profesi wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Rabu (2/4), AJI menyambangi gedung Jakarta Media Center di bilangan Kebon Sirih. Mereka meluruk Dewan Pers dan Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia (SPS). Anjangsana kali ini, untuk sosialisasi angka upah layak tersebut -Rp4,1 juta sebulan. Asumsi angka terlampir adalah kebutuhan bagi jurnalis yang masih lajang. Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Abdul Manan menandaskan tuntutan publik terhadap jurnalis demikian berat. Makanya, demi memberikan pelayanan informasi yang prima, wajar-wajar saja jika jurnalis perlu diupah layak. Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Winuranto Adhi, memaparkan Indonesia tergolong ketinggalan dalam menyejahterakan jurnalisnya. Malaysia saja sudah mematok upah jurnalis sebesar 2.000 ringgit pada 2000 –setara Rp5 juta. Upah tersebut berdasarkan kesepakatan bersama di tingkat nasional, antara organisasi jurnalis dengan asosiasi pengusaha media. "Jangan bicara soal upah minimum provinsi yang masih minim," tukas Wiwin, panggilan akrabnya. Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi dan Bekti Nugroho menyambut baik angka upah layak tersebut. Bekti berjanji akan menyalurkan kampanye ini dalam sebuah diskusi yang akan digelar Dewan Pers. "Angka itu memang wajar untuk kebutuhan hidup di Jakarta. Kencing saja bayar Rp1.000," selorohnya. Ketua Harian SPS Ridlo 'Eisy serta Direktur Eksekutif SPS Asmono Wikan pada dasarnya juga mendukung jurnalis kudu diupah layak. Namun, akhir-akhir ini, media cetak sedang dilanda kenaikan harga kertas dan tinta cetak. "Akan kami cermati lagi," ujar Ridlo. Dalam komposisi biaya produksi media cetak, sambung Ridlo, kertas maupun tinta menyedot mayoritas alokasi, hingga 70 persen. *Standar perusahaan pers* Baru saja Dewan Pers merilis standar perusahaan pers<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18878&cl=Berita>. Sayang seribu sayang, jumlah media yang layak bisnis masih minim. Hanya 30% media cetak yang sehat bisnis, serta cuma 10% media siar yang waras dari segi keuangannya. "Tujuh puluh persen media cetak sisanya, setengah sakit, setengah tinggal tunggu ajal," imbuh Alamudi. Standar tersebut mengatur, modal dasar minimal sebuah perusahaan pers adalah Rp50 juta. Hal itu mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. "Itu angka yang cekak. Harusnya dirinci lagi, berapa untuk media komersil, berapa untuk media non-profit," ujar Ketua AJI Jakarta, Jajang Jamaluddin. Lagipula, dengan angka *ngepas* seperti itu, sambung Jajang dan Wiwin, bisa-bisa digunakan sebagai alasan pembenar pengusaha media yang tak serius memupuk kelanggengan bisnisnya. "Ada awak Majalah Sajadah yang mengadu kepada kami karena ditinggal kabur pemiliknya. Gaji dua bulan tak dibayar," seloroh Wiwin. Baik Ridlo, Alamudi, maupun Bekti mengakui betapa sulitnya mematok angka tersebut. Soalnya, Dewan Pers tak mau atur-atur terlalu jauh. "Dewan Pers tak mau punya otoritas. Yang mengatur pers biarlah publik," elak Alamudi. Meski demikian, Bekti mencontohkan kasus unik di dunia perbankan. Menurut Bekti, klasifikasi perbankan bisa dilakukan dengan berdasarkan jumlah aset maupun permodalannya. "Perbankan punya aturan tersendiri," ujarnya. *Amplop dan "tuyul"* Dengan dalih gaji tipis inilah, seringkali jurnalis rela *ngobyek* terima amplop dari narasumber. Dengan berbekal kartu pers, mereka menodong orang tertentu guna menyambung isi kantong. "Agar praktek ini berakhir, harusnya para pemberi amplop dipidanakan lantaran suap," ujar Ridlo. Kondisi seperti itu adalah lingkaran setan. Keuangan perusahaan empot-empotan, gaji jurnalis rendah, lantas membenarkan menadah amplop. "Sudah saatnya memang, perusahaan menggaji dengan layak. Dalam standar perusahaan pers itu juga diatur, perusahaan harus meningkatkan kualitas serta kesejahteraan karyawannya," ujar Ketua AJI Indonesia, Heru Hendratmoko. Wiwin juga *trenyuh* atas berlangsungnya sistem korespondensi yang tak jelas. Seringkali si koresponden –terutama yang liputan di daerah– tak memegang secarik pun kontrak kerja. Bahkan, si koresponden juga melempar "sub-kontrak" tersebut ke jurnalis lainnya. Artinya, jadi korespondennya koresponden. "Istilahnya 'tuyul'. Sistem seperti ini lebih kejam daripada *outsourcing*," teriaknya. Manan menimpali, perusahaan media acap lepas tangan jika terjadi sesuatu atas "tuyul" tersebut. "Misalnya, kasus pembunuhan atas seorang jurnalis di Probolinggo, 2006 silam." Alamudi berharap sejumlah organisasi wartawan, termasuk AJI, dapat merumuskan pola sistem kerja yang pas buat sejumlah koresponden ini. "Harus jelas hak dan kewajiban para *freelancer*, *stringer*, maupun kontributor," pekiknya. *(Ycb)* ____________________________________________________________________________________ You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost. http://tc.deals.yahoo.com/tc/blockbuster/text5.com