Ayat – ayat Cinta – Babak Kedua
   
  Sehubungan dengan membludaknya komentar atas kritikan saya tentang film AAC, 
bukan AAT. (entah kenapa saya kok selalu keliru menulis AAT, bukan AAC) saya 
mengucapkan banyak terimakasih atas semua komentar yang membuat saya ....... 
tambah menguap (entah kenapa kalau menulis atau membaca kata “menguap” mulut 
saya terus menguap. Apalagi melihat orang menguap. Makin lebar saya menguap. 
heran).
   
  Membaca puluhan (sebetulnya lebih. Tapi kalau saya sebutkan, takut dikira 
sombong) komentar-komentar yang bernada menghujat, membuat benak saya 
terheran-heran. Ternyata bangsa ini masih belum siap menerima kritikan.  
Mustinya mereka bersyukur bahwa masih ada anak manusia yang, selain mengkritik 
juga memberi solusi. Coba baca resensi-resensi film di harian atau majalah. 
Mana ada yang memberi solusi? Semua hanya memberi pujian, kritikan. Tapi tak 
memberikan pilihan. Di tulisan saya itu, saya bukan Cuma mengkritik, tapi juga 
memberi pilihan. Sebab  moto saya adalah “Bukan Cuma mengkritik, tapi juga 
memberi solusi”. Mirip iklan asuransi. (kalau nulis “Cuma” kok huruf “C” nya 
jadi besar sendiri ya).
   
  Sifat tidak mau dikritik adalah sifat manusia otoriter, egois, mementingkan 
diri sendiri dan kurang memiliki jiwa sosial. Orangtua otoriter dijamin akan 
mengalami syndroma pemberontakan dari anak-anaknya. Lelaki atau wanita yang 
egois, selfish, ananiyah, tidak akan dihargai lingkungannya. Orang yang berhati 
lapang menerima kritikan, biasanya punya jiwa sosial yang tinggi. Kombinasi 
dari otoriter, egois dan anti sosial, bisa menuju pada stadium yang lebih 
tinggi, yaitu diktatorship. Kalau sifat diktator dilekatkan pada seorang 
presiden, bisa dibilang lumrah. Tapi kalau seseorang menjadi diktator gara-gara 
sinetron, ya, naÂ’udzubillah.
   
  Komentator lain, menilai saya sebagai manusia yang tidak punya rasa seni. 
Seni itu bukan hanya sinetron yang menampilkan wajah-wajah cantik dan seksi 
yang mengundang mudlarat. Ghodhul bashor (menundukkan pandangan) saya kira juga 
berlaku ketika kita memelototi layar kaca. Nenek-nenek renta dengan wajah 
dihiasi senyum ketika mengangkat kayu bakar dari hutan, bagi saya adalah suatu 
pemandangan yang patut diabadikan dengan kamera, daripada mahasiswi-mahasiswi 
yang berpakaian ketat, mengundang syahwat lelaki.   
   
  Lagi pula sinetron-sinetron kita, tidak mengandung satu pun unsur seni 
dramaturgi. Hanya, sekali lagi, modal wajah mulus. Minus seni akting. 
Berteriak-teriak, melotot, tak tentu sebabnya. Yang, dus, menjadi dasar 
pembuatan film AAC.
   
  “Makanya, Boss, baca buku aslinya, biar tahu kejadian yang sebenarnya!” ada 
yang berteriak begitu. Heran. Kan di tulisan saya, saya tidak satu pun 
menyinggung buku aslinya, Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Yang 
saya kritik itu filmnya, karya Hanung Bramantyo dkk. Sekali lagi filmnya, bukan 
bukunya. Piye toh. Yang proporsional dong kalau marah. Baca lagi tulisan saya, 
setelah itu datang lagi, bawa Â…Â….. makanan. Yang banyak.  
   
  Yang terparah, gara-gara kritikan saya terhadap film AAT, saya dituduh tidak 
memiliki jiwa nasionalisme. Tidak mencintai produk dalam negri. Kalau kwalitas 
produk dalam negri tidak bagus, untuk apa dipakai? Mirip ketika saya menulis 
tentang “Perang” ketika sedang ribut-ributnya rasa nasionalisme bangsa 
Indonesia diusik karena sengketa perairan Ambalat. Saya dituduh pembelot dan 
tidak nasionalis-patirotis. Lha wong ngurus satu bidang pulau saja tidak becus, 
kok mau ngurus pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Serahkan saja pada Malaysia 
atau Singapura. Kita kan belum bisa memasang kancing celana kita sendiri, kok 
mau ngurus sebuah pulau. (sabarÂ…. SabarÂ…. Minum dulu biar dingin).
   
  Nasionalisme tidak bisa diukur dengan kecintaan kita pada suatu produk. Sebab 
banyak sekali produk yang kita pakai dan kita makan, ternyata bukan made in 
domestic. Bahkan tahu dan tempe pun, rantai makanan yang teredah di meja makan, 
ternyata bahan bakunya bukan dari kebun kita sendiri, tapi diimpor dari amrik. 
Tugas: Tuliskan nama-nama produk makanan dan bukan makanan, yang berasal dari 
luar negri dan dari dalam negri. Bikin tabel! Beri keterangan bahan baku dan 
asalnya untuk setiap produk. Lalu ukur kadar nasionalisme kalian berdasarkan 
tabel tsb. Paling lambat besor sore harus sudah dikumpulkan. He he he.
   
  Lagi pula kalau mau main nasionalis-nasionalisan berdasarkan produk yang kita 
gunakan, saya bisa dibilang lebih nasionalis daripada si Fahri di film AAC atau 
Guruh Sukarno Putro yang anak proklamator, loh. Sebab saya berani menikahi 
seorang janda tua beranak dua dan miskin, tapi bikinan  asli orang Indonesia, 
dibandingkan menikah dengan wanita Perancis anak seorang tuan tanah yang rindu 
berat pada saya. Atau gadis Malaysia yang manis dengan suaranya yang merdu dan 
selalu menggodaku. (Dan ada beberapa lagi cewek luar negri yang sebetulnya bisa 
masuk nominasi jadi istri. Tapi tak perlu saya sebutkan satu persatu, takut 
dikira sombong).
   
  Kembali ke film AAC. Para komentator atas kritikan saya atas film tsb, 
menilai bahwa film itu sangat bagus, karena ketua MPR pun memujinya. Dan kabar 
terakhir presiden pun sudah menontonnya dan menyunahkan rakyatnya untuk 
menonton film tsb. Saya bukannya tambah respect kok. Tapi malah jadi prihatin. 
Di tengah-tengah kekalutan ekonomi masyarakat, kok sempat-sempatnya seorang 
presiden menonton sinetron.  Bagaimana mau mengatur harga tahu-tempe, kalau 
tingkat intelegensinya tak beda dengan ABG-ABG yang gila sinetron? Bagaimana 
mau mengatur harga minyak tanah, gas, BBM, kalau seorang presidennya 
memproklamirkan diri suka menonton sebuah film yang tidak mendidik, tidak 
bermutu dan tidak ada unsur dakwahnya sama sekali?
   
  Ya, walaupun presiden yang menonton, walaupun sepuluh atau dua puluh juta 
orang sudah menonton, atau bahkan lebih. Atau yang paling ekstrim misalkan saya 
ditangkap dan dipenjara gara-gara mengrkiritik film AAT, saya tetap akan 
mengatakan film AAAT tidak layak dijadikan tontonan. Tidak bermutu, tidak 
mendidik dan tidak islami. (tapi di penjara saya tak akan merengek-rengek 
seperti si Fahri, menendang – nendang tembok. Menghujat Tuhan dan merintih 
seperti anak kecil kehilangan toet-toet.)
   
  Sekian dulu tanggapan saya atas tanggapan pembaca atas tanggapan saya atas 
film AAT. Buat yang sudah bersusah payah membuka mailboxnya dan tak menemukan 
email balasan saya, saya mohon maaf . Sebab, gara-gara tulisan-tulisan saya 
yang mirip tulisan anak SD, saya harus berdebat di  forum-forum liberal di 
situs-situs luar negri (tidak perlu saya sebutkan nama situsnya satu per satu, 
nanti dikira sombong).
   
  Semoga bermanfaat.
   
  Wassalam

       
---------------------------------
You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total 
Access, No Cost.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke