Sikap FRONT PERJUANGAN RAKYAT : TOLAK KENAIKAN HARGA BBM! TURUNKAN HARGA KEBUTUHAN POKOK! NAIKKAN UPAH BURUH DAN LAKSANAKAN LAND-REFORM!
http://fprsatumei.wordpress.com/ RENCANA Pemerintah SBY-JK yang hendak menaikkan harga BBM kembali menunjukkan karakter asli rejim tersebut sebagai rejim anti-rakyat dan boneka imperialisme. Rencana tersebut tidak hanya telah memperburuk kehidupan rakyat, melainkan memperkukuh posisi SBY-JK sebagai pelayan dan penjaga kepentingan imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat. Naiknya harga minyak dunia serta dampaknya terhadap APBN yang selama ini dijadikan alasan kenaikan harga BBM sesungguhnya bukanlah alasan yang bisa diterima. Naiknya harga minyak dunia seperti yang terjadi saat ini sesungguhnya bukanlah takdir yang tidak bisa dielakkan. Beratnya beban APBN akibat kenaikan harga minyak mentah dunia—yang konon menyedot 25% dana APBN—pun bukan alasan yang bisa diterima. Sebab, politik anggaran pemerintah SBY-JK sesungguhnya tidak mengabdi pada rakyat, melainkan mengabdi pada kepentingan imperialis. Alokasi 40% dana APBN 2008 untuk pembayaran utang dan cicilan utang luar negeri adalah bukti yang paling konkret dari ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat. Pemerintah juga tidak berani melakukan penghematan yang radikal pada pos-pos pengeluaran pejabat dan hingga saat ini masih membiarkan koruptor-koruptor BLBI berkeliaran tanpa tindakan hukum yang memadai. Kesahihan ilmiah dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu masyarakat miskin keluar dari jeratan krisis pun dipertanyakan. Pengalaman pendistribusian BLT pada tahun 2005 yang penuh dengan kecurangan, korupsi, ketidakvalidan data, dan gejolak-gejolak horizontal di kalangan masyarakat adalah bukti empiris yang tidak bisa dielakkan. Program BLT yang disandarkan pada politik KTP telah memecah-belah dan meminggirkan kaum miskin yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan publik dan pemerintahan. Sesungguhnya masalahnya tidak terletak pada mekanisme pendistribusian BLT, melainkan pada gagasan inti BLT sendiri yang tidak lain selain mendistribusikan masalah dan tekanan politik dari rejim SBY-JK kepada aparatur pemerintahannya di daerah. Dengan menggunakan BLT, rejim SBY-JK menjadikan ketua-ketua RT, lurah, camat, dan bupati, sebagai aparat pemerintahan terendah sebagai tumbal kekesalan dan amarah rakyat akibat naiknya harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok. Jadi, tidaklah mengherankan bila penolakan atas pelaksanaan BLT juga mengemuka dari aparat-aparat pemerintah daerah. RANGKAIAN protes yang meluas ke berbagai penjuru negeri, sesungguhnya menunjukkan kemuakkan Rakyat Indonesia atas politik energy SBY-Kalla yang tidak diabdikan bagi kepentingan rakyat Indonesia. Liberalisasi yang digenjot tinggi pasca krisis ekonomi 1997 tidak hanya memperpanjang penjajahan minyak dan gas di Indonesia, namun juga turut memperburuk krisis energy di dalam negeri. Akses rakyat miskin atas sumber-sumber energy penting menjadi semakin menipis. Di sisi lain, perampokkan kekayaan alam melalui privatisasi pengelolaan sumberdaya alam yang dilegitimasi UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal justru semakin vulgar dan tidak kentara. Instrumen-instrumen hukum di atas, beserta instrument-instrumen yang berasal dari perjanjian-perjanjian perdagangan bebas WTO maupun bilateral, telah memberikan keleluasaan bagi perusahaan-perusahaan raksasa atau “supermajor” di sector energy dan migas seperti ExxonMobil, Chevron, British Petroleum, Royal-Shell, dan ConocoPhillips semakin bebas beroperasi, merampok dan menimbun cadangan migas Indonesia. Liberalisasi pengelolaan migas Indonesia tersebut menyebabkan cadangan minyak bumi Indonesia lebih banyak digunakan untuk mengamankan ketahanan energy (energy security) Amerika Serikat ketimbang untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya leluasa menyedot cadangan minyak Indonesia, melainkan juga telah menikmati berbagai kemudahan, seperti pembebasan pajak dan cost recovery yang cukup besar dari pemerintah Indonesia. Seperti diketahui, cost recovery bagi perusahaan-perusahaan raksasa bidang minyak dan gas selalu mengalami peningkatan rata-rata 6% setiap tahun. Pada tahun 1997, cost recovery yang ditetapkan pemerintah RI sebesar US$ 3,4 miliar dan pada tahun ini telah mencapai US$ 8,4 miliar atau sebesar Rp 74 triliun. Dengan adanya ketentuan ini, perusahaan-perusahaan minyak raksasa yang beroperasi di Indonesia, memiliki keleluasaan untuk menyedot dan menimbun cadangan minyak yang hakikatnya milik rakyat tanpa harus memberikan kompensasi kepada rakyat sebagai pemilik sah sumber-sumber daya migas yang terkandung dalam perut bumi Indonesia. Melalui cara-cara itulah, manfaat dari kenaikan harga minyak dunia sebagaimana yang terjadi saat ini, tidak akan pernah mengalir pada rakyat dan bangsa negeri-negeri jajahan dan setengah terjajah, melainkan justru semakin memusat di tangan perusahaan-perusahaan imperialis raksasa. Perampokkan yang kian vulgar itu sesungguhnya menunjukkan keadaan konkret politik energy dunia saat ini, ketika migas tidak lagi sebagai barang publik yang mengandung peranan sosial bagi tegaknya kemanusiaan, melainkan obyek spekulasi dan komoditi perang yang menghancurkan peradaban. Keadaan ini adalah manifestasi terburuk dari krisis umum imperialisme atau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari krisis overproduksi dan jatuhnya daya beli yang telah berlangsung dalam skala dunia pada tingkat yang paling parah dan merusak. Krisis ini bersumber pada kontradiksi dasar dalam tubuh kapitalisme internasional, yakni antara kerja yang disosialisasi dengan kepemilikan individual atas alat produksi. Krisis ini tidak hanya melahirkan chauvinisme negeri-negeri imperialis dalam skala dunia, melainkan juga menyuburkan tumbuhnya fasisme di tubuh rejim kaki-tangan imperialisme yang anti-demokrasi dan anti rakyat yang berkuasa di negeri-negeri jajahan dan setengah terjajah. Rejim fasis kaki-tangan imperialisme itulah yang menjadi penjamin utama kokohnya dominasi imperialisme Amerika Serikat di muka bumi. Karenanya, di samping melahirkan gerakan rakyat dalam kerangka pembebasan nasional di berbagai belahan dunia melawan imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat, krisis ini juga melahirkan perlawanan-perlawanan rakyat negeri-negeri jajahan dan setengah terjajah melawan antek-antek imperialisme Amerika Serikat. Karenanya pula, dalam spektrum perlawanan global rakyat tertindas dan terhisap di dunia melawan imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat, perjuangan rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah terjajah melawan rejim fasis kaki-tangan imperialisme memegang kedudukan terpokok. Atas dasar pandangan-pandangan di atas, FRONT PERJUANGAN RAKYAT menyimpulkan krisis energy dan harga migas di tanah air adalah bagian yang tidak terelakkan dari krisis umum imperialisme. Krisis ini akan terus terjadi dan semakin memburuk selama dominasi imperialisme masih kokoh mencengkeram dunia. Melalui kekuasaan rejim fasis SBY-Kalla, krisis umum imperialisme telah secara sempurna dikonversi menjadi bencana sosial dan kemanusiaan bagi bangsa dan rakyat pekerja di Indonesia. Dengan mengandalkan pelayanan dari para anteknyalah, imperialisme Amerika Serikat sanggup bercokol kuat meski dalam keadaan telah berada diambang kebangkrutan. Krisis harga minyak dunia inilah yang menjadi symptom (gejala) atas pudarnya kedaulatan dan hilangnya kemerdekaan. Sehingga, sesungguhnya tidak ada cara lain untuk keluar dari krisis ini, kecuali dengan melakukan pembebasan nasional dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Oleh karenanya, krisis migas yang melanda Indonesia saat ini, sesungguhnya merupakan sinyal penting bagi gerakan rakyat dan gerakan sosial di Indonesia untuk semakin aktif melatih diri melalui aksi-aksi, mengonsolidasikan gerakan-gerakan protes spontan, menjadi gerakan rakyat yang terorganisasi dan terarah pada demokratisasi serta pembebasan sosial dan nasional. Sungguh, hal ini tidaklah mudah dan butuh waktu, namun bukan tidak mungkin untuk dicapai. FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) juga menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM bukanlah solusi untuk memecahkan krisis yang dialami rakyat, malah justru memperburuk krisis yang kini telah sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karenanya, FPR menuntut; 1. Menolak Kenaikan Harga BBM. 2. Turunkan harga kebutuhan Pokok Rakyat 3. Naikkan Upah Buruh dan Buruh Tani 4. Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Landreform Sejati 5. Sediakan Lapangan Kerja dan Berikan Jaminan Kerja Demikian Pernyataan ini kami sampaikan. Terima kasih. JAKARTA, 21 MEI 2008 FRONT PERJUANGAN RAKYAT RUDI HB. DAMAN KOORDINATOR Hp. 081808974078 F R O N T P E R J U A N G A N R A K Y A T Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong (ATKI-HK), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Serikat Buruh Aspirasi Pekerja Indonesia (SB-API), Forum Buruh Cengkareng (FBC), Serikat Buruh Koas Eterna Jaya Industries (SBK-EJI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Keristen Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Gerakan Mahasiswa Nasional Kerakyatan (GMNK), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Central Gerakan Mahasiswa Universitas Bung Karno (CGM-UBK), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Liga Pemuda Bekasi (LPB), Komite Pemuda Cengkareng (KPC), Arus Pelangi (AP), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Univ. Bung Karno (GMNI UBK), Forum Pemuda Kota Bekasi (FORDASI), Gerakan Rakyat Indonesia (GRI), Aliansi Perlawanan Rakyat (APR), Kesatuan Buruh Transportasi Indonesia (KBTI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Serikat Bajaj Jakarta (SEBAJA), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), INFID, INDIES, LP3ES, MIGRANTCARE, UPC, UPLINK, PBHI Nasional. POSKO PUSAT Sekretariat .PP. GMKI Jalan Salemba Raya No. 10, Jakarta Pusat