Tulisan Sdr. Budiman ini kok ruwet sekali ya. Apa makna paragraf berikut ini:

Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi 
sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa 
rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu 
disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual 
pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang 
sama pada awal kebangkitan pertama 1908.

AB

heri latief <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Menggali 
Jejak Kebangkitan
 
 Rabu, 21 Mei 2008
 
 Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? 
Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk 
parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari 
di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin 
menyesakkan hari demi hari.
 
 Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di 
manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah 
semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya 
republik.
 
 Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan 
momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini 
mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan 
neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?
 
 Kerja kolektif
 
 Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan 
realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan 
tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya 
dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan "tiada 
pilihan yang tersisa selain memotong subsidi" adalah contoh nyata sirnanya 
tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.
 
 Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad 
yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk 
menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah 
tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye 
politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk 
bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.
 
 Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana 
itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. 
Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat 
tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang 
tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari 
langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang 
dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan 
perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. 
Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap 
bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka 
tertindas/tertinggal.
 
 Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti 
seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan 
kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan 
kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.
 
 Perasaan ketertindasan/ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi 
faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang 
pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para 
mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru 
dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah 
kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu 
Indonesia.
 
 Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah 
politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang 
membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan 
kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan 
berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi 
sisa-sisa.
 
 Kebangkitan sebagai spirit
 
 Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada 
dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. 
Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. 
Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.
 
 Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari 
kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di 
kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke 
tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari 
jawaban atas hari ini dan hari depannya.
 
 Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali 
memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial 
dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. 
Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai 
selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan 
aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling 
konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh 
mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.
 
 Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu 
keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin 
yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi 
sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi 
sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah 
terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan 
sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana 
bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.
 
 Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap 
gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? 
Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikannya? 
Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian 
menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan 
oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas 
kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka 
kebangkitan nasional selanjutnya.
 
 Spirit yang mencari pemimpin
 
 Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses 
komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap 
oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa 
rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan 
rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan 
bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang 
menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini 
merupakan suatu proses discourse yang kompleks.
 
 Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi 
sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan 
juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk 
tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada 
awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama 
rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat 
hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat 
baik oleh mereka.
 
 Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan 
komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan 
massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu 
disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual 
pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang 
sama pada awal kebangkitan pertama 1908.
 
 Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin 
akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima 
kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr 
Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.
 
 Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI Perjuangan
 
 http://tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/
                 
  
 
 http://progind.net/
 kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan
 
 http://herilatief.wordpress.com/
 
 http://akarrumputliar.wordpress.com/
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
     
                                       


Ahmad Badrudduja 
 
Inna ikhtilaf al-mukhtalifin fi al-haqq la yujibu ikhtilaf al-haqq fi nafsihi 
Kebenaran tak menjadi banyak hanya karena orang-orang berbeda pendapat
-- Ibn al-Sid al-Batalyawsi (w. Valencia 1127 M)


       

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke