http://www.eramuslim.com/berita/bc2/8527161342-revrisond-baswir-kenaikan-bbm-cuma-alasan-ciptakan-liberalisasi-sektor-migas.htm
Kenaikan harga BBM sebenarnya merupakan satu bagian kecil dari upaya 
liberalisasi sektor migas di negeri ini. Nantinya, Pertamina, perusahaan miyak 
yang selama ini menjadi pengelola tunggal itu akan bersaing dengan lebih dari 
40 perusahaan migas asing yang sudah mengantongi izin untuk membuka 20.000 
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh Indonesia, dengan harga 
standar internasional.

Berikut ini perbincangan dengan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan 
Universitas Gadjah Mada Drs. Revrisond Baswir, M.B.A, yang ditemui dalam 
Seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung DPR, Jakarta. Berikut 
petikannya:

Kenaikan BBM ini kedepannya akan berdampak seperti apa?

Untuk mengetahui dampak kenaikan harga BBM, kita harus tahu persis latar 
belakang dan motivasi. Kalau menurut pemerintah, latar belakangnya apakah untuk 
mengoreksi yang tidak tepat sasaran, untuk menghemat konsumsi BBM, termasuk 
untuk menghindari penyelundupan dan sebagainya. Saya kira itu alasan yang 
dicari-cari, bukan penjelasan namun justru mengaburkan dari motif sebenarnya. 
Alasan yang sebenarnya adalah sejak pemerintah menandatanganani LOI 1998 di 
mana kita tunduk pada IMF untuk melepas harga BBM ke harga internasional. Ini 
sebenarnya bukan soal kenaikan, tapi soal proses bertahap melepas harga BBM ke 
harga pasar sesuai garis IMF, dan itu sudah difollow up oleh pemerintah yang 
sejak 1999 sudah membuat draft UU Migas yang baru, tapi pada waktu itu bentrok 
dengan Pertamina.

Lalu pada tahun 2000, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai 
proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan USAID dalam 
rangka liberalisasi itu adalah menyiapkan draft UU yang baru, bekerjasama 
dengan IDB dan World Bank menyiapkan reformasi sektor energi secara 
keseluruhan. Dalam UU Migas jelas, pasal 28 ayat 2 UU migas mengatakan harga 
BBM dilepas ke mekanisme pasar, sudah jelas itu.

Yang jadi masalah kemudian, segera setelah UU Migas keluar, pemerintah segera 
membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke berbagai tahap 
dalam proses migas di tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan bahkan 
mereka mengendalikan izin untuk perusahaan asing untuk membuka SPBU, sampai 
lebih dari 40 perusahaan yang sudah pegang izin untuk membuka SPBU itu. 
Masing-masing perusahaan diberi kesempatan membuka sekitar 20.000 SPBU di 
seluruh Indonesia. Target mereka sebenarnya pada 2005 harga BBM sudah bisa 
dilepas ke pasar, hanya saja di tengah jalan UU migas dibawa ke Mahmakah 
Konstitusi (MK) oleh serikat pekerja pertamina, disidangkan di MK. Dan pasal 28 
tentang pelepasan harga ke pasar itu dibatalkan MK, karena bertentangan dengan 
konstitusi. Itu sebenarnya yang menggganjal.

Masalahnya mereka kan tidak mau menyerah, setelah dinyatakan UU itu 
bertentangan dengan konstitusi, mereka jalan terus dengan istilah baru, dari 
istilah harga pasar menjadi “harga keekonomian”, itu hanya untuk berkelit saja. 
Karena harga pasar dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi maksudnya sama.

Isu yang tepat dalam kasus ini adalah liberalisasi sektor migas dan pelepasan 
harga BBM ke harga pasar. Jadi kalau kita lihat, setelah rencana itu gagal 
tahun 2005, dan muncul istilah harga keekonomian. Maka kini target pemerintah 
sesuai dengan apa yang diakatakan oleh Pak Budiono (Menko Perekonomian, dulu), 
setelah naik pada 24 Mei kemarin, diperkirakan pada September 2008 akan naik 
lagi secara bertahap, sampai ditargetkan selambat-lambatnya 2009 sudah sesuai 
dengan harga pasar minyak dunia. Sama dengan patokan di New York, kalau 
dieceran mencapai Rp 12.000 per liter.

Keuntungan apa yang akan diambil dari kebijakan melepas harga BBM ke pasar?

Bukan itu isunya. Isunya hanya dengan melepas harga BBM ke pasar, hanya dengan 
cara itu SPBU-SPBU asing itu mau beroperasi di sini. Kalau harga bersubsidi 
bagaimana SPBU asing bisa beroperasi dan bersaing dengan Pertamina, ini 
masalahnya. Masalahnya soal menangkap peluang investasi. Ada perusahaan asing 
ingin membuka SPBU asing, berarti SPBU asing ini mau melakukan investasi, 
tetapi SPBU asing hanya bisa jualan BBM, kalau BBM-nya sesuai dengan harga 
pasar. Jadi masalah ini saja, soal pasar. Pengakhiran monopoli Pertamina, 
pembukaan peluang bagi asing untuk berbisnis eceran BBM, dan seterusnya.

Seperti sekarang ini Petronas dan Shell sudah membuka SPBU-nya?

Makanya akibat kenaikan BBM tahun 2005, Shell buka, Petronas juga buka. Tapi 
apakah masuk akal kalau orang membuka SPBU itu hanya Jabotabek saja, gak 
mungkinkan, izin yang mereka peroleh, mereka boleh buka 20.000 SPBU di seluruh 
Indonesia, nah ada 40 perusahaan lebih yang punya izin. Bisa dibayangkan, 
berapa banyak SPBU yang akan berdiri, dan bukan hanya Jabodetabek, tapi juga 
seluruh Indonesia.

Pertamina sendirisudah memperkirakan hanya akan mampu menjual maksimal 50 
persen saja, 50 persennya akan diambil oleh SPBU-SPBU asing itu. Nah kalau 2009 
dilepas ke pasar, rencana terakhir pemerintah adalah bahwa sektor swasta bisa 
masuk ke bisnis eceran migas dilakukan secara penuh baru pada tahun 2010. Jadi 
bukan masalah BBM naik, kemiskinan, BLT, bukan isu itu, tapi mereka menganggap 
ini hanya dampak saja. Lalu kemudian bagaimana dampak itu diperlunak. Tetap 
saja mereka akan jalan terus dengan agendanya, bagaimana membuat sektor migas 
hingga terpenuhi sesuai harga pasar.

Saya kira isu lifting tidak relevan, karena ini isunya bukan naiknya berapa 
persen, bukan itu. Isunya adalah soal melepas harga itu, jadi pemerintah ingin 
lepas tangan dari urusan harga BBM. Dia gak mau mengatur mau naik, mau gak 
naik, dia mau lepaskan, jadi isu lifting menjadi tidak penting. Apalagi kalau 
SPBU beroperasi di sini, gak penting lagi, sumber migasnya darimana, mau impor 
100 persen, ya boleh. Itu dia, justru itu malah mengaburkan masalah dari pokok 
masalah kita.

Masalah ini sekarang sudah mulai masuk ke ranah politik, ada wacana mengimpeach 
Presiden. Bagaimana ini?

Soal pemakzulan Presiden, kalau kita bicara UU migas, kemudian UU Kelistrikan, 
kemudian UU APBN, yang terkait dengan subsidi dan lain-lain itu kan atas 
persetujuan DPR, jadi proses liberalisasi ini juga berlangsung atas persetujuan 
DPR. Kalau akan dimakzulkan bukan saja Presiden, tapi juga DPR-nya juga 
dimakzulkan.

Dan itu terbukti di MK, jadi yang melanggar konstitusi bukan hanya pemerintah, 
tapi juga DPR. Inilah yang menjadi problem sekarang, jadi secara politik 
masalah ini sangat kompleks, karena belum ada aturan, bagaimana apabila 
pelanggaran konstitusi dilakukan Presiden dan DPR. Nah ini tidak ada UU-nya, 
saya sudah menanyakan hal ini kepada hakim agung, celakanya pelanggaran 
konstitusi ini tidak hanya sekali. UU Listrik batal demi hukum, karena 
melanggar konstitusi, UU Migas pasal mengenai harga pasar batal karena 
melanggar konstitusi, UU Penanaman Modal pasal mengenai Hak Guna Usaha karena 
melanggar konstitusi, UU APBN tiga tahun berturut-turut melanggar konstitusi, 
ini masalah kita.

Akar permasalah dari kebijakan melepas BBM ke harga pasar?

Masalahnya adalah apa yang disebut dengan Neokolonialisme dan Neoliberalisme.

Solusinya bagaimana?

Solusinya, kita harus memperteguh kembali komitmen sebagai bangsa terhadap 
cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, ini harus ditegakan kembali. 
Setelah ini baru mengoreksi semua penyimpangan-penyimpangan, apakah itu 
kebijakan, peraturan pemerintah, UU, semua itu harus ditertibkan kembali. 
Karena menurut perkiraan Ketua Mahmakah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, 27 persen 
UU melanggar konstitusi, harus dibereskan dulu. Dari situ baru kita lihat 
dampak turunannya apakah kepada kontrak bagi hasil, harga BBM, harga listrik, 
dan lain-lain. (novel)

===
Syiar Islam. Ayo belajar Islam melalui SMS

Untuk berlangganan ketik: REG SI ke 3252

Untuk berhenti ketik: UNREG SI kirim ke 3252. Sementara hanya dari Telkomsel 
Informasi selengkapnya ada di http://www.media-islam.or.id atau 
http://syiarislam.wordpress.com


      

Reply via email to