Pro-Kontra Kenaikan Harga BBM Wednesday, 28 May 2008
DI tengah pro dan kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, ada baiknya kita merenungkan dua pertanyaan mendasar berikut. Jawaban terhadap dua pertanyaan ini akan membantu kita memahami permasalahan sebenarnya. Pertama, apakah kita menilai wajar dan adil apabila harga BBM yang dibayar warga dari suatu negara kaya,sama dengan harga yang harus dibayar warga dari negara miskin? Konkretnya, apakah kita setuju apabila harga BBM yang kita bayar sedapat mungkin didekatkan dengan harga yang berlaku di negara-negara kaya? Bila kita menilai hal itu wajar dan adil,karena ini merupakan konsekuensi globalisasi dan liberalisasi pasar, kita tak perlu iri menyaksikan harga premium di Singapura, yang pendapatan per kapitanya sekitar tiga puluh kali pendapatan kita,hanya sekitar dua kali lebih mahal daripada harga yang kita bayar.Tak perlu berkecil hati pula bila harga premium di Malaysia, yang kekayaan rata-rata penduduknya sekitar empat kali kekayaan penduduk kita, masih sedikit lebih murah dibanding harga yang kita bayar. Kedua, apakah kita menilai wajar dan adil apabila harga BBM di sebuah negara penghasil minyak tidak harus berbeda dengan di negara lain yang bukan penghasil minyak? Haruskah kita bersedih bila melihat harga BBM di Vietnam, Thailand, dan Filipina negara-negara bukan penghasil minyakhanya sedikit lebih mahal daripada harga yang kita bayar? Sambil merenungkan dua pertanyaan di atas,kita membuka amanat Undang-Undang Dasar yang kita miliki, khususnya Pasal 33. Dinyatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Pada ayat lain dinyatakan,"Bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Dari sini tampak jelas superioritas peran negara dibanding mekanisme pasar. Negara tidak tunduk pada mekanisme pasar, apalagi mekanisme pasar yang terjadi di New York (New York Mercantile Exchange atau NYMEX) yang bukan mustahil sarat dengan spekulasi dan konspirasi. Negara juga tidak tunduk pada prinsip "harga sama di seluruh penjuru dunia" (the law of one price) yang didesakkan liberalisasi pasar. Sebaliknya, negara justru menguasai kekayaan alam untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Negara tidak ingin "berkat" yang dimiliki berubah menjadi "laknat". Daulat rakyat lebih penting daripada daulat pasar.Andai rakyat dapat menikmati kekayaan alam tersebut dengan harga lebih murah, hal tersebut justru merupakan salah satu tujuan mengapa kekayaan alam tersebut harus dikuasai negara. Kwik Kian Gie dalam banyak tulisan dan pernyataannya membuat perhitungan menarik. Menurut data yang dimiliki, biaya produksi premium, yang terdiri atas biaya lifting (penyedotan), pengilangan, dan distribusi adalah USD10 per barel (159 liter) atau sekitar Rp630 per liter apabila dipakai patokan USD1=Rp10.000. Dengan menjual bensin Rp4.500 per liter, pemerintah telah kelebihan uang tunai. Jadi, kita tidak perlu menaikkan harga BBM. Yang dinamakan "subsidi", sebenarnya hanyalah sebuah teknik pembukuan, bukan pengeluaran kas. Kita membayangkan harga minyak internasional sebagai patokan untuk menghitung peluang yang lepas (opportunity loss) apabila minyak tersebut dijual dan bukan dikonsumsi sendiri. Jadi, sejauh kenaikan harga minyak lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksinya, pemerintah akan menangguk keuntungan lebih besar. Tidak mengherankan apabila sebelum ini santer pernyataan resmi pemerintah bahwa untuk setiap kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar USD1 akan mendatangkan surplus bersih sekitar Rp50 miliar. Juga tidak mengejutkan apabila perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) di Jakarta pernah mengatakan,kalau harga minyak naik,pemerintah memiliki kekayaan tunai dalam jumlah besar (cash rich). Jadi tidak seperti yang dikesankan sekarang, kenaikan harga minyak seakan-akan merupakan beban atau laknat. Persoalan tentu lebih rumit karena ada komponen impor minyak yang harus dibeli dengan harga internasional. Tapi untuk soal ini, selama ekspor masih lebih besar daripada impor, tak akan merugikan, karena selisihnya selalu menciptakan surplus bersih. Lain soal apabila impor lebih besar dari ekspor. Kita harus menghitung jumlah dan harga rata-rata ekspor dikurangi impornya. Perhitungan di atas mengandaikan negara benar-benar menguasai produksi dan distribusi BBM. Bagaimana bila sumur-sumur minyak telah dikuasai perusahaan asing? Tersediakah data akurat tentang produksi minyak yang sesungguhnya? Bukan tidak mungkin kita tak memiliki kontrol yang memadai untuk memastikan besaran produksi dan biaya-biaya yang ditimbulkannya. Sungguh mengherankan, ketika harga minyak merayap naik, produksi minyak kita justru menurun.Doktrin ekonomi menyatakan, kenaikan harga akan mendorong pelaku usaha untuk menggenjot produksi lebih banyak agar kesempatan mengeruk keuntungan tak terbuang. Apakah tidak terjadi manipulasi informasi dari para pemegang kontrak dalam industri minyak dan gas (migas) kita? Atau penurunan produksi semata-mata disebabkan UU Migas (UU No 22/2001)oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan dengan UUDyang dinilai tidak memberi insentif cukup bagi upaya-upaya eksplorasi sumber minyak baru? Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, sesungguhnya salah satu sumber kebanggaan kita adalah menjadi warga dari suatu negara yang memiliki kekayaan alam besar. Warga dari suatu negara yang bertujuan menguasai kekayaan alam tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, bila kita bisa membayar lebih murah untuk BBM, itu merupakan suatu kebanggaan. Bukan kenistaan yang perlu dijadikan bahan olokan. Kita justru akan tersinggung bila harus membayar harga sama dengan warga dari negara yang pendapatannya jauh lebih kaya atau negara yang tidak memiliki sumber-sumber minyak, seperti yang kita miliki. Negara kaya tanpa malumalu menyatakan pendapatan rata-rata penduduknya jauh lebih besar dari penduduk negara miskin. Lalu, mengapa kita harus malu menyatakan bahwa pengeluaran rata-rata penduduk kita, termasuk untuk biaya BBM,jauh lebih rendah daripada penduduk negara kaya?(*) *) Penulis,Guru Besar FE UKSW,Salatiga; Alumnus Tinbergen Institute,Belanda