Jurnal Sairara:
   
  Kepada Saudara Taufiq Ismail 
   
   
  MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN
   
   
  2.
   
   
    Saudara Taufik Ismail yth.,
   
  Sementara demikianlah tanggapan saya menyambut surat Saudara sebelum saya 
memasuki titik-titik [points] terpilih yang saya coba angkat dari "respons" 
Saudara. Adanya surat dan tanggapan Saudara kepada saya yang  kroco di dunia 
sastra ini,  saya pahami mempunyai arti tersendiri apalagi di tengah keadaan 
teman-teman tua saya banyak sekali yang sudah tiada. Surat Saudara mengingatkan 
saya akan gambaran yang dilukiskan oleh Leonardo da Vinci di mana terdapat 
tangan terulur untuk saling mendekat tapi dua telunjuk jari mereka belum juga 
bersentuhan. "Courage,  un petit peu encore des efforts" [Ayo, berusahalah 
lebih keras sedikit lagi], ujar orang Perancis. Mengapa tidak kita tidak 
berusaha lebih keras sedikit lagi agar dua tangan saling terulur itu kemudian 
mampu membuat jari-jari bersentuhan? Naifkah harapan ini? Inilah mimpi. Mimpiku.
   
   
  ***
   
   
  Mimpiku adalah  pikiran dan perasaan yang dilahirkan oleh kenyataan,  sebagai 
usahaku menangap kenyataan. Mimpi demikianlah yang kemudian menemaniku 
melangkah mengujudkan apa yang kupikir dan kurasakan sebagai suatu keniscayaan 
untuk tidak menerima kenyataan yang tak adil yang mengalirkan arus riam duka 
atas kehidupan. Sealur dengan sikap ini maka ketika pada usia 11 tahun aku 
meninggalkan rumah, orangtua dan keluargaku yang berjuang mandi darah mengalau 
kolonialisme dari Kalimantan berpesan : "jangan pulang jika kau tidak bisa 
mengobah cawet dengan dasi". Tantangan yang waktu itu tidak bisa kujawab tapi 
membangun sebuah mimpi di benak kecil dan tekad di hatiku. Mimpi juga kulihat 
adalah bangunan ide yang realis bercampur dengan harapan. Katakanlah sejenis 
utopi tentang esok yang beda dengan hari ini. Dari mimpi ini mengalirkan 
prakarsa demi prakarsa tak obah air mengalir dari sumbernya di hulu. Dalam 
pandangan orang Perancis,  mimpi jenis ini tidak pernah berkelebihan.
 Mimpi demikian, jika ingin bisa terujud, kiranya tak bisa terpisah dari 
kenyataan. Malah ia seniscayanya setia pada kenyataan, ibu kandungnya. 
Kenyataan inilah yang daerah kembara pencarian spiritualitas untuk mendapatkan 
kebenaran relatif. Relatif, karena yang sekarang kita sebut benar bisa terjadi 
ia  sudah kadaluwarsa.   Pemutlakan, jika kita sepakat dengan pandangan 
"mencari kebenaran dari kenyataan"  demikian, hanya akan menjadi rumah tahanan 
bagi pencarian. Barangkali semangat inilah yang terdapat pada larik-larik 
Chairil Anwar: 
   
   
  "jangan tambat kudamu pada siang dan malam
  peluk kucup perempuan tinggalkan kalau merayu
  pilih kuda yang paling jalang, pacu laju!"
   
   
  Jika menurut pemahamanku, dengan demikian, maka kenyataan, data-data di 
kehidupan dan perjalanan peristiwa betapa pun berlika-likunya, terang dan 
gelap,  layak disetiai. Niscaya jadi perhitungan ingatan, tidak dilupakan dan 
tidak pula dipelintir. Di sinilah check dan recheck. Dalam usaha check-recheck 
ini maka duduk di hadapan satu meja, akan sangat menguntungkan. Barangkali 
melalui check-recheck ini sebuah data sebenarnya akan bisa direkonstruksi ulang 
sehingga mendekati yang sesungguhnya.  Sejarah negeri dan bangsa ini pun, 
kukira, perlu direkonstruksi.  
   
   
  Rekonsiliasi nasional pun kukira niscayanya tidak menggelapkan kenyataan tapi 
justru akan sangat perlu menyetiai kenyataan, kalau kita mau jujur pada diri 
sendiri. Sanggup mengatakan hitam pada yang hitam, putih pada yang putih. 
Sanggup menertawai diri sendiri dan membahaki kebodohan diri. Mampu melihat 
borok-borok muka sendiri. Dengan sikap ini pulalah maka aku dengan rajin 
membaca tulisan-tulisan masa remaja Yogyaku yang dimuat ulang oleh Taufiq dalam 
buku-bukunya. Diam merenung wajah pikir dan perasaanku di masa remaja Yogya 
dahulu. Dalam pandanganku masalah dendam dan setia pada kenyataaan, jujur pada 
diri sendiri adalah hal berbeda. Dendam adalah tingkat emosional, perkembangan 
psikhologis dan berpikir seseorang sebagai anak manusia yang dilahirkan oleh 
sikon pada suatu ketika, sedangkan menyetiai kenyataan adalah tingkat kemampuan 
nalar dan kontrol emosi seseorang. Dalam hal ini aku selalu teringat akan pesan 
guru dan sahabatku Prof. Dr. Deny Lombard alm. agar aku
 bisa "mengambil jarak dalam melihat sesuatu sebelum menulis. Jangan sampai 
menulis dan mengucapkan sesuatu sebagai partisan. Partisanisme merabunkan mata 
obyektivitas". Obyektivitas , pertama-tama  memahami kenyataan dan kemudian 
mengobah dan mendorong perkembangan majunya. Partisanisme mengurung keleluasaan 
pencarian. Mendekatkan kita mutlak-mutlakan yang melihat sesuatu secara 
simplistis, hitam-putih. Sedangkan hidup dan kenyataan itu pelangi penuh warna. 
Rekonsoliasi bisa dilihat sebagai hasil melihat kenyataan dengan tenang, 
membaca kenyataan sebagaimana adanya, tanpa emosi, suatu tingkat kedewasaan. 
Kedewasaan berpikir, merasa dan bertindak tanpa mengelak dari kenyataan dan 
kebenaran yang sering  melukai jika dihadapi secara emosional. Karena seperti 
yang dikatakan oleh George Orwell "kebenaran itu revolusioner". Rekonsiliasi 
dalam pengertian ini, kukira, tidak berarti membuat diri sendiri  dengan 
sukarela menjadi seorang pelupa. Aku bahkan mengatakan bahwa berbuat
 salah itu suatu hak [tidak dalam arti kesengajaan atau sadar] dan suatu hak 
pula untuk mengkoreksi kesalahan. 
    
   
  Dari papan pijakan inilah maka kemudian, aku membaca "respons" Saudara Taufiq 
Ismail yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah yang berikut:
   
   
   

    DISKUSI MARXISME-LENINISME DALAM PERSPEKTIF BUDAYA, FAKULTAS SASTRA U.I., 9 
JUNI 2000
   
  Taufiq Ismail
   
  Pada hari bulan 9 Juni 2000, di aula Fakultas Sastra Universitas Indonesia 
diadakan diskusi bertajuk Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya. Untuk 
kedua kalinya sesudah 38 tahun (pertama kali ialah dalam Musyawarah Federasi 
Teater se-Indonesia, Desember 1962 di Yogyakarta) wakil dari dua kelompok 
seniman-budayawan yang berseteru di masa Demokrasi Terpimpin bertemu di dalam 
sebuah forum terbuka. 
   
  Untuk pertama kalinya Asrul Sani dan saya akan berhadapan dengan Pramoedya 
Ananta Toer dan (penyair Lekra) Putu Oka Sukanta.  Dua hari sebelumnya 
tiba-tiba Asrul Sani sakit  dan Putu Oka berhalangan. Asrul digantikan (dosen 
sosiologi) Imam Prasodjo dan Putu Oka digantikan (sastrawan) Martin Aleida. 
Rocky Gerung, mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak awal sudah 
terasa selalu berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil.
   
  Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak 
ada gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an ”tujuh 
setan desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis 
birokrat” dan seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya 
tercengang. Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang 
Marxisme-Leninisme yang berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan. 
Saya tak merasakan getaran, sengatan setrum ideologi 
Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme dari diskusi itu, seperti yang saya 
rasakan bila berdiskusi dengan orang-orang Palu Arit tulen yang pernah saya 
alami. Pram bukan komunis.
   
  Saya makin mual pada partai yang berhasil memperalatnya, yang dirangkul, 
difasilitasi ini-itu, diangkut ke seberang garis menyertai apel barisan PKI, 
terpaksa ikut menderita dalam pembuangan, dan ternyata tetap saja tidak in 
dalam ideologi ini sama sekali. Ternyata Lekra tak berhasil menjadikannya 
komunis. Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram 
terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai 
mana pun. Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, 
mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di 
tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB 
(Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini.
   
   
  Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua 
perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, 
gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, 
ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun 
(1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan 
membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000). 
   
   
  Selepas dua perang saudara, akibatnya sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam. Penyebabnya dua orang. Kedua orang ini masih mengulurkan rantai 
dendam yang panjang dari kuburan mereka melintasi Perang Dingin, satu dari 
London (Marx), satu lagi dari Moskow (Lenin). Rantai dendam sepanjang itu masih 
membelit tubuh bangsa kita. 
   
   
  Bagaimana akan maju dalam peradaban bila sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam? Saya serukan pada mahasiswa yang hadir, yang terpengaruh ideologi 
usang-lapuk ini agar membuangnya, karena wacana ideologi abad 19 ini sudah kuno 
ke mana-mana, terbukti gagal total di seluruh dunia, dan berbau amis-hanyir 120 
juta mayat korbannya. Ideologi ini sudah terbukti keropos. Yang mau 
mengusungnya pasti cuma karena  memikul beban dendam. 
   
   
  Kita harus memotong rantai dendam yang membelit badan bangsa, dan kita mulai 
sejarah baru. Imam Prasodjo menambahkan, ”Kita menatap masa kini dan masa depan 
bersama, dibangun dalam rekonsiliasi nasional.” Saya setuju, malah lebih dari 
itu, yaitu perdamaian  total, seperti yang dilakukan di Malaysia (1989) antara 
Partai Komunis Malaya dengan Pemerintah Malaysia. 
   
   
  Pramoedya Ananta Toer dan Martin Aleida menyambut baik ajakan kami. Saya 
mengulurkan tangan kepada Pram, dan dia menjabat tangan saya erat-erat. Saya 
gembira sekali. ***
   
   
   Horison, Tahun XLI, No.8, Agustus 2006 
  [Fragmen] 
   

   
  Aku akan mulai dari "respons" Taufiq bagian pertama ini, dengan mengangkat 
beberapa titik [point], kalau bukan point per point. Tapi sebelum melanjutkan 
tulisan ini, aku masih merasa perlu menulis ulang kalimat-kalimat 
terdahulu:"Courage,  un petit peu encore des efforts" [Ayo, berusahalah lebih 
keras sedikit lagi], ujar orang Perancis. Mengapa tidak kita tidak berusaha 
lebih keras sedikit lagi agar dua tangan saling terulur itu kemudian mampu 
membuat jari-jari bersentuhan? Naifkah harapan ini? Inilah mimpi. Mimpiku". 
Mencari kebenaran dari kenyataan. Mengatakan hitam pada yang hitam, putih pada 
yang putih. 
   
   
  Paris, Mei 2008.
  ---------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Bersambung....]   

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke