Jurnal Sairara:
   
   
  Kepada Saudara Taufiq Ismail 
   
   
  4.
   
   
  MENCOCOKKAN DATA
   
   
  Selanjutnya dalam kerangka mencocokkan data ini pula, aku memasuki alinea 
kedua "respons" bagian pertama Saudara Taufiq Ismail  yang berbunyi sebagai 
berikut:
     
   
  "Untuk pertama kalinya Asrul Sani dan saya akan berhadapan dengan Pramoedya 
Ananta Toer dan (penyair Lekra) Putu Oka Sukanta.  Dua hari sebelumnya 
tiba-tiba Asrul Sani sakit  dan Putu Oka berhalangan. Asrul digantikan (dosen 
sosiologi) Imam Prasodjo dan Putu Oka digantikan (sastrawan) Martin Aleida. 
Rocky Gerung, mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak awal sudah 
terasa selalu berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil".
   
   
  Sebagai data, apakah data yang tertera di alinea ini akurat?

   
   
  Untuk menjawab pertanyaan ini, sekaligus untuk check dan recheck data, hingga 
bisa diketahui dan didapatkan keadaan relatif sesungguhnya , maka  izinkan aku 
mengutip surat listrik Putu Oka yang disiarkan oleh milis wahana-news yang 
lengkapnya sebagai berikut [dengan koreksi salah ketik dari JJK]:
   
   
  "Saudara Taufiq, saya tidak pernah menerima Undangan seperti yang Saudara 
informasikan. Sebenarnya pertemuan seperti yang dimaksud sangat saya nantikan. 
Lain kali tolong pastikan apakah Undangan sudah sampai ke tangan saya atau 
belum, siapa yang mengirim dan ke alamat mana dikirim.
     
   
  Mengenai ide dan usaha rekonsiliasi adalah usaha yang perlu direalisasi 
bersama dalam kesetaraan derajat dan martabat. Sudah saya lakukan itu walaupun 
kecil-kecilan di wilayah yang bisa saya jangkau.. Secara politis saya masih 
dikerangkeng dengan beberapa peraturan yang diskriminatif. Bisakah rekonsiliasi 
dilakukan antar dua orang/kelompok yang masih dipisahkan oleh peraturan yang 
memposisikan mereka berbeda di hadapan hukum? Secara kultural/ persahabatan 
antar  sesama, sudah banyak yang bisa dilakukan. Tetapi secara politis, harus 
ada pengguguran peraturan yang diskriminatif itu. Pemerintah R.I. tidak 
melakukan itu, sementara persahabatan antar sesama ( yang bebeda di masa lalu, 
mungkin sampai sekarang) sudah terjadi secara individual. Dengan demikian, 
siapapun yang menginginkan rekonsiliasi secara total harus bersama juga 
mendesak pemerintah untuk mencabut aturan-aturan yang diskriminatif tersebut.

Hati lapang menciptakan jembatan cahaya.

Salam 
Putu Oka"
   
  [Sumber: [EMAIL PROTECTED], 26 Mei 2008]
   
   
  Surat listrik [sulis] Putu Oka ini, kalau pemahamanku benar, juga menyambut 
uluran tangan rekonsiliasi dari Saudara Taufiq sambil   sekaligus mengajukan 
usul kongkret bagaimana mengujudkan hasrat agung rekonsialisi sehingga 
keinginan tersebut tidak mengambang. Dari keinginan Saudara Taufiq dan surat 
Putu Oka ini, aku melihat bahwa apa-bagaimana pun perbedaan pandangan dan sikap 
antar sastrawan-seniman, nampak ada satu titik temu. Mengapa tidak 
halangan-halangan yang muncul sebagai tinggalan masa silam dan perbedaan 
pandangan serta sikap -- jika benar ada dan memang ada -- ditanggulangi bersama 
dengan "hati lapang" jika menggunakan istilah Putu Oka agar bisa berhasil 
sampai ke tujuan: rekonsialisasi sesama anak bangsa dan negeri demi kepentingan 
bangsa, negeri dan kemanusiaan. "Kemanusiaan yang tunggal" jika menggunakan 
istilah folosof Perancis, Paul Ricoeur alm.  Keinginan untuk mewujudkan 
rekonsialisasi ini pun juga terdapat pada Pramoedya Antara Toer dan Martin 
Aleida
 seperti yang dituliskan sendiri oleh Saudara Taufiq Ismail dalam kata-kata: 
"Pramoedya Ananta Toer dan Martin Aleida menyambut baik ajakan kami. Saya 
mengulurkan tangan kepada Pram, dan dia menjabat tangan saya erat-erat. Saya 
gembira sekali".  
   
   
  Jika demikian, maka masalahnya barangkali terletak pada bagaimana secara 
kongkret mewujudkan "rekonsiliasi" dan "perdamaian total" itu? Akan sangat 
menarik dan berguna jika Saudara Taufik Ismail bisa dengan murah hati 
menawarkan langkah-langkah usulan bagaimana secara nyata melangkah ke tujuan 
ini, senyata yang dilakukan oleh sobatku Andi Makmur Makka dari The Habibie 
Center, Jakarta. Kukira bukan hanya aku, si kroco di dunia sastra ini, saja 
yang menunggu usulan kongkret Saudara Taufiq Ismail.  Apalagi dalam 
"respons"nya kepadaku Saudara Taufiq Ismail telah menulis: "Saya menyarankan 
perdamaian total, lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi. PERDAMAIAN 
TOTAL. Rantai dendam yang membelit bangsa itu harus segera dipotong habis". 
Saran yang ditutup dengan motto bahwa "“Bangsa yang Waras, Bangsa yang Memotong 
Rantai Dendam”. 
   
   
  Bolehkah motto Saudara Taufiq Ismail ini dibikin varian dengan mengatakan 
bahwa "Sastrawan-seniman yang Waras, Sastrawan-seniman yang Memotong Rantai 
Dendam" juga? Sastrawan-seniman yang mampu hidup dengan kebhinekaan -- 
kenyataan yang terdapat di mana pun?  Sebagai orang yang menghargai pandangan 
dan sikap Saudara Taufiq Ismail, sebagai suatu hak dasar tak tergugat, aku 
sungguh menunggu usul-usul dan langkah-langkah  kongkret dari Saudara Taufiq 
Ismail ke jurusan "Persamaian Total", yang beliau sarankan sendiri sebagai 
"lebih maju selangkah ketimbang rekonsialisi". Dengan daya pikir dan kemampuan 
si kroco,  aku sendiri akan mencoba sebisaku mengajukan saran-saran setelah 
selesai dengan keterangan-keteranganku tentang rupa-rupa soal dalam usaha 
"mencari kebenaran dari kenyataan". 
   
   
  Saudara Taufiq Ismail yth.,
   
  Perkenankan aku mengomentari apa yang Saudara tulis tentang Putu Oka. Tentang 
syohib sejak remajaku ini Saudara menulis di dalam tanda kurung  "(penyair 
Lekra) Putu Oka Sukanta".
   
   
   Membaca cara Saudara memperkenalkan Putu Oka sebagai  "penyair Lekra" 
membuatku tersenyum. Mengapa? Sebab bagiku penyair ya tetap penyair, apa 
bagaimana pun pandangan sikap hidupnya dan pandangan serta sikapnya sebagai 
penyair dan anak manusia. Aku mencoba mencoba memahami Saudara semaksimal 
mungkin bahkan membaca dengan penuh antusias dan penuh perhatian  biografi 
Saudara yang sudah diterbitkan oleh Gramedia.  
   
   
  Cara Saudara memperkenalkan Putu Oka ini mengingatkan aku akan sikap  
sejarawan sastra Perancis ketika sampai pada kasus Ferdinand Celine, penulis 
roman "Au But de la Nuit". Celine terkenal sebagai seorang yang secara 
pemikiran pro fasisme Hitler yang pernah menduduki Perancis.  Debat terjadi: 
Apakah Celine dimasukkan dalam sastra Perancis atau tidak? Kesimpulan diskusi: 
suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dengan orientasi Celine, Celine 
itu ada dan ia penulis Perancis. Sejarah niscayanya setia pada kenyataan. 
Apakah demikian sikap kita terhadap para sastrawan-seniman yang bergabung di 
Lekra? Aku khawatir bahwa "there is something wrong in the state of Denmark" 
sejarah sastra berbahasa Indonesia sampai hari ini. Aku akan senang sekali, 
jika Saudara bisa mengkoreksi pandanganku jika keliru bahkan salah. Pelarangan 
terhadap karya-karya para penulis yang bergabung dalam Lekra sampai sekarang 
masih saja belum dicabut oleh pemerintah. Barangkali ini jugalah yang
 dimaksudkan oleh Putu Oka dengan "Tetapi secara politis, harus ada pengguguran 
peraturan yang diskriminatif itu". Bagaimana pandangan dan sikap Saudara Taufiq 
Ismail tentang hal ini ketika Saudara menulis: "Saya menyarankan perdamaian 
total, lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi. PERDAMAIAN TOTAL. Rantai 
dendam yang membelit bangsa itu harus segera dipotong habis". Saran yang 
ditutup dengan motto bahwa "“Bangsa yang Waras, Bangsa yang Memotong Rantai 
Dendam”?  Rasa ingin tahu dan  bagaimana kita masing-masing berusaha menghargai 
kata-kata kita sendiri,  mendorongku menulis pertanyaan ini?
   
   
  Mengenai  "Rocky Gerung, mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak 
awal sudah terasa selalu berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil", bagiku 
tidak relevan untuk memberikan komentar. Dan tidak bersentuhan dengan soal 
hakiki yang besar, yaitu soal rekonsiliasi  dan "perdamaian total" yang Saudara 
katakan "lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi". 
   
   
  Tuturan Saudara Taufik Ismail tentang Rocky Gerung, yang belum kukenal sampai 
sekarang,  dalam konteks ini, kuanggap tidak lebih sebagai ilustrasi saja, 
sehingga bisa kuabaikan. Istilah "kekiri-kiran", kalau pengetahuanku benar, 
pertama kali digunakan oleh Lenin dalam salah sebuah karyanya "Kekiri-kirian, 
Penyakit Kekanakan" ketika mengkritik anggota Partai Komunis Russia . Aku tidak 
percaya bahwa Rocky Gerung adalah seorang anggota PKI yang sudah dinyatakan 
terlarang oleh Orba. Tentu saja istilah "kekiri-kirian" bisa diterapkan pada 
konteks lain. Hanya dalam konteks Rocky Gerung, apakah tidak ada istilah yang 
lebih kena lagi?   Saudara Taufik Ismai oleh Rocky Gerung  "[...] terasa selalu 
berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil". Aku dan teman-temanku?  Kami 
dikejar-kejar, di penjara, dibuang ke pulau pembuangan, menjadi eksil, disiksa 
dan dibunuh, hilang tak tentu rimba dan lautnya. Karya-karya kami secara resmi 
masih dinyatakan terlarang. Aku menghormati kehandalan
 Sauara berkelit dari "usaha memojokkan" Saudara. Tapi sekali lagi soal ini, 
kukira tidak lebih dari suatu ilustrasi pada tulisan dan "respons" Saudara.
   
   
  Sekarang aku memasuki alinea ketiga dan keempat "respons" bagian pertama  
Saudara Taufiq Ismail, yang berbunyi sebagai berikut:
   
   
  "Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak 
ada gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an ”tujuh 
setan desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis 
birokrat” dan seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya 
tercengang. Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang 
Marxisme-Leninisme yang berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan. 
Saya tak merasakan getaran, sengatan setrum ideologi 
Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme dari diskusi itu, seperti yang saya 
rasakan bila berdiskusi dengan orang-orang Palu Arit tulen yang pernah saya 
alami. Pram bukan komunis."
   
   
  "Saya makin mual pada partai yang berhasil memperalatnya, yang dirangkul, 
difasilitasi ini-itu, diangkut ke seberang garis menyertai apel barisan PKI, 
terpaksa ikut menderita dalam pembuangan, dan ternyata tetap saja tidak in 
dalam ideologi ini sama sekali. Ternyata Lekra tak berhasil menjadikannya 
komunis. Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram 
terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai 
mana pun. Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, 
mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di 
tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB 
(Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini."
   
   

  Paris, Mei 2008
  ----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Bersambung .....]

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke