Jurnal Sairara: Kepada Saudara Taufiq Ismail 9 . DEBAT IDE & LA PENSEE UNIQUE
Aku masih mau berbicara tentang alinea ketiga dan keempat dalam respons bagian pertama Saudara Taufiq Ismail di atas, dua alinea yang kaya permasalahan tapi kurang disertai data . Rasanya akan mustahil seorang sastrawan dan cendekiawan sekaliber Saudara Taufiq Ismail mengabaikan pembuktian hubungan Lekra dan hubungannya dengan PKI dan soal-soal lain yang beliau kemukakan dalam responsnya. Saudara Taufiq menulis: "Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak ada gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an tujuh setan desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis birokrat dan seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya tercengang. Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme yang berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan". Kalimat-kalimat ini pertama-tama kupahami sebagai ajakan dan keinginan Saudara Taufiq Ismail untuk melakukan suatu debat ide secara serius dengan Pramoedya A Toer yang beliau akui sebagai "pengarang besar". Untuk debat ide yang begini memang diperlukan kesungguhan untuk menyiapkan diri dengan bahan-bahan, data-data dan acuan tentang tema yang akan dibicarakan supaya bisa mencapai kejernihan tentang soal-soal tersebut. Mencoba mencari titik temu dan kalau ada yang masih jauh dari kesepakatan, soal-soal tersebut dicatat serta bisa dibicarakan belakangan sambil masing-masing merenungkannya. Debat ide pada dasarnya adalah salah satu upaya juga mencari kebenaran dari kenyataan, usaha untuk melakukan check dan recheck, membandingkan data sehingga mendekati wajah kenyataan yang sebenarnya dan menjauh dari data dugaan atau rekaan subyektif. Kedekatan relatif pada kenyataan sebenarnya ini juga akan membuat kita bisa luput dari keadaan yang oleh orang Banjar dikatakan "yang kada balampu basua dengan yang kada balampu dalam kekadapan" [yang tidak berlampu bertemu dengan yang tidak berlampu dalam kegelapan]. Bisa dibayangkan apa-bagaimana misalnya dua orang atau dua kendaraan bertabrakan di tengah gelita kelam. Keinginan untuk melakukan debat ide ini sangat kusambut dan kuharapkan, apalagi ketika ekstrimisme masih melanda negeri kita, antara lain seperti yang diperlihatkan oleh tindak kekerasan FPI pada Tragedi Monas, 1 Juni lalu, tindak yang agaknya memperlihatkan ketiadaan toleransi untuk hidup bersama dalam kemajemukan, Tindak kekerasan ini berangkat dari satu pola pikir sektarisme yang tidak rasuk dengan nilai-nilai republiken dan berkindonesiaan. Sektarisme adalah ujud dari pikiran tunggal [la pensée unique], bentuk dari pendekatan subyektif hitam-putih. Debat ide adalah salahsatu bentuk dialog, betapa pun tajamnya dialog itu berlangsung tapi tidak akan setajam kekerasan fisik. Untuk debat ide yang serius, diperlukan kemampuan mendengar, kemampuan memberikan tempat bagi kebenaran betapa pun kecilnya bagi patner debat ide, dan menggunakan argumen, bukan dengan tuduhan atau tudingan yang melupakan dan sengaja tidak menyertakan bukti lapangan, terutama bukti lapangan lokal. Dalam debat ide, pribadi tidak semestinya dijadikan sasaran. Dalam debat ide, argumen dan data menjadi penting sekali karena yang dikejar debat ide adalah kebenaran. Mencari kebenaran dari kenyataan. Dengan data dan argumen yang dibangun atas dasar data serta bacaan seimbang, sekali lagi bukan dengan dengan sikap mutlak-mutlakan hitam putih, kukira rekonsiliasi akan bisa tercapai. Mutlak-mutlakan hitam putih sama dengan sektarisme, menuntut ketunggalan dialur la pensée unique dan menolak kemajemukan sedangkan kehidupan masyarakat selalu majemuk di mana pun serta kapan pun. Mutlak-mutlakan tidak memungkinkan kita hidup berdampingan dengan perbedaan. Kukira dalam debat ide, akan lebih baik jika kita menangkap hakekat argumen dan inti pikiran, serta latar sejarah dan pikiran patner debat, dan bukan dengan mengambil jalan pintas "mual" atau "Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak ada gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an tujuh setan desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis birokrat dan seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya tercengang. Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme yang berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan". Maaf. Apakah ucapan seperti ini merupakan argumen dalam debat ide yang serius? Terkesan padaku bahwa kata-kata Saudara Taufiq Ismail di atas lebih dekat pada membodoh-bodohkan Pram sebagai tidak mempunyai pengetahuan apa pun tentang Marxisme-Leninisme. Pengetahuan Pram "dapat diukur dengan jengkal tangan kanan". Sikap merasa diri lebih hebat begini bisa saja kuabaikan sebagai soal penghabisan yang dikemukakan. Bahkan bisa tidak perlu diindahkan.Atau bisa dilihat sebagai satu ilustrasi atau vignette . Sebagai ilustrasi juga, izinkan aku bercerita sepintas tentang apa yang kusaksikan di Perancis dan negeri-negeri yang pernah kusinggahi di berbagai benua sebagai orang yang terpaksa terpelanting di rantau panjang tak menentu. Selama aku sekolah di Perancis, atau di Republik Rakyat Tiongkok, atau negeri-negeri lain, tak pernah aku mendengar siapa pun, yang berani mengatakan dirinya paling tahu Marxisme-Leninisme, sementara penggunaan istilah terhadap yang dikritik pun tidak lebih dari pinjaman dari literatur tidak dari negeri asalnya. Yang mengerti dan belajar banyak tentang Marxisme dan sejenisnya, tidak pernah kudengar mengatakan diri dengan pongah, bahwa dirinya sangat dan paling mengerti Marxisme. Althusser sendiri tidak menyebut dirinya ahli Marxisme-Leninisme walau pun ia mengajukan pandangan-pandangannya sendiri. Demikian juga George Lukacs, Milovan Djilas, Sartre, Camus, Chen Po-da, Truong Chin, Le Duan, dan lain-lain .... Baru ini kudengar ada orang yang dengan tanpa ragu mengatakan bahwa dirinya sangat tahu Marxisme-Leninisme sehingga dengan pengetahuan demikian ia berani mengatakan bahwa pengetahuan Pram tentang Marxisme-Leninisme "bisa diukur dengan jengkal tangan kanan". Bayanganku melukiskan bahwa dengan pengetahuan Marxisme demikian hebat dan tinggi serta kebolehan-kebolehan lain yang dimiliki oleh Saudara Taufiq Ismail, pasti Pram dengan pengetahuan yang hanya "bisa diukur dengan jengkal tangan kanan"akan keteter dalam diskusi. Masalah menyiapkan diri "dengan literatur baru untuk diskusi", izinkan aku bercerita sedikit tentang bagaimana anggota-anggota Lekra meningkatkan pemahaman mereka tentang sastra-seni, politik, filsafat kesenian, dan sejarah, sekedar untuk pengetahuan. Dari tingkat cabang hingga daerah, secara teratur menyelenggarakan sekolah-sekolah Lekra. Untuk meningkatkan taraf masing-masing juga maka saban habis suatu kegiatan seslalu diadakan diskusi penyimpulan. Sementara itu, buku, koran, majalah, selalu mengisi saku mereka untuk sewaktu-waktu dibaca saban ada waktu senggang. Dengan ini yang ingin kukatakan bahwa belajar dan keniscayaan belajar sangat disadari oleh anggota-anggota Lekra. [Lebih rinci, lihat: JJ. Kusni "Aku Dikutuk Jadi Laut", Penerbit Syarikat Indonesia, Yogyakarta, April 2007]. Jika ada soal-soal penting seperti Manifes Kebudayaan pasti juga segera didiskusikan bersama. Jika demikian, mungkinkah orang-orang Lekra, dari segala usia, tampil di depan publik tanpa persiapan? Waktu diskusi tentang filem "Tikus Pada Pasir" -- cerita tentang Jenderal Rommel -- di Yogya dengan Jusaac AR dari Harian Kedaulatan Rakyat, kemudian menjadi penyiar Radio Australia, Drs. Soenardi -- dosen Fakultas Psikhologi Universitas Gadjah Mada, pimpinan Lekra Jawa Tengah, hilang pada Tragedi Nasional September 1965, yang mewakili Lekra tampil dengan dengan segombok buku acuan. Demikian juga Buyung Saleh, Prof. Bakri Siregar , dan lain-lain selalu mencoba tampil tidak asal-asalan dalam diskusi publik atau intern mana pun. Juga ketika memberi ceramah di Fakultas Sastra Yogyakarta zaman Bu Baroroch jadi dekannya. Aku tidak tahu, bagaimana Pram tampil dalam diskusi dengan Saudara Taufiq Ismail waktu di Universitas Indonesia. Yang kutahu pasti ketika kami tampil bersama di TIM Jakarta 13 Agustus 2005, di mana Pram memberikan orasi budaya bertemakan "Kekuasaan Dan Sastra". Barangkali ini kemunculan terakhir Pram. Ketika mendengar Pram, aku tidak mempunyai kesan bahwa Pram tidak berpengetahuan apa pun tentang Marxisme-Leninisme, apalagi jika membaca tulisan-tulisannya tentang realisme sosialis misalnya. Mungkin kesanku keliru tentang Pram walaupun benar aku tidak sepenuhnya setuju dengan semua yang ia ucapkan misalnya di TIM Jakarta 13 Agustus 2005, misalnya tentang dendamnya pada militer. Sementara aku membedakan antara militer dan militerisme. Sayang, Saudara Taufiq Ismail tidak hadir dalam acara 13 Agustus 2005 ini. Hal lain yang menarik perhatianku dari alinea ketiga dan keempat respons bagian pertama Saudara Taufiq Ismail kepadaku adalah kata-kata berikut: "Ternyata Lekra tak berhasil menjadikannya komunis. Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai mana pun. Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB (Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini." Kalau pemahamanku benar, maka pendapat Saudara Taufiq Ismail di sini rada kontradiktif. Di mana letak kontradiktifnya kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail ini? Di satu pihak, Saudara Taufiq Ismail mengatakan bahwa "Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai mana pun", tapi dalam alinea yang sama, Saudara Taufiq Ismail mengatakan bahwa "Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB (Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini." Pertanyaannya: Bagaimana seorang Pramis, yang "terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuik jadi pion partai mana pun", khoq PKI berhasil mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia? Apakah aku yang tidak cukup kemampuan berbahasa Indonesia sehingga memahami kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail saling bertentangan isinya dan argumennya? Tentang hal ini, aku mengharapkan penjelasan tenang dari Saudara Taufiq Ismail. Ketika melecehkan Pram dengan kata-kata di atas, terkesan padaku, paling tidak, bahwa antara Pram dan Saudara Taufiq Ismail sulit berlangsung suatu debat ide yang sehat. Jika berkata secara umum, maka aku memang masih berkesan bahwa debat ide di negeri kita masih sulit, ketika cara pandang hitam putih, mutlak-mutlakan dan pikiran tunggal [la pensée unique] masih ingin diterapkan. Apalagi kritik dianggap setara dengan cerca dan meludahi muka orang lain -- tanda bahwa republik dan Indonesia memang mimpi yang sedang menjadi. Otokritik masih merupakan hal yang sangat langka untuk tidak mengatakannya ditabukan. Apakah gerangan yang bisa didapatkan dari pola pikir hitam-putih dan mutlak-mutlakan, kecuali kekerasan dan penindasan. Dari hari ke hari kita menyaksikan ujudnya dalam kenyataan sebagai hasil dari pola pikir "la pensée unique" ini. La pensée unique sesungguhnya suatu penyakit berbahaya. Apakah aku salah lihat? Jika demikian, aku akan senang dan sangat berterimakasih jika Saudara Taufiq Ismail mau mengkoreksi kesalahanku. Saling koreksi dan mengkoreksi diri berangkat dari sikap yang oleh orang Jawa: saling asih, saling asah dan saling asuh", barangkali merupakan jalaran tidak kecil artinya, jika kita serius ingin berkonsialisasi, hidup dalam kemajemukan dan bukan memusnahkan kemajemukan atas dasar pikiran "la pensée unique" [pikiran tunggal]. Benarkah demikian?*** Paris, Mei 2008 ---------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. [Bersambung .....] --------------------------------- Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel [Non-text portions of this message have been removed]