Jurnal Sairara: Kepada Saudara Taufiq Ismail 12. BEBERAPA PERTANYAAN "Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000), tulis Saudara Taufiq Ismail pada alinea kelima respon bagian pertamanya. Dan aku masih mau melanjutkan komentarku atas alinea ini terutama dan pertama- tama dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: "Perang saudara" [tentu saja perang selalu "berdarah-darah". Kiranya tak ada perang yang tak berdarah!] . Dalam konteks Indonesia, "perang saudara" mana gerangan yang Saudara Taufiq mau tunjukkan? Apakah Tragedi September 1965 yang menurut Jenderal Sarwo Eddie menelan korban kurang lebih 3 juta nyawa orang PKI dan non PKI , 500.000 angka resmi, merupakan suatu "perang saudara" atau pembantaian? Masalah Tragedi September 1965 yang berdampak sampai sekarang, dengan banyak terbitnya buku-buku alternatif, dalam pengertian buku-buku yang isinya berbeda dengan versi Orde Baru, serperti tulisan Prof. Dr. W.F.Wertheim, Ben Anderson, Ruth McVey , atau tulisan John Roosa, serta yang dipandang sebagai terlibat atau menjadi korban , seperti Letkol Penerbang Heru Atmodjo, Kol. A. Latief, Omat Dhani, Soebandrio, Oei Tjoe-tat, Hersri Setiawan, untuk sekedar menyebut beberapa nama saja, masalah Tragedi September 1965 masih jauh dari selesai. Paling tidak masih penuh tanda tanya? Bahkan Ali Sadikin alm. dalam sebuah seminar di kalangan militer, mengatakan yang menjadi penyulut Tragedi September 1965 bukanlah PKI. Dalam hal ini aku kira selayaknya kita tidak menggunakan pendekatan simplistis , karena itu apakah tidak akan lebih baik jika Saudara Taufiq Ismail dalam soal ini berbicara agak persis, dan tentu saja akan lebih baik lagi apa yang telah diucapkan atau ditulis itu disertai dengan sekedar keterangan serta data dalam usaha bersama merekonstruksi sejarah negeri dan bangsa kita yang oleh sejarawan Asvi Warman Adam dari LIPI perlu "diluruskan". Berkelebihankah harapan ini? Saudara Taufiq Ismail menulis: "Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. " Pertanyaanku: Untuk berbicara kongkret, mari kita ambil kasus Republik Rakyat Tiongkok [RRT] yang sampai sekarang masih dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok. RRT dari segi politik , militer , apalagi ekonomi , suka atau tidak suka , sudah merupakan kekuatan mendunia. Aku ingin tahu bagaimana Saudara Taufiq Ismail memandang masalah perkembangan RRT dilihat dari sudut pandangnya bahwa : Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya". Dalam konteks RRT yang berpenduduk satu miliard lebih, apakah apakah Saudara Taufiq Ismail bisa menawarkan alternatif terbaik lain dari yang sedang dilakukan sekarang bagi RRT dan kemudian alternatif apa untuk Indonesia? Untuk sampai ke jalan yang ditempuh sekarang, RRT dan PKT pun harus melalui jalan yang sangat berliku. Mao Zedong dan Chou En-lain memang sejak awal mengajukan ide keniscayaan melakukan Empat Modernisasi untuk agar sosialisme bisa nyata memperlihatkan keunggulan nyatanyaa dibandingkan dengan kapitalisme. Tapi ide ini tertunda pelaksanaannya karena pertarungan intern sengit di kalangan PKT, terutama, dan memuncak dengan meletusnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar pada tahaun 1965an. Capaian RRT sekarang, dengan segala kekurangannya barangkali baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Tiongkok hingga sekarang. Apakah anjuran "Menjadilah kaya!" , salah satu anjuran Partai Komunis Tiongkok [PKT] kepada rakyat Tiongkok bertentangan dengan Marxisme. Marxisme tidak ada gunanya tidak bisa menyejahterakan dan memberi ketenteraman bagi rakyatnya. "Kucing hitam atau putih tidak menjadi penting asal bisa menangkap tikus", ujar Deng Xiaoping. Apakah capaian RRT yang demikian, dan tentu saja tidak dipisahkan dari peran PKT, merupakan petunjuk bahwa "Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya". Ah, masalah ini akan menjadi pembicaraan panjang jika dimasuki lebih jauh dan akan menyimpang dari tema rekonsiliasi. Kalimat-kalimat ini kutulis untuk menanggap kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail dalam mengantar sarannya tentang "perdamaian total". Jadi kukira, aku masih berada di dalam alur konteks. Dalam konteks ini pulalah maka aku sungguh-sungguh ingin mendengar gagasan alternatif Saudara Taufiq Ismail untuk RRT dan lebih-lebih untuk Indonesia yang pasti bukanlah Marxisme. Mudah-mudahan tawaran konsepsional Saudara Taufiq Ismail tidak membuat Saudara Taufiq berkata: "Aku Malu Menjadi Indonesia". Sedangkan aku, apa pun keadaan negeri dan bangsa ini, betapa pun amburadulnya, aku tetap melihat bahwa Indonesia masih menjadi tempat di mana kita bisa berharap. "Indonesia adalah sebuah cita-cita", tulis Goenawan Mohamad. Apakah capaian RRT sekarang merupakan suatu bukti "lancung keujian" dari Marxisme ataukah sebaliknya? Secara jalan pintas , jawaban paling mudah adalah mengatakan bahwa hasil yang dicapai oleh RRT sekarang bukanlah hasil dari Marxisme tapi hasil varian dari jalan kapitalisme. Jika demikian, lalu apakah arti materialisme , dialektika dan historis [MDH] yang merupakan sari dari Marxisme menurut Saudara Taufiq Ismail? Aku ingin bertanya kepada Saudara Taufiq Ismail, yang mengesankan diri sebagai ahli Marxisme, bagaimana beliau memandang keruntuhan rezim sosialis di Uni Soviet dan Eropa Timur dari segi MDH? Bagaimana Saudara Taufiq menjelaskan kasus Kuba dan Fidel Castro yang mundur dengan sukarela dan tidak tergulingkan serta dibela mati-matian oleh Madame Danielle Mitterrand sebagai sama sekali bukan diktator, dan dibela oleh rakyat Kuba , dari sudut pandang beliau di atas? Karena Saudara Taufiq Ismail yang umum dikenal sebagai salah seorang pendukung getol Orba, apakah sistem Orba merupakan konsep tawaran tunggal ideal bagi Saudara Taufiq Ismail? Yang aku tanyakan pada Saudara Taufiq Ismail sesuai dengan pernyataan beliau di atas, tidak lain dari pertanyaan yang bersifat wacana. Dari segi wacana ini pula maka aku tanyakan kepada Saudara Taufiq Ismail bagaimana beliau menjelaskan keadaan tanahair dan bangsa setelah Soeharto dipaksa turun dari kursi kepresidenan? Kalau dahulu Saudara Taufiq Ismail membela Orba secara habis-habisan, kemudian berbalik mencercanya [hal yang wajar jika orang bisa berobah pandangan dan sikap], dicerca, lalu apa yang Saudara tawarkan kepada bangsa ini sebagai solusi alternatif? Dan tentu saja tawaran alternatif itu bukanlah Marxisme. Tapi justru hal demikian sangat baik dan patut dikaji. Sebab Marxisme pun kukira bukanlah barang lengkap dan tinggal pakai. Disamping keniscayaan melakukan riset, untuk mengenal kebenaran dari kenyataan, Mao Zedong misalnya menekankan arti pentingnya keniscayaan mendengar orang lain. Keniscayaan yang ia ungkapkan dalam kata-kata: "Yang berbicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada". "Waspada" artinya bersikap kritis. Untuk menegaskan keniscayaan mendengar orang lain ini, dalam artikel-artikelnya "Mengabdi Rakyat" dan "Belajar dari Norman Bethune", Mao Zedong menulis "Li Ting-ming pun patut didengar pendapatnya". Li Ting-ming adalah nama dari seorang tuantanah besar di Tiongkok sebelum RRT diproklamirkan. Apalagi cendekiawan dan sastrawan besar seperti Saudara Taufiq Ismail sungguh sangat layak diminta, diharapkan dan didengar pendapat dan saran-sarannya. Soal lain yang masih ingin kukomentari dalam alinea ke lima ini adalah pernyataan Saudara Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa "Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 juta manusia di 76 negara". Marxisme, juga Leninisme dan Fikiran Mao Zedong, dari istilah isme saja kita segera mengetahuinya adalah suatu isme. Sebuah paham, metode berpikir dan menganalisa, terutama keadaan masyarakat, dengan menggunakan yang disebut MDH [materialisme dialektika historis] yang benihnya sudah ada jauh sejak Heraclitus, zaman Yunani Kuno dan terdapat juga pada masyrakat berbagai pulau kita [Nampak jika kita menelaah karya-karya sastra lisan dan tulisan lama seperti pantun, gurindam, sansana kayau orang Dayak, dan lain-lain...]. Sadar akan keadaan ini maka Karl Marx tidak pernah mengatakan bahwa ia adalah penemu isme yang kemudian disebut Marxisme. Ia hanya mengakui bahwa ia telah membalikkan saja apa yang sudah ada, seperti pendapat Hegel, misalnya. Sedangkan Mao Zedong banyak menyerap khazanah budaya dan pemikiran rakyat Tiongkok yang terbentuk semenjak berabad-abad dari dinasti ke dinasti. Pertanyaanku: Apakah benar isme itu, termasuk Marxisme-Leninisme " buas-ganas-barbar-haus darah", dan bisa "membantai 120 juta manusia di 76 negara"? Padahal isme itu adalah suatu metode berpikir dan menganalisa. Cara melihat masalah. Sebuah konsep integral tentang kehidupan dan masyarakat. Yang bisa membunuh, yang bisa membantai, yang menteror sesama itu adalah orang. Manusia yang menganut isme itu. Bukan isme itu sendiri. Sedangkan pemahaman orang, yang mengira dan merasa dirinya penganut isme tertentu, sangat relatif. Gradual . Dan hal ini bukan hanya terjadi terhadap Marxisme. Contoh: pemahaman Polpot dan Mao Zedong berbeda. Juga pemahaman Togliati dan atau Gramsci berbeda pula dengan Ho Chi-minh atau Maurice Thorez atau George Marchais, Rosa Luxemburg, Ibarurri, atau Zdhanov, atau Che Guevara, dan lain-lain.... Tingkat pemahaman penganut suatu isme akan berpengaruh besar dan langsung pada tindakan dan kebijakan jika penganut isme itu berada pada posisi kunci. Penganut isme inilah, sesuai dengan tingkat pemahaman atau tafsirannya, yang bisa melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi. Bukan isme itu sendiri. Isme itu dinamik. Isme adalah ide. Perbedaan pendapat di lingkungan suatu isme, perenungan dan pengkoreksian diri ini terjadi bukan hanya di lingkup keluarga kaum Marxis tetapi juga terjadi di lingkunga para penganaut agama. Pemisahan diri Marthin Luther, tapa usah menderetkan banyak contoh kekinian, kiranya tidak lain dari ujud perbedaan-perbedaan ini. Dan tentu saja Saudara Taufiq Ismail akan gampang memberikan banyak contoh di Indonesia sendiri. Sedangkan mengenai masalah "buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai", kiranya sejarah dunia dan sejarah negeri dan bangsa kita sendiri menyediakan banyak contoh bahwa hal demikian, dilakukan bukan hanya oleh yang menyebut diri Marxis, tetapi juga dilakukan oleh pihak-pihak lain tanpa kecuali. Tentang jumlah korban? Banyak sejarawan berbagai negeri sudah menulis tentang hal ini. Jumlah korban yang jatuh, memang tidak dilupakan, tapi barangkali jumlah korban ini pula niscayanya mendorong masing-masing belajar, membaca ulang dengan cermat sejarah negeri dan bangsa serta sejarah dunia agar kita tidak menjadi sejenis keledai yang bolak-balik tersandung di batu serupa. Karena itu , kukira, peringatan Bung Karno agar kita "sekali-kali jangan melupakan sejarah" masih kuanggap relevan untuk kita hari ini, apalagi pada saat kita berusaha merekonstruksi sejarah bangsa dan negeri seilmiah mungkin. Rekonsiliasi, apalagi "perdamaian total" , barangkali memerlukan sikap ini, dan sekali lagi niscayanya rekonsialiasi yang berjalan dengan dua kaki: dari atas dan bawah. Bagaimana pendapat Saudara Taufiq Ismail? Apa yang Saudara sudah dan akan Saudara lakukan ke arah ini, ke arah "perdamaian total"? ". Membaca alinea kelima Saudara Taufiq Ismail ini, terkesan padaku bahwa rasa dendam masih kuat pada Saudara Taufiq Ismail sambil mengatakan dan menyerukan "perdamaian total" dan "buang dendam". Benarkah demikian? Ooo, mudah-mudahan kesanku ini salah total. Maaf, jika kesan ini salah. Dan aku bersyukur jika aku salah. Batu balah batu batangkup", ujar lirik sebuah lagu Melayu Kalimantan Barat, yang kudengar melalui sebuah kaset pemberian syohibku dari Pontianak. Negeri dan bangsa kita yang tabalah, diancam ketabalahan, apakah bukan kita-kita juga yang membuatnya batangkup di sebuah cita-cita bernama Indonesia? Sekedar pertanyaan.*** Paris, Mei 2008
---------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. ______________________________________________________________________ Search, browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel. http://sg.travel.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]