---------- Forwarded message ----------
From: awind <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Jun 15, 2008 3:45 PM
Subject: [nasional-list] Kebangkitan Kekerasan?
To: [EMAIL PROTECTED]

   *Beranikah kita dengan jujur mengemukakan kapan sebetulnya kekerasan
dididik oleh penguasa NKRI ini? Bukankah kekerasan yang berlangsung sekarang
ini tidak lepas dari pendidikan kekerasan yang diberikan oleh penguasa itu
sendiri? Orang bilang guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kekerasan
akan terus saja terjadi selama lembaran hitam NKRI ini tidak mau dibuat
terang. Untuk itu kita harus berani memulai dan mengoreksi bahwa sejak pak
Harto/ORBA mendongkel BK kekerasan dan kebohongan mulai ditanamkan di
seluruh wilayah NKRI ini. Baik itu lewat radio, pendidikan sekolah, media
masa maupun tayangan tv. Untuk memulainya ada baiknya bila kita mengajukan
masalahnya lewat berita-berita yang disiarkan oleh koran Angkatan Bersenjata
setelah apa yang disebut G30S. Jika kita bisa mendapatkan koran-koran
tersebut kita akan bisa belajar kenapa kekerasan dan kebohongan itu dibuat
oleh pak Harto/ORBA, dengan demikian kita bisa menghindari atau mengurangi
kekerasan dan kebohongan di kemudian hari.*

http://www.kr.co.id/web/detail.php?id=1671078&actmenu=45

  ANALISIS : Kebangkitan Kekerasan? ===> Oleh : Prof Suyanto PhD  14/06/2008
08:25:36 *KEBANGKITAN* Nasional telah usai diperingati dan dikenang dengan
berbagai cara dan moda. Kita mengenangnya sebagai sebuah gerakan patriotik
Bangsa Indonesia. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya makna ideal pada gerakan
Kebangkitan Nasional Indonesia yang lahir seabad silam itu? Haruskah
kebangkitan nasional kemudian diubah menjadi kebangkitan kekerasan seperti
apa yang terjadi di Monas baru-baru ini?
Seharusnya tidak. Tetapi nyatanya terjadi di berbagai daerah di republik
ini, seolah-olah secara berjamaah, berbagai tindak kekerasan, pengingkaran,
penghujatan, atau konflik-konflik horizontal sudah menjadi mode kehidupan.
Mungkin kita perlu bernostalgia, mengalami eforia, merenungkan kembali
peristiwa-peristiwa genting masa lampau untuk bisa memaknai kembali arti
sebuah kebangkitan tanpa kekerasan. Jika demikian, sungguh sebuah kerja yang
melelahkan.
Pendidikan, harus mampu menjadi landasan perubahan untuk memacu pertumbuhan
kualitas anak-anak bangsa. Kualitas dalam konteks ini adalah yang berskala
global. Dengan demikian perilaku kita secara kolektif bisa mencerminkan
sebuah bangsa yang menghargai hukum, adat kebiasaan yang santun, memahami
adanya pluralitas yang sejak awal memang telah menjadi kurikulum wajib yang
telah didesain oleh Sang Kholiq, pencipta semesta alam ini. Apa jadinya
kalau dunia ini tidak ditakdirkan memiliki keanekaragaman kehidupan. Tentu
banyak orang yang frustrasi dalam mengarungi kehidupannya.
Itulah sebabnya misi penting dalam pendidikan salah satunya ialah membangun
kesadaran akan pentingnya keberbedaan dalam pluralitas kehidupan, termasuk
di dalamnya kebebasan untuk memilih keyakinan dengan menghormati keyakinan
orang lain secara proporsional. Pada akhirnya pendidikan harus bisa menjadi
katalisator bagi setiap upaya untuk menuju keadaan yang damai dan anti
kekerasan. Dengan demikian juga meredam munculnya 'kebangkitan kekerasan'.
Oleh karena itu, pendidikan kita harus mampu menihilkan munculnya ideologi
dan pemikiran yang memiliki fenomena bangkitnya kekerasan dalam berbagai
bentuk harus dihentikan. Pendidikan harus mampu mengeliminir konflik-konflik
kepentingan yang menyebabkan munculnya ketimpangan dalam penguasaan
pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks yang lebih spesifik, pendidikan harus mampu memberi arah yang
lebih nyata, dan pada gilirannya mampu menjadi pencerah semangat kebangsaan
untuk membebaskan diri dari jerat berbagai pertarungan kepentingan.
Pendidikan harus mampu berdiri bebas sebagai filter dalam menghadapi
berbagai pengaruh-pengaruh ideologi negatif dari luar yang penuh 'jebakan'.
Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi terbesar ketiga yang kaya dengan
nilai-nilai peradaban, sudah seharusnya menjadi trend setter perubahan
peradaban. Sebagai trend setter perubahan maka toleransi dan transparansi
selayaknya berkembang lebih subur. Dengan demikian, dalam semangat yang
toleran tersebut maka pengembangan kualitas sumberdaya manusia melalui
sektor pendidikan dapat dilakukan secara tepat, terarah, dan terencana.
Dengan demikian 'kebangkitan kekerasan' dalam berbagai manifestasinya dapat
dicegah.
Konflik-konflik horizontal yang terjadi belakangan, seperti konflik SARA,
kekerasan Monas, maupun konflik politik yang terjadi secara sporadik
merupakan contoh buruk dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu pendidikan perlu didesain bagaikan 'anti biotiknya' infeksi
budaya kebangkitan kekerasan. Karena kalau tidak segera ditangani melalui
praksis pendidikan yang tepat dosis akan menjadi penyakit sosial yang
mengerikan. Untuk itu, semangat perubahan yang menjadi ideologi pembangunan
pendidikan dan peradaban dunia harus benar-benar menjadi lambang dan
sekaligus sebagai praktik kebebasan mengembangkan potensi anak-anak bangsa
menuju terbentuknya insan yang menghargai perbedaan antar sesama, toleran
terhadap keunikan orang lain, tidak terkaget-kaget dengan keberhasilan orang
lain, dan sebaliknya memiliki empati yang tulus terhadap berbagai
keterbelakangan dan kekumuhan yang menimpa orang atau kelompok lain.
'Kebangkitan kekerasan' harus kita hadapi secara sadar dan rasional.
Pendidik harus mulai secara terintegrasi memasukkan nilai-nilai perdamaian,
toleransi, simpati, empati, pada mata pelajaran yang diampunya. Dengan cara
seperti ini kita bisa berharap sepuluh tahun ke depan anak-anak kita akan
memiliki sikap yang otonom terhadap berbagai tawaran dan jualan perilaku
yang merupakan simbolisasi dari suatu kekerasan.
Di dalam konteks pembangunan pendidikan secara makro, nilai-nilai pluralisme
yang dikembangkan melalui pendidikan multi-kultural perlu dijadikan ideologi
penting bagi pengembangan pendidikan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk
melebur nilai-nilai primordialisme yang seringkali berkembang menjadi
benih-benih 'kebangkitan kekerasan'. Penguatan nilai multi-kultural, dengan
demikian, diharapkan dapat membangun semangat nasionalisme Indonesia yang
majemuk. Dalam kemajemukan itulah nasionalisme harus tumbuh dan berkembang
mengantar bangsa ini ke peradaban yang santun. *(Penulis adalah Guru Besar
Universitas Negeri Yogyakarta, Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas*




[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to