"Atas  nama kebebasan, ajaran Islam boleh dipalsukan, Al-Quran boleh
diacak-acak. Dan untuk semua itu, umat Islam diminta toleran dan 
tidak  emosi."

Tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang Islam dan 
tentang al-Mushaf...

Mau bilang Islam itu jelek kek.

Mau bilagn Islam itu beringas kek.

Dan orang Islam juga tidak ada kewajiban untuk percaya kepada omongan 
orang tentang Islam dan al-Mushaf itu.

Kalau mau tiap orang Islam juga bisa menmbantah pendapat orang itu 
lalu menyerahkan kepada masing-masing pendengar untuk menentukan 
sikap.

Yang mau setuju dengan kritik silahkansetuju.

Yang tidak setuju juga tidak ada paksaan untuk setujku.

Kemajuan dalam berfikir hanya bisa tercapai bila semua pendapat bisa 
dengan bebas disampaikan dan semua argumen bisa dikemukakan.

Masaalah dengan Islam adalah bahwa orang Islam tidak biasa dengan  
freeom of speech dan menganggap tiap kritik, tiap pendapat yang beda 
dengan pendapatnya sebagai serangan terhadap Islam.

Daan merasa diserang lantas ada yang bikin onar dan melakukan 
kejahatan, seperti yagn dilakukan FPI.  

Belajarlah dari orang Nasrani yang telah lama mengenal freedom of 
speech, makanya pemahaman ajaran agama ituoleh BVatikandan gereja 
anggota WCC jauh lebih manusiawi dari pemahaman ajaran Islam yang 
tetap terkebelakang dan beringas.


--- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=7053&Itemid=1
> “Demi Kebebasan, Membela Kebathilan!”      
> Minggu, 15 Juni 2008  
> Atas
> nama kebebasan, ajaran Islam boleh dipalsukan, Al-Quran boleh
> diacak-acak. Dan untuk semua itu, umat Islam diminta toleran dan 
tidak
> emosi. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-238
> Oleh: Adian Husaini
> Masih ingat Lia Eden?  Dia mendakwahkan dirinya sebagai Jibril 
Ruhul Kudus. Lia, yang mengaku mendapat wahyu dari Allah, pada 25 
November 2007, berkirim suratkepada sejumlah pejabat negara. Kepada 
Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim suratyang bernada 
amarah. ”Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut
> nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan 
kewenangan
> Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku,” tulis Lia dalam 
suratberkop ”God’s Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden”. 
> Jadi, mungkin hanya ada di Indonesia, ”Malaikat Jibril” 
berkirim suratlengkap dengan kop suratdan tanda tangannya, serta 
”berganti tugas” sebagai ”pencabut nyawa.
> Maka, saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan 
tegas menyatakan, ”Itu sesat.”  Mengaku
> dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah 
mendapat
> wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah
> tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi.  (Kata Nabi 
saw: ”Barangsiapa
> diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. 
Jika
> tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan
> itulah selemah-lemah iman”). 
> Ada
> sejumlah fatwa yang telah dikeluarkan MUI tentang aliran sesat ini.
> Ahmadiyah dinyatakan sesat sejak tahun 1980. Pada tahun 2005, keluar
> juga fatwa MUI yang menyatakan bahwa paham Sekularisme, Pluralisme
> Agama dan Liberalisme, bertentangan dengan Islam dan haram umat 
Islam
> memeluknya. Tugas ulama, sejak dulu, memang memberikan fatwa. Tugas
> ulama adalah menunjukkan mana yang sesat dan mana yang tidak; mana 
yang
> haq dan mana yang bathil. 
> Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat 
terhadap kelompok-kelompok seperti  Lia
> Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang 
bilang
> MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di IAIN Semarang
> menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil 
Tuhan.”
> Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP
> Provokator.” Seorang staf dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak 
Asasi
> Manusia Indonesia (PBHI), dalam wawancaranya dengan jurnal keagamaan
> ini menyatakan,  bahwa:
> ”MUI
> kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan 
mendapatkan
> legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini
> sesat. Padahal, dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. 
Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.”  Ketika ia 
ditanya, ”Menurut Anda, Sekarang MUI mau diapakan?” dia jawab: 
”Ya paling ideal dibubarkan.” (Jurnal Justisia, edisi 28 Th.XIII, 
2005)
>  
> Majalah ADIL (edisi 29/II/24 Januari-20 Februari 2008), memuat 
wawancara dengan Abdurrahman Wahid (AW):
> Adil: Apa alasan Gus Dur menyatakan MUI harus dibubarkan?
> AW:
> Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu 
menjamin
> kebebasan mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara..
> Adil: Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang 
isinya begitu gamblang itu?
> AW: Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. 
Mereka hanya melihat Islam itu sebatas institusi saja. Padahal Islam 
itu adalah ajaran. 
> Adil: Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam 
sempalan itu?
> AW: Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu.
> Perlu
> dicatat, bahwa Ketua Umum MUI saat ini adalah K.H. Sahal Mahfudz 
yang
> juga Rais Am PBNU. Wakil Ketua Umumnya adalah Din Syamsuddin, yang 
juga
> ketua PP Muhammadiyah. Hingga kini, salah satu ketua MUI yang sangat
> vokal dalam menyuarakan kesesatan Ahmadiyah dan sebagainya adalah KH
> Ma’ruf Amin yang juga salah satu ulama NU terkemuka. 
> Sejak keluarnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan paham Sepilis tahun
> 2005, berbagai kelompok juga telah datang ke Komnas HAM, menuntut
> pembubaran MUI. Salah satunya adalah Kontras, yang kini dikomandani
> oleh Asmara Nababan. Kelompok-kelompok ini selalu mengusung paham
> kebebasan beragama. Puncak aksi mereka dalam aksi dukungan terhadap
> Ahmadiyah dilakukan pada 1 Juni 2008 di kawasan Monas Jakarta, yang
> kemudian berujung bentrokan dengan massa Islam yang berdemonstrasi 
di
> tempat yang sama. 
> Dasar
> kaum pemuja kebebasan untuk menghujat MUI adalah HAM dan paham
> kebebasan. Bagi kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang
> sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam 
soal
> kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu  pada pasal 18 
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: 
”Setiap
> orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak 
ini
> termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan
> kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain 
dan
> dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan
> keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan
> mengajarkan.” 
> Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak  tahun
> 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi,
> sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk
> membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu
> seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu 
(revealed religion)
> yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam
> banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi
> terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq,
> Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 
’anhum,  mereka
> tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah.
> Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas 
terhadap
> para nabi palsu dan para pengikutnya.  
> Ada batas
> Masalah
> semacam ini sudah sangat jelas, sebagaimana jelasnya ketentuan 
Islam,
> bahwa shalat subuh adalah dua rakaat, zuhur empat rakaat, haji harus
> dilakukan di Tanah Suci, dan sebagainya. Karena itulah, dunia Islam
> tidak pernah berbeda dalam soal kenabian. Begitu juga umat Islam di
> Indonesia. Karena itulah, setiap penafsiran yang menyimpang dari 
ajaran
> pokok Islam, bisa dikatakan sebagai bentuk kesesatan. Meskipun bukan
> negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas 
pemeluk
> Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. 
Sejak
> lama pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih
> memuat pasal-pasal tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang
> sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga ditetapkan untuk menjaga
> agama-agama yang diakui di Indonesia. 
> Bangsa
> mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat
> diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam
> menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor â€" kaum liberal 
atau
> tidak -- tidak bisa berkata kepada polisi, ”Bapak melanggar HAM, 
karena
> memaksa saya mengenakan helm.  Soal kepala saya mau pecah atau 
tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang 
lain.” 
> Namun,
> simaklah, betapa ributnya sebagian kalangan ketika Pemda Sumbar
> mewajibkan siswi-siswi muslimah mengenakan kerudung di sekolah. 
Kalangan non-Muslim juga ikut meributkan masalah ini.  Ketika ada 
pemaksaan untuk mengenakan helm oleh polisi mereka tidak protes. Tapi,
> ketika ada pemaksaan oleh pemeritah untuk mengenakan pakaian yang 
baik,
> seperti mengenakan kerudung, maka mereka protes. Padahal, itu sama-
sama
> menyangkut hak pribadinya. Dalam 1 Korintus 11:5-6 dikatakan:
> ”Tetapi
> tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang 
tidak
> bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang
> dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi 
kepalanya,
> maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi 
perempuan
> adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka
> haruslah ia menudungi kepalanya.” 
> Orang-orang
> Barat, meskipun beragama Kristen, tidak mau mewajibkan kerudung.
> Bahkan, karena pengaruh paham sekularisme, banyak sekolah di Barat 
â€"
> termasuk di Turki â€" yang melarang siswanya mengenakan kerudung. 
Untuk
> itulah mereka kemudian membuat berbagai penafsiran yang  ujung-
ujungnya menghilangkan kewajiban megenakan kerudung bagi wanita. 
> Jadi,
> karena ingin menerapkan paham kebebasan, maka mereka menolak
> aturan-aturan agama. Konsep kebebasan antara Barat dan Islam 
sangatlah
> berbeda. Islam memiliki konsep ”ikhtiyar” yakni, memilih 
diantara yang
> baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sedangkan Barat 
tidak
> punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana 
yang
> buruk. Semua diserahkan kepada dinamika sosial. Perbedaan yang 
mendasar
> ini akan terus menyebabkan terjadinya ”clash of worldview”
> dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep yang 
kontradiktif
> ini tidak bisa dipertemukan. Maka seorang harus menentukan, ia 
memilih
> konsep yang mana. 
> Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah 
membaca novel The Satanic Verses-nya
> Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; misalnya menggambarkan 
sebuah
> komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang
> diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw.  Bagi Islam, ini 
penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, 
pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya
> kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu
> kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa
> dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam.
> Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari 
”kebebasan
> beragama dan berkeyakinan.” Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia 
seni
> adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan
> kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama. 
> Kaum
> liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor
> ”mengganggu orang lain” sebagai batas kebebasan. Seseorang 
beragama apa
> pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa
> pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus
> dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Bagi kaum liberal,
> tidak ada bedanya seorang menjadi ateis atau beriman, orang boleh
> menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis (homo/lesbi), kawin
> dengan binatang, dan sebagainya. Yang penting tidak mengganggu orang
> lain. Maka, dalam sistem politik mereka, suara ulama dengan penjahat
> sama nilainya. 
> Bagi kaum pemuja paham kebebasan,  pelacur yang taat hukum (tidak 
berkeliaran di jalan dan ada ijin praktik) bisa dikatakan berjasa 
bagi kemanusiaan, karena tidak  mengganggu
> orang lain. Bahkan ada yang menganggap berjasa karena menyenangkan
> orang lain. Tidak heran, jika sejumlah aktivis AKKBB, kini sibuk
> berkampanye perlunya perkawinan sesama jenis dilegalkan di 
Indonesia.
> Dalihnya, juga kebebasan melaksanakan perkawinan tanpa memandang
> orientasi seksual. Mereka sering merujuk pada Resolusi Majelis Umum
> 2200A (XXI) tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
> Politik. Maka, tidak heran, jika seorang aktivis liberal seperti 
Musdah
> Mulia membuat pernyataan: ”Seorang lesbian yang bertaqwa akan 
mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”  Juga, ia katakan, bahwa 
”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati 
manusia dan memuliakannya. Tidak
> peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial 
dan
> orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”  
(Jurnal Perempuan, Maret 2008).
> Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu
> tidak! Mereka juga memaksa orang lain untuk menjadi liberal, 
sekular.
> Mereka marah ketika ada daerah yang menerapkan syariah. Mungkin, 
mereka
> akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur aduk 
dengan
> lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang 
negara
> RI burung garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka
> tidak mau terima jika umat Islam tersinggung karena Nabinya
> diperhinakan, Al-Quran diacak-acak, dan ajaran Islam dipalsukan. 
Untuk
> semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,”dewasa”, 
dan tidak
> emosi.  ”Demi kebebasan!”,  kata mereka. 
> Logika
> kelompok liberal seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama
> dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok 
Ahmadiyah
> dengan alasan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah absurd 
dan
> naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah adalah 
persoalan
> aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah
> Ahmadiyah yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
> Karena memandang semua agama sama posisinya, maka mereka tidak bisa
> atau tidak mau membedakan mana yang sesat dan mana yang benar. 
Semuanya,  menurut mereka, harus diperlakukan sama.  
> Cara pandang kaum ”pemuja kebebasan” semacam itulah yang secara 
diametral bertentangan dengan cara pandang Islam.  Islam
> jelas membedakan antara Mu’min dan kafir, antara yang adil dan 
fasiq.
> Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang kafir kuburannya
> dibedakan dari orang Islam. Kaum Muslim diperintahkan, jangan mudah
> percaya pada berita yang dibawa orang fasiq, seperti orang yang 
kacau
> shalat lima waktunya, para pemabok, pezina, pendusta, dan 
sebagainya.
> Jadi, dalam pandangan Islam, manusia memang dibedakan berdasarkan 
takwa
> nya. 
> Jadi,
> itulah cara pandang para pemuja kebebasan. Jika ditelaah, misi 
mereka
> sebenarnya adalah ingin mengecilkan arti agama dan menghapus agama 
dari
> kehidupan manusia. Mereka maunya manusia bebas dari agama dalam
> kehidupan. Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah
> simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama
> seperti Free Mason yang berslogan ”liberty, fraternity, dan 
egality”,
> atau kaum Theosofie yang bersemboyan:“There is no religion higher 
than Truth.”  Jadi, kaum seperti ini punya sandar ”kebenaran 
sendiri” yang mereka klaim berada di atas agama-agama yang ada. 
[Depok, 13 Juni 2008/www.hidayatullah.com]
> Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama 
antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com 
>  ===
> Syiar Islam. Ayo belajar Islam melalui SMS
> 
> 
> Untuk berlangganan ketik: REG SI ke 3252
> 
> 
> Untuk berhenti ketik: UNREG SI kirim ke 3252. Sementara hanya dari 
Telkomsel 
> Informasi selengkapnya ada di http://www.media-islam.or.id atau 
http://syiarislam.wordpress.com
>


Kirim email ke