Indonesia

Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen 
dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”

Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai “Amir” Majelis 
Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. 
Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang 
dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.

Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. 
Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel 
pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan 
Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.

Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh 
dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah 
sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, 
bahkan mengecam Kepala Negara.

Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan 
hati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati 
dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak 
boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena 
dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk 
membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu 
pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada 
hakim, jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis 
ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun.  Keadilan yang sebenarnya tak di 
tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya 
kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna 
yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata 
lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman 
membentuk, dan dibentuk,  sebuah etika kedaifan.

Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai 
di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak 
dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang 
tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik 
mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca 
sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh 
orang-orang Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak 
bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan 
Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. 
Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik 
antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, 
sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara 
berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita 
menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri 
paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau 
agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut 
“bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.

Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan 
meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda 
untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi 
ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--dengan 
mengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementara 
kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.

Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.

Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulah 
yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah 
dan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan 
itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi 
lokal, “gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan 
disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: 
“gotong-royong” itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang 
“kekeluargaan”.

Artinya, “gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan 
prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan 
primordial, ikatan “kekeluargaan”. Sebab, ada tujuan yang universal, yang 
bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--“yang kaya dan yang tidak 
kaya,” kata Bung Karno, “yang Islam dan yang Kristen”, “yang bukan 
Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, 
sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama 
Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara 
Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno 
sebagai “egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah 
air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. 
Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara 
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya 
dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan 
Ba’asyir. Ataukah bagi  Saudara ia tak punya arti apa-apa?

Goenawan Mohamad


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke