intelektual koq hobi mencatut, skolahnye dimane siy? 

HAMKA TANPA HAQ
oleh: Akmal

assalaamu’alaikum wr. wb.


 
Jaman sekarang ini, salah sebut nama bisa berakibat fatal.  Dua nama yang 
persis sama bisa dipersepsikan dengan cara yang amat berbeda.  Bagi sebagian 
besar umat Islam, nama Imam al-Ghazali identik dengan Ihya’ ‘Ulumuddin, 
pendidikan, aqidah yang lurus, dan hal-hal baik lainnya, meskipun sebagai 
manusia beliau pun pasti punya kekurangan.  Akan
tetapi jika Anda bertanya pada Zainun Kamal (salah satu dosen beraliran
UIN ultra-liberalis), maka al-Ghazali adalah salah satu oknum yang
paling bertanggung jawab atas kejumudan umat masa kini, dan identik
dengan tasawuf yang tak jelas juntrungannya, bahkan
juga disebut-sebut sebagai orang yang bertapa lantaran frustasi tak
mampu memahami filsafat.
 
Sebagai tokoh besar, nama al-Ghazali juga banyak dipakai orang.  Tokoh-tokoh 
lain yang menggunakan nama al-Ghazali diantaranya adalah Muhammad al-Ghazali.  
Antara Imam al-Ghazali dan Muhammad al-Ghazali jelas ada perbedaan besar, dan 
kita tidak boleh keliru mengidentifikasi keduanya.  Demikian juga al-Qurthubi 
jangan pernah disamakan dengan Sumanto Al Qurthuby (tokoh ultra-liberalis 
lainnya yang menulis buku Lubang Hitam Agama), dan – na’uudzubillaah – jangan 
pernah perbandingkan Muhammad saw. dengan Mohammed Arkoun
(salah satu tokoh yang bersikeras menentang kesucian ayat-ayat
Al-Qur’an), biarpun nama depannya mirip.
 
Nama adalah doa, namun memang tidak semua doa di-ijabah.  Kadang-kadang
orang tua memberi nama anaknya dengan nama seorang ulama besar, namun
apa dinyana setelah dewasa anak itu malah tambah jauh dari ulama besar
tersebut.  Yang paling miris adalah jika anak itu kemudian tumbuh besar dan 
memfitnah ulama besar yang namanya diambil itu.

Demikianlah jurang menganga antara Buya Hamka dan Hamka Haq.  Yang
satu adalah ulama besar Asia Tenggara (Malaysia dan beberapa negara
lainnya sudah menyatakan ‘klaim’ bahwa Buya adalah ulama milik mereka
juga), sedangkan yang satu lagi adalah tokoh yang entah datang dari
mana, namun namanya langsung melejit sebagai Ketua PP Baitul Muslimin.  
Sekiranya Anda bertanya-tanya, saya jelaskan di sini : Baitul Muslimin adalah 
lembaga keislaman yang didirikan oleh PDIP.  Kualitas diantara keduanya jauh 
berbeda, dan hal ini semakin diperjelas belakangan ini. 
 
Baru-baru ini, PDIP (dengan Baitul Muslimin sebagai ujung tombaknya) mengadakan 
acara peringatan 100 tahun Buya Hamka.  Ide ini sangat menggelikan bagi 
sebagian orang yang mengenal sejarah.  Pasalnya, Hamka pernah dipenjarakan oleh 
Soekarno tanpa alasan yang jelas.  Ideologi
Hamka jelas bertentangan secara diametrikal dengan Soekarno,
sebagaimana para ulama umumnya tidak mungkin bisa sejalan dengan
prinsip Nasakom ala Soekarno.
 
Semua orang tahu bahwa Buya Hamka adalah pribadi yang lembut, santun, dan 
sangat pemaaf.  Hubungannya yang sangat erat dengan Allah SWT membuat beliau 
tak pernah berprasangka buruk atas segala taqdir yang harus dijalaninya.  
Masa-masa hidupnya di penjara, betapa pun menyakitkan, namun juga dianggapnya 
penuh dengan hikmah.  Salah
satu hikmah yang bisa dipetik buahnya hingga kini adalah tuntasnya
penyusunan Tafsir Al-Azhar, yang menurut Hamka, tidak mungkin
terselesaikan kalau ia tidak dipaksa untuk menyendiri dari segala
urusan, dan ternyata hal itu bisa didapatkannya di penjara.
 
Buya Hamka sendiri tak pernah mengungkit-ungkit masalah dengan orang-orang yang 
pernah menzaliminya, termasuk terhadap Soekarno.  Ketika Soekarno meninggal 
dunia, beliau datang dan ikut menshalatkannya.  Para pengagum Hamka mengatakan 
bahwa hal ini adalah bukti kebesaran hati Sang Buya.  Akan tetapi, Taufik 
Kiemas punya teori lain.
 
Menurut Kiemas, kenyataan bahwa Hamka ikut menshalatkan Soekarno adalah bukti 
persahabatannya.  Teori ini sangat lemah dan sebenarnya memalukan.  Pertama,
karena sebejat-bejatnya perilaku seorang Muslim, selama ia masih
Muslim, maka ia berhak dan wajib dishalatkan ketika sudah wafat.  Kedua,
ada sekian banyak hadits yang menjelaskan keutamaan menshalatkan Muslim
yang baru wafat, dan sebagai ulama, Buya Hamka tak mungkin tidak
mengetahuinya.  Ketiga, hal ini
justru menelanjangi pola pikir Taufik Kiemas yang memandang Buya Hamka
dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai cermin, sehingga nampak
seolah-olah Hamka hanya mau menshalatkan kawannya saja.  Padahal, umat Islam 
yang awam pun sering menshalatkan saudaranya sesama Muslim yang tidak 
dikenalnya di masjid-masjid.  Barangkali
hanya Taufik Kiemas sajalah yang bisa menyimpulkan adanya hubungan
perkawanan hanya karena yang satu menshalatkan jenazah yang lain.
 
Diantara
seluruh berita simpang-siur tentang Buya Hamka ini, yang paling tidak
bisa diterima dengan akal sehat adalah pernyataan yang keluar dari
lisan Hamka Haq di bawah ini :
 
“Dia berpendapat semua manusia akan masuk surga.  Semua agama punya 
kebenarannya masing-masing.”
 
Ucapan ini sangat menyedihkan dan tak bernilai intelektual sedikitpun.  Jika
Hamka Haq membaca Tafsir Al-Azhar dengan mata terbuka, maka ia tidak
perlu menunggu lama hingga sampai pada pembahasan Hamka mengenai ayat
terakhir dalam surah Al-Fatihah.  Di sana, terang-terangan Hamka menjelaskan 
pendapatnya tentang “kaum yang dimurkai” dan “kaum yang tersesat”.
 
Jika ditelusuri, tidaklah terlalu mengherankan jika Hamka Haq memilih pendapat 
yang sangat cacat seperti ini.  Dalam rangkaian acara Peringatan 100 Tahun Buya 
Hamka tersebut, diadakan pula simposium berjudul Membina Pluralisme, Membangun 
Peradaban Demokratis.  Pembicaranya?  Diantaranya adalah Ahmad Syafii Maarif, 
Sukardi Rinakit, dan Yudi Latif.
 
Terhadap Ahmad Syafii Maarif perlu diberikan catatan khusus.  Tokoh
yang satu ini pernah memotong-motong tafsir Buya Hamka mengenai Q.S.
Al-Baqarah [2] : 62 sehingga nampak seolah-olah Hamka mendukung
pluralisme.  Dengan lihainya, Syafii Maarif tak
pernah menyebut-nyebut Hamka sebagai tokoh pluralisme, namun artikelnya
dimanfaatkan secara bombastis oleh para kader
sekularis-liberalis-pluralis demi kepentingannya sendiri.  Terhadap artikel 
Syafii Maarif tersebut (yang juga cacat secara akademis), saya telah 
membantahnya dalam tugas kuliah Islamic Worldview semester lalu (lihat 
attachment).
 
Benang merahnya sudah terlihat jelas.  Kaum sekuler-liberal ramai-ramai merapat 
ke PDIP, dan menyatukan kekuatan di sana.  Baitul
Muslimin didirikan untuk menarik sebanyak mungkin umat Islam yang tidak
menyadari jurang perbedaan yang menganga antara ajaran Islam dan
pluralisme.  Dari sini, kita belajar banyak untuk
berhati-hati dan tidak mudah percaya pada orang, apalagi memberikan
penilaian hanya dengan melihat namanya saja.  Hamka dan Hamka Haq memang 
memiliki nama yang mirip, tapi barangkali memang hanya itulah kesamaannya.
 
wassalaamu’alaikum wr. wb


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke