Dari MediaKonsumen: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2630.html

Penolakan kenaikan BBM masih terus digelar di mana-mana. Bahkan 
semakin emosional dan semakin dibarengi dengan kekerasan, bahkan 
kekisruhan sebagaimana sudah saya duga sebelumnya di MediaKonsumen 
ini beberapa waktu yang lalu (Demo Menggila, Pemerintah Masa Bodoh; 
BBM Naik, Lalu Apa?). 

Ini disebabkan oleh antara lain karena gagalnya program komunikasi 
pemerintah dengan rakyatnya. Namun demikian, bagaimana mungkin rakyat 
dapat memahami sebuah komunikasi yang tidak masuk akal mengenai 
alasan dinaikkannya BBM. Komunikasi yang buruk ini ditambah lagi 
dengan minimnya upaya pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikkan 
BBM ini, bahkan Badan Intelejen Negara pun beberapa hari terakhir ini 
ikut memperkeruh situasi dengan menebar tuduhan sana-sini.

Tulisan ini adalah untuk mengingatkan, bahwa kenaikan BBM berhubungan 
dengan adanya konspirasi jahat orang-orang di Kejaksaan Agung dengan 
konglomerat hitam. Ini menjadi salah satu penyebab pemerintah 
akhirnya kedodoran APBN dan menaikkan BBM sebagai solusi gampang dan 
gila sehingga membuat negeri ini semakin compang-camping dan boroknya 
terlihat. 

Kejagung sebelumnya menjadi tumpuan harapan rakyat agar bisa 
mengembalikan dana BLBI sebesar ratusan trilyun rupiah yang dirampok 
konglomerat hitam. Sayangnya setelah jaksa Urip Tri Gunawan 
tertangkap sedang disuap oleh Artalita Suryani, sejumlah jaksa agung 
muda lainnya justru juga "tertangkap" melakukan "telpon-ria" dengan 
Artalita, kaki-tangan Syamsul Nursalim, salah satu perampok BLBI. 
Jaksa Urip adalah ketua tim 35 yang menangani kasus dana BLBI Sjamsul 
Nursalim dan Anthony Salim. Ia diburu KPK dan tertangkap di rumah 
Sjamsul Nursalim sedang menerima uang sebesar lebih dari 6 milyar 
rupiah dari Artalita hanya beberapa hari setelah jaksa agung muda 
pidana khusus Kemas Yahya Rahman mengeluarkan SP3 untuk kasus BLBI 
Syamsul Nursalim dan Anthony Salim. 

Kasus terbongkarnya borok kejagung ini mungkin juga sekaligus 
membongkar borok TNI yang tidak tahu ada anggotanya yang "magang" 
bertahun-tahun menjadi "ajudan" Artalita di Sjamsul 
Nursalim "Syndicate".

Kejadian ini sudah menjadi keprihatinan kita bersama, karena ini 
seperti sering disebut orang adalah "gunung es" dari berbagai carut-
marut di negeri morat-marit ini. Sebelum soal Urip, sang borok 
kejaksaan ini, di awal tahun 2007, seorang jenderal polisi 
dijebloskan ke penjara karena korupsi dalam kasus Andrian Woworunto. 
Kemudian KPK juga memenjarakan Irawadi Yoenus, salah seorang 
komisioner Komisi Yudisial di tangkap di akhir tahun 2007 lalu karena 
melakukan korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi 
Yudisial yang baru. Baru beberapa bulan lalu di bulan Januari 2008 
ini, KPK menahan mantan Kapolri Rusdihardjo, karena diduga melakukan 
korupsi saat menjabat sebagai Dubes RI untuk Malaysia di Kuala 
Lumpur. Juga bulan April 2008 lalu seorang anggota DPR telah membuat 
geram para aktivis lingkungan hidup. Al-Amin Nasution tertangkap 
menerima suap dari pejabat kabupaten Bintan di Jakarta. Al-Amin 
Nasution sudah lama dibidik KPK terkait pengalihfungsian hutan 
lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan.

Meski pun mereka yang disebut di atas hanya beberapa orang saja, 
namun mereka sudah mewakili hampir semua lembaga negara yang penting 
di negeri ini yang seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat dalam 
mengelola negeri morat-marit ini. Ada yang mewakili kepolisian, 
Mahkamah Agung, pemerintah, DPR dan terakhir kejagung. Mereka yang 
tertangkap itu, seperti yang disebut oleh Permadi SH adalah sedang 
bernasib sial. Masih banyak bajingan-bajingan lain yang belum 
tertangkap.

Di mana-mana di seluruh dunia ini, termasuk di lobang tikus sekali 
pun, berlaku aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, bahwa 
penegak hukum tidak boleh berkomunikasi atau bertemu muka dengan 
bajingan dan kaki-tangannya yang sedang ditanganinya di tempat atau 
waktu yang tidak seharusnya. Meski jaksa-jaksa itu telah melakukan 
kesalahan yang amat memalukan dan merendahkan dirinya dan lembaganya, 
namun demikian Jaksa Agung Hendarman Supandji nampaknya masih akan 
sangat terlambat untuk menggunakan nuraninya dalam memperbaiki 
lembaga yang dipimpinnya. 

Bukan berapa Rupiah suap yang diterima para jaksa agung itu yang 
menjadi persoalan kita, tetapi betapa mudahnya kita menyerahkan 
kepentingan rakyat banyak pada orang-orang durjana yang tidak peduli 
dengan masa depan negeri ini. Hanya dengan beberapa milyar rupiah 
saja, kejagung sudah bisa dengan mudah dibuntungi, padahal kasus yang 
BLBI ditanganinya adalah puluhan trilyun rupiah. Kita tidak bisa 
membayangkan negeri macam apa Indonesia ini jika SP3 untuk Sjamsul 
dan Anthony ini menjadi patokan untuk memberikan SP3 juga bagi kasus-
kasus BLBI lainnya yang ratusan trilyun rupiah. 

Murah sekali harga jiwa para jaksa itu...


Kirim email ke