Biarpun namannya mirip, ternyata cara berpikirnya jauh berbeda, beda kelas siy.. Lucunya, Hamka Haq berpendapat begini2 mengenai sosok HAMKA, ternyata sosok HAMKA berbeda jauh dari apa yg dibayangkan Hamka Haq hihi koq bisa ya, Hamka Haq dengan PEDEnya berpendapat HAMKA mundur dari MUI krn tdk stuju dg FATWA MUI ttg larangan perayaan natal bersama??? sangat tidak ilmiah! kebenaran memang tdk berdasarkan 'menurut saya..bla bla', jika semua orang merasa benar hanya krn modal 'menurut saya..bla bla..' wah bahaya deh, kembali ke jaman roda masih kotak! Hamka Haq memang bukan HAMKA...
Fatwa Natal Haram untuk Muslim Bukan Keluaran Hamka Gagah Wijoseno - detikNews Jakarta - Salah satu fatwa Buya Hamka saat menjabat Ketua MUI yang terkenal adalah soal natal. Ia mengharamkan muslim mengucapkan atau merayakan natal bersama umat Nasrani. Fatwa itu menimbulkan kontroversi. Hamka lalu memilih mundur dari kursi ketua MUI untuk memperhatikan prinsipnya. Begitulah kisah yang umum didengar tentang Hamka. Tetapi ketua PP Baitul Muslimin Hamka Haq punya pandangan berbeda. Menurutnya, bisa saja Hamka mundur karena tidak setuju dengan fatwa itu. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI tanpa berkoordinasi dengan dirinya sebagai ketua. "Mundur karena tidak ada koordinasi. Fatwa bukan karena lewat rapat pleno yang berada di bawahnya," kata Haq dalam sambutan Peringatan 100 Tahun Buya Hamka di Hotel Bumikarsa, Bidakara, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (10/4/2008). Fatwa semacam itu, menurut Haq, hampir tidak mungkin ditelurkan Hamka. Bagi Haq, Hamka adalah seorang pluralis. "Dia berpendapat semua manusia akan masuk surga. Semua agama punya kebenarannya masing-masing," terangnya.(gah/ana) Marilah kita ikuti tulisan Hamka berikut ini: Motto: Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa; Kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai; Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit. Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya; Katakanlah kepadaku, demi Tuhan. Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual? Sudah agak lama dibicarakan di kalangan masyarakat tentang apa yang dinamai Natal Bersama. Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Dan kepada Presiden Suharto sendiri pada tanggal 21 September 1975 penulis dari hati ke hati ini, yang baru 20 hari menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia teah menerangkan di hadapan kurang lebih 30 orang Utusan Ulama yang hadir, bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri. Artinya sejak MUI berdiri dia telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan hidup beragama. Dan ini telah berjalan baik. Tetapi belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan dan mana yang akan kita damaikan. Maka timbullah soal Natal, lebih jelas lagi tentang Natal Bersama. Apa arti bersama? Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan ummat Islam? Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.. Ketika orang merayakan Natal, dilakukanlah beberapa upacara (rituil) yang di dalam bahasa Islam disebut ibadat. Membakar lilin, memakan roti yang dianggap bahwa ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus, dan meminum air yang dianggap sebagai darah Yesus. Ketika terjadi Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut-pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal ini diperbincangkan dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak ada orang yang menyadari kehidupan beragama yang tidak meragukan halalnya orang Islam turut bersama orang Kristen menghadiri hari Natal, meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha ke tanah lapang atau mesjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam. Sebab itu dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri Agama sejak Indonesia Merdeka menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yang beragama Kristen menghadiri secara resmi hari-hari peribadatan Kristen, Natalnya, Paskahnya dan lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari Ibadat Katolik, dan pegawai tinggi Protestant untuk menghadiri hari ibadat Protestant, dan demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan yang beragama Budha. Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang rukunnya kita hidup beragama. Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup beragama. Pihak Islam menerima anjuran itu dengan baik. Tetapi terus terang kita katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita perkatakan secara konkrit! Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang menerangkan aqidah orang Islam, bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam yuulad ini dilarang beredar, dengan alasan bahwa karangan ini berisi satu ayat yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama. Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Dawah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih alaihissalam sebagai Tuhan. Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51). Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir. Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui hal ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa dikirim kepada beliau untuk menjadi pegangan. Tetapi karena memandang fatwa ini adalah menyinggung tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan tersebut dikirim kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia. Di sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan Majelis Ulama dengan Yth Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja. Surat-surat kabar harian Jakarta banyak minta agar merekapun diberi peluang turut menyiarkan Keputusan itu seluas-luasnya, karena ini adalah kepentingan ummat seumumnya. MUI belum memberikan. Tetapi ada surat kabar mendapat naskah keputusan itu, lalu menyiarkannya. Tetapi besoknya setelah keputusan itu termuat, datanglah berita dari kami, yaitu saya sendri dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (H. Burhani Cokrohandoko) dalam kedudukannya sebagai sekretaris Majelis Ulama menarik kembali fatwa itu dari peredaran, sekali lagi dari peredaran. Di sinilah terjadi suatu reaksi yang hebat. Bertubi-tubi datang pertanyaan kepada diri saya sendiri, sebagai Ketua Umum dari Majelis Ulama Indonesia, mengapa fatwa itu dicabut? Apakah saya begitu lemah, kehilangan harga pribadi, ataukah saya tidak setuju dengan keputusan itu? Apakah bagi saya halal merayakan Hari Natal atau hari-hari besar agama-agama lain, jika dirayakan bersama oleh umat Islam? Di sini saya menjelaskan pendapat saya, bahwa fatwa Majelis Ulama itu tidaklah hilang kebenaran dan kesah-annya, meskipun dia dicabut dari peredaran. Dan saya sendiri pribadi telah pernah menulis di dalam Majalah yang saya pimpin Panji Masyarakat menyatakan haram bagi orang Islam turut merayakan Hari Natal bersama orang Kristen, lama sebelum fatwa yang dicabut dari peredaran itu. Dan di penutup seruan itu saya ajak Kaum Muslimin supaya bersikap tenang menghadapi soal, demi menjaga kerukunan hidup beragama dan menjaga kemurnian aqidah! Tiga harian memuat seruan saya itu, yaitu Berita Buana, Suara Karya dan Kompas. Kepada ketiganya saya ucapkan terimakasih. Dengan sabar dan tenang mari kita tilik soal ini. Di dalam membentuk suatu negara, kita selalu menuju yang lebih baik. Bertambah kita melangkah akan kelihatan di mana kekurangan yang harus kita perbaiki. Kita musti melihat soal dari keseluruhan. Dalam mendirikan negara ini kita telah membuat dua gagasan yang baik dan diantara keduanya ada perkaitan. 1. Kerukunan Hidup Beragama Semua menyetujui gagasan ini. Pihak Islam menyetujui karena Islam sendiri mempunyai konsep yang konkrit dalam hal ini. Tetapi bagaimana pelaksanaannya? Apakah demi kerukunan orang Islam harus menghadiri Hari-hari besar agama lain dan turut beribadat, yaitu ibadat, tapi ibadat yang dikarang-karang sendiri. Orang disuruh rukun, tapi imannya jadi goncang, sebab perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Orang yang lemah imannya takut akan menyebut apa yang terasa dihatinya. Misalnya yang terjadi di Surabaya itu, buku yang menulis Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Buku itu dilarang beredar! Sebab merusak kerukunan hidup beragama. Bagaimana kalau orang Kristen mengatakan Tuhan Yesus? Bolehkah orang Islam menolak dan membantah itu? Itupun tentu dilarang juga, sebab merusak kerukunan hidup beragama! Bahkan kaum Islam tadi dapat pula dituduh tidak berpartisipasi dalam pembangunan! 2. Majelis Ulama Indonesia. Majelis Ulama Indonesia sudah 6 tahun berdiri. Menjadi hiasan bibir di seluruh Indonesia tentang pentingnya kerjasama Umara dan ulama. Dikatakanlah bahwa tanggung jawab ulama untuk kebahagiaan tanah air sama dengan tanggung jawab umara. Ulama adalah ahli-ahli agama dan umara pemegang-pemegang kekuasaan pemerintah. Sekarang timbul fatwa ulama itu tentang boleh atau tidaknya Natal bersama yang di dalamnya harus ikut orang-orang Islam. Karena ingat akan tugasnya, disamping melihat kepada pemerintah, diminta atau tidak diminta, maka samalah pendapat semua ulama itu bahwa turut bersama dalam perayaan hari Natal itu adalah haram hukumnya bagi Kaum Muslimin. Maka keluarlah keterangan mencabut beredarnya fatwa itu. Saya menyatakan pendirian yang tegas: Melarang peredaran fatwa itu adalah hak bagi pemerintah. Sebab dia berkuasa! Namun kekuatan fatwa tidaklah luntur, lantaran larangan beredar. Setiap orang Islam yang memegang agamanya dengan konsekwen, asal dia tahu, dia wajib menuruti fatwa itu. Bertemulah di sini hal yang belum kita fikirkan selama ini, yaitu perlainan penilaian ulama dengan umara, dalam hal yang mengenai aqidah. Umara merasa punya kekuasaan menyuruh cabut peredaran itu. Ulama merasa dia bertanggung jawab sebagai ahli-ahli agama meneruskan isi fatwanya. Dan ulama pun sangat sadar bahwa dia tidak mempunyai kuasa buat menantang pencabutan peredaran itu. Sebagai warga negara dia akan patuh kepada kekuasaan pemerintah. Tetapi kekuasaan pemerintah pun belumlah mempunyai hak memaksa orang pergi menghadiri upacara agama lain yang harus dikerjakan bersama. Karena ini adalah kerukunan yang dipaksakan. Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama? Saya jawab: Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar maruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Taala sendiri. Namun demikian sebagai kita uraikan di atas tadi, kita adalah menuju yang lebih sempurna. Kita masih belum terlambat buat menyelidiki, apakah kedudukan umara dan ulama itu masih diikat oleh rasa ukhuwah Islamiyah? Tegak dalam hak dan kewajiban masing-masing? Atau Ulama hanya lebai-lebai yang dipanggil datang, disuruh pergi, ditegah berhenti? Dan kalau rapat akan ditutup dia bisa dipanggil: Kiyahi! Baca doa. Begitu juga boleh! Mari kita cari ulama-ulama yang semacam itu: mudah-mudahan masih ada! Di permulaan karangan ini saya salinkan sebuah syair Arab yang maksudnya begini: Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa di hati. Setelah yang terasa itu saya sebut, tuan bebas memberikan beberapa penilaian. Cuma satu yang saya tidak bisa, yaitu membenam saja suara hati nurani, diam saja dalam 1000 bahasa, sehingga pendirian yang sejati tidak dapat disebut. Ini bisa jadi penyakit! Inilah barangkali yang disebut ungkapan Makan hati berulam jantung. Hati sendiri yang dimakan, jantung sendiri dijadikan ulam. Rasa hati sanubari itu tidak dapat dijual dan tidak dapat dibeli. Apa yang terasa di hati, itulah yang dikeluarkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada barangsiapa yang patut dihormati. (HAMKA). Sumber : Insists (Institute for Islamic for The Study of Islamic Though and Civilization) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/