Taubat Nasional Sebagai Efektifitas Reformasi
sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com Seorang pengusaha yang berusaha bermain fair mengeluh karena ia susah sekali menemukan orang yang bisa diajak bermain fair, baik di lingkungan usahanya maupun di lingkungan birokrasi. Perdebatan sengit di parlemen juga dipandang dagelan karena memang banyak orang berkata baik tetapi dibalik itu ada agenda lain yang tidak fair (kalimat al haqq urida biha al bathil). Masyarakat awam juga tidak percaya kepada pengumunan bebas biaya masuk sekolah anaknya, karena prakteknya tetap bayar. Orangpun banyak yang hilang harapannya memperoleh keadilan melalui pengadilan, karena mafia hukum ditengarai sudah bersistem dalam sistem hukum kita dari penyidik, penuntut, pembela dan hakim, hingga tukang ketik di mahkamah Agung. Negeri kita dewasa ini benar-benar terpuruk dalam lembah dosa nasional sehingga memperoleh predikat negeri terkorup, terburuk pelaksanaan sistem hukumnya, dan marak anarki dari jalanan hingga Senayan. Masihkah bangsa ini punya waktu untuk bertaubat, atau tinggal pasrah menunggu detik-detik tenggelamanya bangsa ini. Syahdan, seorang kepala negara pada masa daulah umayyah, bernama Umar bin Abdil Aziz, meski hanya menduduki tahta dalam waktu yang sangat singkat (717-720M) tetapi berhasil membawa rakyatnya, khususnya para pejabat pemerintahannya pada taubat sosial politik. Umar menerima suksesi kepemimpinan daulah Umayyah dari pamannya, Sulaiman melalui wasiat dekrit, karena Umar sendiri sebenarnya tidak tertarik untuk menduduki kursi kekhalifahan. Mengapa? karena beliau tahu negara sedang diliputi oleh suasana nepotisme yang sangat kental dimana asset negara dikuasai oleh kerabat kerajaan, permainan politik dan ekonomi berjalan tidak fair dan masyarakat memendam kekecewaan tersembunyi. Umar melakukan "kasak-kusuk" agar jangan sampai suksesi jatuh kepada dirinya, karena beliau sadar betul betapa berat mengemban tugas sebagai kepala negara dari negara yang sedang dalam keadaan krisis. Ketika ternyata dekrit jatuh kepadanya, Umar menangis tersedu-sedu dan mengatakan kepada isterinya bahwa ia terkena musibah karena harus memikul tanggungjawab yang sangat berat (bukan malah syukuran). Apa yang dilakukan Umar bin Abd. Aziz sungguh mengesankan, karena hanya dalam waktu singkat bisa mengubah perilaku sosial politik rakyatnya, satu prestasi yang kemudian oleh sejarah, beliau disejajarkan dengan khalifah empat, khulafa Rasyidin... Beliau mereformasi pemerintahannya dengan mulai dari diri sendiri. Beliau serahkan seluruh harta pribadinya dan isterinya kepada negara, dan selanjutnya ia hidup dengan gaji yang terpantau oleh bendahara negara. Semua tradisi istimewa kerajaan dihapus dan Khalifah/Raja hidup sangat sederhana dan transparan. Suatu hari, karena anaknya membutuhkan uang, beliau minta tolong kepada bendahara negara agar mengeluarkan gaji bulan depan untuk anaknya itu, tetapi kemudian beliau mengurungkan niatnya setelah bendahara negara menjawab; Apakah baginda menjamin bahwa bulan depan baginda masih hidup? Umar juga menghapus semua simbol-simbol yang menfasilitasi konflik politik dengan lawan-lawan politiknya, seperti kelompok ahl al bait. Dengan pola hidup sederhana yang dicontohkan oleh orang nomor satu, maka tanpa TAP, tanpa Kepres, tanpa UU, aparat dibawahnya, suka atau tidak suka mengikutinya. Rakyat luas dengan sangat antausias menyongsong reformasi ini. Hanya kelompok mapan yang terdiri dari kerabat kerajaanlah yang tidak menyukai perubahan ini, karena mereka sudah terbiasa menikmati fasilitas negara. Mungkinkah bangsa Indonesia melakukannya? bisa kalau mau. Pemimpin Negara sangat mungkin melakukannya seperti yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Jka reformasi dimulai dengan perilaku pribadi pemimpin. Kita harus menggunakan sifat paternalisme bangsa ini sebagai kekuatan mengubah bangsa. Memang langkah itu sangat ektrim, tetapi laiknya mengobati penyakit, keputusan besar dan berat semisal amputasi, berpacu dengan nasib pasien, hidup atau mati. Keterlambatan terapi ektrim kepada bangsa, dikhawatirkan kita kalah dalam berpacu dengan waktu, karena TAP, Amandemen, UU dan segala macam yang konvensional nampaknya akan dikalahkan oleh kesumpekan batin masyarakat yang bisa meledak menjadi revolusi sosial. Kita tidak dapat membayangkan harga yang harus kita bayar dari revolusi sosial, dan taubat nasuha yang ektrim dari orang nomor satu adalah yang paling efisien dan efektip untuk menggerakkan taubat nasional yang berarti efektif pula dalam mereformasi bangsa ini. Insya Allah. Wallohu a`lam. sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com Salam Cinta, agussyafii Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui [EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com