Komentar dari milis sebelah untuk Mas Ulil

----- Original Message ----- 
From: "Darmawan" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, August 20, 2008 12:53 PM
Subject: [mediacare] Re: Memahami Kitab Suci Agama Lain


Ulil menulis: Seorang beriman tak pernah bertanya-tanya dengan 
skeptis seperti itu sebab mereka membaca kitab "suci" dengan "mata 
seorang beriman". Thomas Aquinas, seorang teolog Kristen dari abad 
13, dengan baik sekali mengemukakan hal ini dalam Summa 
Theologiae: "Believers proves things from the premises of faith" 
(hal. 329, dalam edisi terjemahan ringkas yang diedit oleh Timothy 
McDermott). Apa yang dimaksud oleh Aquinas sebagai "premis iman" itu 
adalah "the authoritative sources of sacred scripture".

Sepintas lalu apa yang ditulis Ulil membawa pencerahan, a.l. 
menganjurkan agar Muslim juga mau mengakui kesalahan yang ada di 
dalam Alquran karena kesalahan juga ada di dalam Alkitab.

Lalu agar kitab yang dua-duanya tidak sempurna itu dapat tetap 
dihormati dan dihayati sebagai kitab suci, Ulil mengajak kita 
memutar mundur jarum jam untuk hidup di tahun 1300-an, kita diajak 
mundur ke jaman Thomas Aquinas dan jika kita mau mengikuti ajakan 
ini, kita akan tersesat.

Thomas Aquinas hidup sebelum ada reformasi Gereja Katolik, pada 
jaman Paus masih berkuasa mutlak dan pada jaman itu umat Katolik 
diajarkan untuk memandang Alkitab sebagai kitab yang sungguh-sungguh 
ditulis oleh Tuhan, karena itu yang boleh memegang dan 
menginterpretasikan kitab suci hanya para pastor dan Gereja 
mengajarkan agar umat memahami kitab suci dengan kaca mata imam. 

Jaman sekarang dibandingkan dengan jaman Thomas Aquinas, sudah 
berubah total. Sekarang Paus bukan lagi penguasa (kecuali untuk 
wilayah Vatikan) dan sudah ada banyak Gereja Kristen di luar Gereja 
Katolik dan yang penting adalah: yang boleh membaca dan 
menginteprtasikan Alkitab bukan lagi menjadi monopoli pastor tetapi 
semua orang sudah punya kesempatan yang sama untuk membaca, 
menginteprtasikan dan memahami Alkitab.

Kenapa dengan kebebasan mengintepretasikan itu banyak orang Kristen 
masih membaca dan mencoba menarik manfaat dari Alkitab? Jawabannya 
sangat jelas, "Karena Alkitab dibaca sebagai kitab bukan buku 
bertuah"

Kanapa Alkitab bisa dibaca sebagai kitab? Karena orang Kristen 
sekarang sudah diajarkan bahwa Alkitab dibuat oleh manusia. 
Perjajian Baru dari awal sudah jelas ditulis oleh empat orang 
manusia biasa. Perjanjian Baru bukan kitab yang diberikan oleh Tuhan 
(blek turun dari surga) tetapi tulisan orang biasa dan di dalam 
Perjanjian Baru tidak ada perintah Tuhan yang harus dijalankan 
manusia, tetapi yang ada adalah ucapan-ucapan Yesus yang lebih 
banyak disampaikan dalam bentuk perumpamaan.
Perjanjian Lama selain Kitab Taurat, ditulis oleh banyak orang yang 
berbeda generasi (dari mulai sebagai cerita lisan sampai bagian 
terahir dari Perjanjian Lama diperkirakan kitab itu terus 
ditambahkan oleh penulis yang berbeda dalam kurun waktu sekitar 2000 
tahun).
Orang Yahudi pernah menganggap Kitab Taurat diberikan oleh Tuhan 
kepada Musa di Gunung Sinai, tetapi pandangan itu juga sudah 
berubah, para ahli mengatakan bahwa kitab itu ditulis oleh bangsa 
Yahudi dan si penulis ternyata bukan seorang. 
Dengan pemahaman bahwa Alkitab ditulis oleh manusia biasa, ditulis 
oleh banyak orang yang hidup dalam jaman yang berbeda, menjadi wajar 
bahwa isi Alkitab di sana sini tidak konsisten. 
Lalu kenapa orang Kristen masih menggunakan Alkitab? Orang Kristen 
bukan percaya bahwa semua yang tertulis di dalam Alkitab adalah 
benar sebagai firman Tuhan, tetapi orang Kristen mengambil pelajaran 
baik yang ada di dalam Alkitab, apa yang tidak baik tidak diikuti 
karena Alkitab ada tulisan manusia biasa.

Lalu apa bedanya dengan Alquran? Alquran berasal dari satu sumber 
tunggal, yaitu Muhammad yang buta huruf. Jadi jika isi Alquran tidak 
konsisten sumber ketidakkonsitenan itu jelas, yaitu Muhammad sendiri.

Jadi jika kita mau memahami kitab suci dalam konteks jaman ini, 
bacalah kitab suci sebagai kitab biasa yang ditulis manusia biasa, 
karena  tidak mungkin ada kitab yang diberikan Tuhan, apalagi isinya 
menunjukkan tidak mungkin berasal dari Tuhan (Apakah benar Tuhan 
memerintahkan memotong tangan orang yang mencuri? Pasti tidak bukan?)

Dengan memandang kitab suci sebagai kitab biasa bukan kitab bertuah 
yang mendatangkan pahala jika dibacakan keras-kerang menggunakan 
pengeras suara, mudah-mudahan bangsa Indonesia cepat sadar apa yang 
harus dilakukan bagi kemajuan bangsa ini.
Salam


--- In [EMAIL PROTECTED], "Sangun" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Memahami Kitab-Kitab "Suci" secara non-apologetik
> 
> by Ulil Abshar Abdala
> 
> SAYA sering terganggu oleh sikap beberapa kalangan Muslim 
apologetik
> yang dengan mudah menunjukkan adanya kontradiksi dalam Kitab
> Perjanjian Lama dan Baru. Dengan gigih sekali mereka mencoba
> memperlihatkan bahwa dalam dua kitab "suci" itu tersua sejumlah
> pertentangan internal.
> 
> Usaha itu bukan tanpa tujuan: yaitu untuk menunjukan kehebatan 
Quran
> sebagai Kitab "Suci" yang paling baik, solid, koheren, logis, tidak
> mengandung pertentangan internal apapun. Lalu mereka mengutip 
sebuah
> ayat dalam Quran yang terkenal, "Afala yatadabbarun al-Quran, wa 
law
> kana min `indi ghair al-Lahi lawajadu fihi ikhtilafan katsira." 
(4:82)
> Artinya: Apakah mereka tak merenungkan secara mendalam mengenai 
Quran
> itu; seandainya ia berasal dari selain Tuhan, maka sudah pasti 
mereka
> akan menjumpai banyak pertentangan di dalamnya.
> 
> Hal serupa juga ada pihak Kristen (dan juga Yahudi). Saya banyak
> sekali menjumpai buku-buku apologetika Kristen (juga Yahudi) yang
> menunjukkan adanya sejumlah pertentangan internal dalam Quran.
> 
> Maryam Jameelah, seorang perempuan Yahudi dari New York yang semula
> bernama Margaret Marcus, menceritakan proses dia masuk Islam (pada
> tahun 1961) dalam bukunya "Islam versus West". Di sana ia berkisah
> tentang kelas yang ia ikuti di New York University 
tentang "Judaism in
> Islam" yang diampu oleh seorang rabbi bernama Abraham Isaac Katsh.
> Rabbi itu mencoba menunjukkan kelemahan Quran sebagai kitab yang
> sekedar menyontek saja dari Torah atau Perjanjian Lama.
> 
> Saya memandang sikap apologetik seperti itu kurang tepat, bahkan 
hanya
> menimbulkan perceckokan yang kurang produktif dan kleim paling 
benar
> sendiri yang menghalangi adanya dialog yang positif.
> 
> Tanpa mengurangi penghormatan saya pada kepercayaan teman-teman 
Muslim
> yang lain mengenai Quran, sejauh menyangkut kontradiksi, dalam 
Quran
> banyak sekali kita jumpai kontradiksi dan pertentangan internal.
> 
> Bukan hanya itu, dalam hampir semua Kitab "Suci" selalu akan kita
> jumpai kontradiksi semacam itu. Tugas penafsirlah untuk melakukan
> "harmonisasi" agar pertentangan itu bisa "dihaluskan" (explained 
away)
> atau malah dihilangkan sama sekali.
> 
> Orang yang datang dari luar tradisi Islam (terutama orang Kristen),
> misalnya, dan ujug-ujug langsung membaca Quran, kemungkinan akan
> terperanjat, karena Quran di matanya boleh jadi mirip 
sebuah "jumble
> mumble", atau kitab yang sama sekali tanpa struktur, temanya
> loncat-loncat tanpa aturan, seperti sebuah buku yang tak diedit 
dengan
> baik, dan mengandung banyak kontradiksi di dalamnya. Dia akan
> cenderung membandingkan Quran dengan Kitab Perjanjian Lama yang 
lebih
> memiliki struktur naratif yang rapi.
> 
> Hal yang sama terjadi pada orang yang datang luar tradisi Kristen
> (misalnya seorang Muslim), lalu ujug-ujug membaca Kitab Perjanjian
> Lama atau Baru, boleh jadi dia akan menjumpai sejumlah kontradiksi
> internal dalam kitab itu, apalagi menyangkut gambaran Tuhan dalam
> Perjanjian Lama yang, mohon maaf, tampak aneh dan sama sekali tak
> masuk akal.
> 
> Kontradiksi itu akan makin menjadi-jadi kalau kita membaca kitab 
agama
> lain dengan prasangka buruk, apalagi dengan niat untuk mencari
> kejelekannya, seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan 
apologetik
> dari, terutama, kedua belah agama, Islam dan Kristen.
> 
> Di mata orang beriman, kontradiksi itu memang tak kelihatan, karena
> yang bersangkutan sudah dikondisikan oleh imannya untuk mempercayai
> apa saja yang termuat dalam kitab tersebut.
> 
> Seorang Muslim yang membaca Bibel bisa melihat kontradiksi dalam 
kitab
> itu karena dia tak "mengimani"-nya sebagaimana ia mengimani Quran.
> Begitu juga seorang Kristen bisa melihat kontradiksi dalam Quran
> karena dia tidak mengimani Kitab "Suci" tersebut.
> 
> Memang benar, sorang Muslim percaya bahwa kitab-kitab sebelum Quran
> bersumber dari Tuhan yang sama. Tetapi, iman mereka pada kitab-
kitab
> itu tak sama dengan iman mereka pada Quran. Meskipun mengimani 
Bibel,
> tetapi mereka memandang Kitab "Suci" itu sebagai buku 
yang "defektif"
> atau cacat.
> 
> Bagaimana cara membaca Kitab "Suci" agama lain tanpa harus 
berhadapan
> dengan kontradiksi itu?
> 
> Caranya adalah sederhana: gunakanlah kaca-mata orang yang mengimani
> Kitab "Suci" itu. Seorang Muslim yang hendak mendapatkan manfaat 
dari
> Bibel saat membacanya, dan tak sekedar terpaku pada kontradiksi 
yang
> ada di sana, dia harus membaca kitab itu dengan "hati" dan "mata"
> sebagaimana dipakai oleh orang Kristen saat membacanya.
> 
> Hal ini berlaku juga untuk orang Kristen yang hendak membaca Quran 
dan
> ingin mendapatkan sesuatu yang berguna dari sana, tanpa terjebak 
dalam
> kontradiksi yang ia lihat di sana.
> 
> Nasehat sosiolog besar dari Perancis, Emile Durkheim, kepada para
> sarjana yang hendak mengkaji agama bisa kita pertimbangkan di sini:
> 
> "What I ask of the free thinker is that he should confront 
religion in
> the same mental state as the believer. He who does not bring to the
> study of religion a sort of religious sentiment cannot speak about 
it!
> He is like a blind man trying to talk about colour." (hal. xvii,
> dikutip dari pengantar Karen E. Fields atas karya utama Durkheim,
> "Elementary Forms of Religious Life").
> 
> Dengan kata lain, saat membaca suatu Kitab "Suci" dari agama 
manapun,
> kita harus memiliki "religious sentiment" -meminjam istilah dari
> Durkheim itu- sebagaimana dimiliki oleh orang yang mengimani kitab
> itu. Jika kita kehilangan sentimen itu, maka kita akan melihat
> sejumlah pertentangan dalam kitab tersebut.
> 
> Jika anda kebetulan seorang Muslim, cobalah sekali-kali anda 
membaca
> Quran dengan mengambil "jarak" sebentar, mencoba keluar dari 
sentimen
> keimanan yang selama ini anda miliki.
> 
> Dalam keadaan sebagai seorang "skeptis sementara" itu, anda akan
> menjumpai sejumlah hal yang kontradiktif dan tak masuk akal dalam
> Quran. Sebagai contoh saja, dalam satu ayat dikatakan bahwa Tuhan 
tak
> menyerupai apapun, Laisa kamitslihi syai'un (42:11), tetapi dalam
> banyak ayat yang lain Tuhan digambarkan memiliki tangan, wajah, 
bahkan
> dalam hadis digambarkan pula memiliki jari-jari (ashabi' al-
rahman).
> 
> Jika orang Islam keberatan dengan penggambaran tentang Tuhan yang
> "brutal" dan sangat antropomorfis dalam, misalnya, Perjanjian Lama,
> maka mereka sebetulnya lalai bahwa dalam Quran juga kita jumpai
> penggambaran yang kurang lebih serupa: Tuhan yang "brutal" dan
> antropomorfis.
> 
> Bagaimana umat Islam bisa melewatkan begitu saja kisah tentang Nabi
> Nuh di Quran tanpa bertanya-tanya secara "kritis": bagaimana 
mungkin
> Tuhan menenggelamkan seluruh umat manusia hanya karena mereka tak
> beriman kepada Nuh dengan sebuah banjir besar yang melanda begitu
> hebat? Apakah reaksi Tuhan semacam ini tidak keterlaluan? Mana 
sifat
> belas-kasih Tuhan? Baiklah, granted,Tuhan memang mempunyai sifat 
adil
> dan pengazab, selain sifat rahman dan rahim (kasih sayang).
> 
> Tetapi mengirim banjir begitu hebat untuk mengazab seluruh manusia
> hanya gara-gara segelintir manusia tak beriman kepada Nabi Nuh -
> apakah azab seperti itu proporsional? (Jawab seseorang yang 
memiliki
> sentimen keagamaan tentu sudah bisa kita tebak: rasio manusia tak
> mampu memahami tindakan Tuhan).
> 
> Banyak hal dalam Quran yang bisa kita persoalkan secara "kritis",
> kalau kita mau sebentar melepaskan diri dari sentimen keimanan 
sebagai
> seorang Muslim.
> 
> Itulah yang terjadi pada seorang Muslim yang membaca Bibel: karena
> mereka tak memiliki sentimen keagamaan seperti dimiliki oleh umat
> Kristen, maka mereka menjumpai banyak sekali kontradiksi dalam 
Kitab
> "Suci" itu, seraya lupa bahwa kontradiksi serupa bisa dijumpai 
dalam
> Quran.
> 
> Sementara itu, jika anda berdiri sepenuhnya sebagai seorang 
agnostik
> tulen yang tak terikat atau malah skeptik terhadap semua bentuk
> sentimen keimanan apapun, maka anda sudah pasti akan "sinis" pada
> semua Kitab "Suci", sebab kitab agama manapun akan mengandung hal-
hal
> yang di mata rasio yang kritis akan tampak kontradiktoris dan tak
> masuk akal.
> 
> Apalagi jika kita perhitungkan bahwa semua Kitab "Suci" agama-agama
> dunia saat ini lahir ribuan tahun lalu. Ilmu pengetahuan manusia 
maju
> begitu pesat dan mereka bisa menjelaskan secara lebih memuaskan
> gejala-gejala alam yang di mata manusia kuno tampak misterius dan
> fantastik.
> 
> Di hadapan rasio manusia modern yang skeptik, jelas Kitab-
Kitab "Suci"
> itu tampak seperti dongeng anak-anak. Contoh paling bagus untuk ini
> adalah dua sarjana yang akhir-akhir ini melakukan "crusade" melawan
> agama-agama dunia, yaitu Richard Dawkins dan Sam Harris.
> 
> Lihatlah kisah tentang Musa yang menyeberangkan orang-orang Israel
> melewati Laut Merah dengan memakai tongkatnya. Jika seseorang 
sebentar
> melepaskan diri dari sentimen keagamaan lalu membaca kisah itu 
dalam
> Perjanjian Lama atau Quran, sudah pasti dia akan bertanya-tanya:
> apakah ini kisah nyata atau hanya dongeng belaka.
> 
> Seorang beriman tak pernah bertanya-tanya dengan skeptis seperti 
itu
> sebab mereka membaca kitab "suci" dengan "mata seorang beriman".
> Thomas Aquinas, seorang teolog Kristen dari abad 13, dengan baik
> sekali mengemukakan hal ini dalam Summa Theologiae: "Believers 
proves
> things from the premises of faith" (hal. 329, dalam edisi 
terjemahan
> ringkas yang diedit oleh Timothy McDermott). Apa yang dimaksud oleh
> Aquinas sebagai "premis iman" itu adalah "the authoritative 
sources of
> sacred scripture".
> 
> Dengan kata lain, syarat seseorang bisa mengapresiasi suatu Kitab
> "Suci" agama manapun adalah ia harus memiliki "mata iman", atau, 
jika
> mau memakai kembali istilah Durkheim, "religious sentiment". Begitu
> sentimen atau premis iman itu hilang atau tak ada, maka 
kitab "suci"
> akan tampak sebagai dokumen yang aneh, sebagai "jumble mumble".
> 
> Di mata saya, pertengkaran antara seorang Muslim apologetik dengan
> seorang Kristen yang juga apologetik untuk membuktikan bahwa Kitab
> "Suci" merekalah yang paling baik dan benar, jelas, mohon maaf, 
lucu.
> Sebab, sekali lagi, itu sama dengan tukang jamu yang semuanya 
teriak
> jamu yang dia jual lah yang paling baik.
> 
> Kembali lagi di sini, kita bisa belajar dari Durkheim. Dalam 
pengantar
> untuk karya besarnya di bidang sosiologi agama, "Elementary Forms 
of
> Religious Life", Durkheim membuat sebuah pernyataan yang boleh jadi
> akan membuat semua orang beragama akan kaget seperti terkena setrum
> listrik. Durkheim mengatakan:
> 
> Fundamentally, then, there are no religions that are false. All are
> true after their own fashion: All fulfill given conditions of human
> existence, though in different ways (hal. 2).
> 
> Semua agama jelas benar dengan caranya sendiri-sendiri. Semua orang
> yang beragama merasa bahwa kebutuhan eksistensialnya sebagai 
manusia
> tercukupi dan terpenuhi oleh agama dan kepercayaan yang dipeluknya 
itu.
> 
> Kalau pernyataan Durkheim ini mau kita tarik secara lebih spesifik 
ke
> dalam konteks diskusi saya mengenai Kitab "Suci", maka semua Kitab
> "Suci" adalah benar dengan caranya sendiri-sendiri. Semua pemeluk
> agama yang memiliki "religious sentiment" akan melihat Kitab
> "Suci"-nya itu sebagai paling baik dan benar.
> 
> Nada tulisan Durkheim itu memang tampak sangat relativis. Di mata
> saya, sikap ini jauh lebih sehat, karena dengan itu kita bisa
> mengapresiasi banyak hal, termasuk Kitab-Kitab "Suci" dari agama 
lain.
> Sikap ini lebih sehat ketimbang sikap apologetik yang, sekali lagi
> maaf, tampak seperti "katak dalam tempurung". Jika kita 
menenggelamkan
> diri dalam tempurung, memang segala hal yang kita miliki tampak 
paling
> baik dan sempurna.
> 
> Sikap relativis Durkheimian itu mengajarkan kita untuk keluar dari
> tempurung sehingga kita melihat keluasan dunia di luar "dunia" kita
> sendiri yang selama ini kita peluk erat-erat dengan sentimen yang
> mendalam.
> 
> DALAM tulisan ini, saya selalu menulis Kitab "Suci" dengan tanda 
kutip
> pada kata "suci". Saya sengaja melakukan itu, sebab Quran tidak 
pernah
> disebut sebagai Kitab Suci (al-Kitab al-Muqaddas), baik oleh Quran
> sendiri, hadis, atau oleh ulama tafsir klasik. Sebutan "Kitab Suci"
> untuk Quran muncul pada era modern sekarang ini, mungkin karena
> pengaruh tradisi Kristen.
> 
> Sebutan Quran untuk dirinya adalah "Kitab Mulia" (al-Quran al-
Karim),
> sebagaimana terbaca dalam ayat "innahu laqur'anun karim fi kitabin
> maknun" (56:77).
> 
> Oleh karena itu, istilah "The Holy Qur'an" sebetulnya tampak aneh.
> Bahkan istilah "Tanah Suci" (Holy Land) pun juga terdengar aneh 
dalam
> konteks Islam. Dua tanah yang selama ini dianggap suci, Mekah dan
> Madinah, lebih tepat disebut sebagai "Tanah Terlarang", terjemahan
> harafiah dari istilah "haramain", maksudnya dua tanah yang "haram"
> alias terlarang; bukan tanah suci.
> 
> Disebut "terlarang" sebab orang yang tinggal di sana dilarang untuk
> memotong pohon atau membunuh hewan yang ada di dua tanah itu. 
Istilah
> "haramain" mungkin lebih tepat dikaitkan dengan konsep "taboo"
> sebagaimana kita lihat pada agama-agama kuno.[]
> 
> Link:
> http://ulil.net/
>



------------------------------------

Mailing list:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

Blog: 
http://mediacare.blogspot.com

http://www.mediacare.biz


Yahoo! Groups Links



Kirim email ke