Menegakkan Kembali ketegaran Moralitas Bangsa

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com


Pada persimpangan jalan perkembangan bangsa dan negara dewasa ini,
diperlukan adanya peneguhan kembali komitmen nasional, melalui wacana
komunikasi yang efektif dari para pemimpin bangsa. Komitmen nasional
itu ialah pembentukan negara kebangsan modern berbentuk republik,
yaitu faham kenegaraan yang didirikan demi maslahat umum,
kesejahteraan seluruh warga tanpa kecuali, bukan kejayaan pribadi para
penguasa dan pejabat seperti dalam sistem kerajaan.

Pembentukan negara kebangsaan ini digagas oleh para pendiri bangsa ini
sejak lebih setengah abad yang lalu. Tetapi, sesuai dengan kearifan
umum yang telah kita ketahui bersama, tidak ada barang gratis di muka
bumi ini, sebagaimana juga tidak ada perolehan tanpa jerih payah dan
pengorbanan. Gagasan cemerlang negara kebangsaan ini tidak otomatis
mewujud meski telah dicanangkan dalam Proklamasi 45, karena usaha
mewujudkannya terbukti amatlah sulit, karena terbentur kepada tiadanya
prasarana sosial dan budaya yang diperlukan. Rentetan panjang trial
and error dalam sejarah Republik ini tidak bisa dihindari.

Error atau kekhilafan yang tak disengaja dalam sejarah kebangsaan
seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998 akan menjadi pelajaran
pahit dan berhikmah jika dijadikan pelajaran untuk tidak diulang. Akan
tetapi jika suatu kekhilafan gagal menjadi pelajaran, dan sebaliknya
justeru dibiarkan terus berlanjut, atau apalagi yang disengaja karena
"menguntungkan", bukan saja merupakan kekhilafan tak berhikmah, bahkan
dapat berkembang menjadi kekhilafan yang membawa fitnah dan bencana.
Kekhilafan yang disengaja berubah menjadi kejahatan sejarah.

Kepada sementara kalangan yang berfikir dapat memperoleh sesuatu tanpa
ongkos, dapat cepat kaya tanpa modal usaha, harus diingatkana bahwa
perbuatan itu merupakan suatu sosok egoisme yang telanjang, suatu
sikap hidup anti sosial, yang akan memaksa orang lain menjadi korban
dan menimbulkan kerugian masyarakat luas. Fikiran tentang perolehan
tanpa jerih payah sudah pasti akan menjerumuskan kita pada fikiran tak
bermoral, yakni fikiran "jalan pintas", fikiran tentang "bagaimana
enaknya" untuk diri sendiri, bukan "bagaimana baiknya" untuk
kesejahteraan orang banyak secara adil dan merata. Kejayaan suatu
bangsa itu ditentukan oleh moralitasnya. Jika suatu bangsa runtuh
moralnya, maka bangsa itu akan mengalami keruntuhan (innama umamu al
akhlaqu ma baqiyat, fa in dzahabat akhlaquhum dzahabu). Ini adalah
sunnatullah yang tak bisa ditawar, berlaku terhadap segala bangsa
tanpa memandang agamanya. Sebagai bangsa yang beragama, apalagi dalam
teks-teks sumpah jabatan disebut juga kalimat bertakwa, maka moral
bangsa harus ditegakkan oleh kita sendiri, karena makna takwa juga
mencakup aksi moral yang integral, satunya kata dengan perbuatan,
konsistensi perbuatan dengan komitmen.

Jangan berfikir bahwa kemajuan Barat itu tanpa komitmen moral. Thomas
Jeferson pernah berkata; "Tinggalkan uang, tinggalkan keterkenalan,
tinggalkan ilmu pengetahuan, dan tinggalkan bumi itu sendiri beserta
segenap muatannya; …..itu lebih baik daripada kita melakukan tindakan
tak bermoral." Jangan sempat terlintas dalam fikiran bahwa kita boleh
sesekali melakukan sesuatu yang tidak terhormat, betapapun kecilnya
hal itu di mata kita.

Kapan saja kita melakukan sesuatu, meski tak ada yang melihat, tetapi
cobalah membayangkan, bagaimana seandainya seluruh mata di dunia
mengarahkan pandangannya kepada kita, memperhatikan apa yang kita
kerjakan. Jika kita melakukan kecurangan dalam kehidupan umum
kenegaraan, coba bayangkan kerugian yang harus ditanggung oleh orang
banyak, coba bayangkan seandainya seluruh mata rakyat mengarahkan
pandangannya kepada kita. Coba renungkan penilaian lembaga
international yang telah menempatkan negeri kita pada rating
negara-negara paling rendah, paling buruk, paling messy, paling tidak
menarik dan seterusnya. Masih sanggupkah kita menegakkan kepala
sebagai bangsa yang besar dan mayoritas terbesar ?

Di atas segalanya, sebagai bangsa yang beragama, yang negaranya
berdasar Ketuhanan Yang maha Esa, kita mengenal term kafir dan fasiq.
Kecurangan adalah suatu bentuk kefasikan. Orang fasiq adalah orang
yang tingkahlakunya tidak mempedulikan nilai etika dan moral, karena
telah terkalahkan oleh keserakahan dan hawa nafsu. 

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com


Salam Cinta,
agussyafii

Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com


Kirim email ke