--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Surga Memang Monopoli Muslim (…)
> 
> Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam –artinya tunduk atau 
> patuh– selain yaslamu salaam –yang berarti selamat, sejahtera, atau 
> damai. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: 
> islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah), istislama (tunduk 
> secara total kepada Allah), salaamah atau saliim (suci dan bersih), 
> salaam (selamat sejahtera), dan silm (tenang dan damai). 
> 
> Muslim adalah orang yang melakukan hal2 dan mempunyai sifat2 diatas tsb.
> 
> Jadi, Surga Memang Monopoli Muslim…:-)
> 
> Sekarang, sudahkah kita yang ngaku orang Islam, Kristen, Katholik, 
> Budha, Konghuchu, etc melakukan hal2 tsb diatas ato memiliki sifat2 
> tsb? 
> 
> Wassalam,



***** Surga dalam definisi Muslim adalah milik orang Muslim, tak
berlaku bagi umat manusia lainnya.

Setiap umat agama memahami suerga sesuai ajaran masing masing. Orang
Kristen mengimani, jalan kesurga melalui ajaran Kristus.

Nah, juga umat Buddha memüunyai pemahaman surga sebagaimana diajarkan
dalam dhamma. Bagaimana? Silakan baca

Empat Jalan Ke Surga

Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira; pelaku
kebajikan bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka
cita karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih. (Dhammapada I, 16)

Dalam Anguttara Nikaya IV, 288 disebutkan ada beberapa hal yang perlu
dimiliki agar seseorang dapat hidup bahagia di dunia serta terlahir di
surga setelah kehidupan ini.

Pertama, ia hendaknya memiliki keyakinan yang dalam Dhamma disebut
sebagai Saddhasampada . Dalam bahasa sederhana, ia memiliki agama.
Mengapa seseorang perlu memiliki agama? Karena agama inilah yang dapat
dijadikan pegangan hidup. Apalagi bila seseorang mengenal Buddha
Dhamma sebagai agamanya. Dhamma bukan hanya sekedar mengajarkan tata
cara sembahyang, bukan pula hanya dengan mempercayai kepada Sang
Buddha kemudian segalanya akan beres. Bukan demikian. Namun, Dhamma
mengajarkan kepada umat manusia bahwa orang harus melakukan sesuatu.
Menanam kebajikan tumbuh kebahagiaan, menanam kejahatan tumbuh
penderitaan. Kalau seseorang ingin memperoleh kebahagiaan, tanamlah
banyak kebajikan. Itulah yang menjadi keyakinan dalam Dhamma.
Keyakinan kepada Buddha, keyakinan kepada Dhamma, keyakinan kepada
Sangha, keyakinan pada Hukum Kamma yaitu keyakinan bahwa segala suka
dan duka yang diterima adalah buah dari perbuatan yang telah pernah
dilakukan sebelumnya. Dengan memiliki keyakinan ini, orang akan
memperoleh ketenangan dalam menghadapi segala bentuk suka dan duka.

Setelah memiliki Saddhasampada , berikutnya seseorang hendaknya juga
memiliki Silasampada yaitu mempunyai tekad untuk mengendalikan diri,
paling tidak pada lima hal: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
melanggar kesusilaan, tidak bohong dan tidak mabuk-mabukan. Apalagi
kalau ia dapat melatih lebih banyak sila atau latihan kemoralan dengn
melaksanakan delapan sila (atthasila) , atau bahkan mungkin menjadi
samanera dengan sepuluh sila atau bahkan menjadi bhikkhu yang
melaksanakan 227 sila.

Sebagai umat Buddha yang hidup dalam masyarakat, bisa juga ia
melaksanakan lima sila setiap hari, namun pada pada hari-hari tertentu
misalnya tanggal 1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan Imlek, ia dapat
melatih delapan sila. Mungkin juga dapat menggunakan hari lahirnya
yang seminggu sekali untuk melaksanakan delapan sila. Dengan
melaksanakan sila atau kemoralan inilah yang lama kelamaan akan
membuat seseorang lebih mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Tentang pelaksanaan sila ini ada sebuah cerita. Terdapatlah sekelompok
anak-anak yang dengan senangnya berlari kesana kemari. Apa yang
membuat mereka berbahagia dan berseri-seri seperti itu? Anak-anak ini
ternyata sedang bermain dengan capung. Mereka mengikat ekor capung itu
dengan benang. Mereka membiarkan capung itu terbang dengan mengulur
dan menarik benangnya sambil tertawa bahagia. Mereka ternyata
berbahagia di atas penderitaan mahluk lain. Hal ini sungguh
memprihatinkan. Kalau sejak kecil anak-anak tersebut sudah dibiasakan
berbahagia di atas penderitaan mahluk lain seperti itu, maka bagaimana
jadinya apabila mereka telah dewasa nantinya? Jadi, masalahnya bukan
pada obyek permainannya yang berupa capung itu, melainkan pada mental
anak yang suka menyakiti mahluk lain.

Bagaimana dengan pelaksanaan lima sila yaitu tidak melakukan
pembunuhan, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong
dan tidak mabuk-mabukan? Ada orang yang mengetahui tentang lima
latihan kemoralan ini lalu mengatakan bahwa sungguh sulit untuk
menjadi seorang umat Buddha, membunuh nyamuk saja tidak boleh.
Membunuh semut juga tidak boleh. Sebetulnya masalahnya bukan pada
pembunuhan nyamuk, semut, kecoa ataupun mahluk yang lain. Bukan itu.
Pelaksanaan sila atau kemoralan adalah sarana untuk mendidik agar
orang tidak merasa bahagia terhadap penderitaan mahluk lain, sekalipun
kepada mahluk kecil. Sebab, apabila seseorang dapat menghargai
kehidupan mahluk yang kecil, maka ia pun cenderung bisa menghargai
kehidupan makhluk yang lebih besar. Ia akan mampu menjaga diri agar
tidak menyakiti makhluk lain. Inilah manfaat memiliki sila: hidup akan
menjadi bahagia karena terbebas dari kesalahan dengan tidak menyakiti
mahluk lain, tidak melakukan pembunuhan, tidak melakukan penganiayaan,
dan setelah meninggalpun akan menyebabkan kebahagiaan karena ia akan
terlahir di alam bahagia.

Sesudah memiliki Saddhasampada, Silasampada maka kualitas diri yang
ketiga yang perlu dimiliki dalam melaksanakan Buddha Dhamma adalah
mempunyai Cagasampada yaitu rasa ingin berbuat baik kepada makhluk
lain. Kalau Silasampada adalah perilaku yang harus dijaga: tidak
membunuh, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong,
tidak mabuk-mabukan. Sebaliknya Cagasampada adalah perilaku yang harus
dikerjakan. Kalau tidak melakukan pembunuhan, apakah yang bisa
dikerjakan? Mengasihi makhluk hidup. Kalau tidak mencuri, apakah yang
dapat dikerjakan? Berdana. Kalau tidak melanggar kesusilaan, apakah
yang harus dilakukan? Melakukan kebajikan. Kalau tidak berbohong,
apakah yang harus dilakukan? Mengembangkan kejujuran. Kalau tidak
mabuk-mabukan, apakah yang harus dilakukan? Mengembangkan meditasi.
Jadi bukan hanya melaksanakan lima latihan yang tidak boleh dikerjakan
saja, melainkan juga harus melakukan perilaku yang positif, sesuatu
yang baik dan bermanfaat untuk makhluk lain.

Apabila seseorang telah memiliki keyakinan, kemoralan dan juga
keinginan untuk selalu berbuat baik, maka ia akan selalu hidup
berbahagia, kenapa? Karena orang di lingkungannya akan selalu
menyukainya. Ia akan selalu mengabdikan hidupnya untuk kebajikan. Ia
akan menjadi orang baik, jujur, bermanfaat untuk lingkungan, sehingga
ketika meninggal pun dapat terlahir di alam bahagia.

Setelah memiliki Saddhasampada, Silasampada dan Cagasampada , maka
kualitas diri yang keempat adalah Pannyasampada yaitu memiliki
kebijaksanaan agar dapat mengetahui hal yang penting untuk dikerjakan
juga mengetahui hal yang tidak boleh dikerjakan. Kadang orang
mengalami kesulitan untuk melakukan pembedaan tersebut. Misalnya
sebagai seorang pelajar, walaupun sedang masa ujian, ia justru
melakukan hal yang tidak berhubungan dengan bahan ujian tersebut. Ia
tidak belajar, malah pergi bermain sepanjang hari. Hal ini menunjukkan
bahwa ia tidak memiliki Pannyasampada . Ia tidak mengetahui hal yang
penting dan harus dikerjakan, dan hal yang tidak penting serta harus
dihindarkan. Ada pula ibu rumah tangga yang tidak bisa menentukan
sikap karena tidak ada kebijaksanaan ini. Ia kadang berpikir bahwa
mencari hiburan lebih penting daripada mengurus keluarga.

Oleh karena itu, menurut Buddha Dhamma ada empat cara untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia ini maupun setelah kehidupan ini
yaitu dengan memiliki keyakinan akan kebenaran Hukum Kamma, menjaga
segala bentuk perilaku dan ucapan yang dapat menimbulkan kesalahan,
bersemangat memberikan kebahagiaan kepada mahluk lain serta mempunyai
kebijaksanaan agar dapat mengetahui hal yang harus dikerjakan dan hal
yang harus ditinggalkan. Dengan memiliki kualitas diri yang demikian
sebagai landasan perilaku hidupnya, maka orang akan hidup di dunia
berbahagia dan ketika meninggal pun ia akan terlahir di alam surga.
Inilah empat jalan menuju ke surga.

Memiliki dan melaksanakan keempat kualitas diri tersebut dalam
kehidupan inilah yang menjadi tugas sebagai seorang umat Buddha agar
dapat memenuhi kewajibannya sebagai calon jenazah, sehingga pada
saatnya nanti apabila ia telah menjadi jenazah yang sesungguhnya,
kebahagiaan akan menjadi miliknya.

Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun tidak tampak akan
memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya
masing-masing.

Sabbe satta bhavantu sukhittata
dikutip dari Ceramah Bhante Uttamo


Nah mbak Lina dan Pitung ingin mempelajari dhamma agar masuk dalam
Surga yang dipahami umat Buddha? Selamat belajar

Kirim email ke