Neocortical Warfare: Operasi Cuci Otak

Merdeka atau mati! Sejarah Indonesia mencatat, semboyan itu bukanlah omong 
kosong. Ia pernah muncul sebagai kesadaran kolektif yang menimbulkan kekuatan 
yang dahsyat. Semboyan itu lahir dari nasionalisme yang telah mengkristal 
sebagai persepsi umum. Nasionalisme mengobarkan perlawanan yang amat fanatik 
oleh mereka yang terjajah terhadap penjajah. Semangat itu pula yang melahirkan 
bangsa Indonesia.

Pergerakan kebangsaan Indonesia memperoleh momentum pada akhir Perang Pasifik. 
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pun berkumandang pada 17 Agustus 
1945. Keyakinan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa tak bisa 
ditawar-tawar lagi. Ia tak bisa pula diintimidasi oleh kekuatan bersenjata 
seberapa pun besarnya. Kekuatan senjata tak efektif lagi untuk pembenaran 
sebuah bangsa berhak memperlakukan bangsa lain sebagai jongos dan babu.

Maka, ketika dianggap hendak merampas kemerdekaan yang telah diraih, kekuatan 
Inggris dan Belanda menghadapi perlawanan sengit bangsa Indonesia. 
Bangsa-bangsa Barat mencatat pengalaman pahit ketika vis a vis harus menghadapi 
semangat nasionalisme ini. Di luar Belanda, Amerika Serikat dan Prancis punya 
kenangan buruk di Vietnam. Rusia mencatat sejarah kelam di Afghanistan.

Tatanan dunia memang telah banyak berubah sejak 63 tahun silam, ketika bangsa 
ini lahir. Globalisasi yang menafikan batas-batas wilayah negara kini menjadi 
mantra baru. Muncul paham baru bahwa peran negara harus ditarik ke belakang, 
dan biarkan korporasi multinasional mengelola hubungan kepentingan bangsa. 
Kedaulatan negara, nasionalisme, dan kebangsaan dianggap urusan jadul, jaman 
dulu, yang tidak relevan.

Kita sering tersihir oleh mantra globalisasi itu, seraya melupakan 
nasionalisme. Kenyataan bahwa terjadi proses pemiskinan negara-negara tertentu 
di tengah globalisasi cukup dijelaskan bahwa itu hanya lantaran mismanajemen 
pembangunan. Kita menafikan pula bahwa agenda korporasi multinasional dan 
badan-badan dunia itu bekerja sejalan dengan kepentingan negara maju, yang 
sesungguhnya tidak terlalu peduli terhadap kesenjangan global dan eksploitasi 
bumi.

Dalam konteks inilah nasionalisme Indonesia bisa dianggap sebagai gangguan. Apa 
yang terjadi jika RI mengatur lalu lintas 50.000 kapal kargo dan tanker yang 
melintas Selat Malaka per tahun. Lalu lalang tanker di perairan ini mengangkut 
10,5 juta barel minyak per hari. Sulit dibayangkan tragedi yang akan menimpa 
bila tanker satu juta barel bertabrakan di selat yang padat itu. Kalau saja 
Indonesia ini negara kuat, dengan rakyatnya yang teguh memegang nasionalisme, 
bisa kita paksa tanker-tanker raksasa itu melewati Selat Lombok atau Selat 
Sunda. Selain menghasilkan keuntungan, ini menekan risiko lingkungan.

Tindakan sepihak itu tentu akan menghadapi perlawanan korporasi multinasional 
dan negara-negara yang ada di belakang mereka. Di tempat lain (baca: negara 
maju), nasionalisme tetap dijaga untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. 
Pemuda-pemuda Amerika terus dibangkitkan nasionalismenya agar bersedia menjadi 
serdadu yang ditempatkan di Jepang, Korea, Timur Tengah, atau Afghanistan. Bagi 
mereka, yang tidak boleh adalah nasionalisme di tempat lain. Bagi mereka, 
ancaman perang tak akan pernah berakhir.

Kekuatan militer Amerika Serikat adalah perangkat keras untuk menjaga 
kepentingan mereka, selain untuk mengintimidasi nasionalisme orang lain yang 
mengusik kepentingan mereka. Tapi itu senjata pamungkas. Yang didahulukan ialah 
melumpuhkan nasionalisme dan semangat persatuan-kesatuan di tempat orang lain.

Dengan pengalamannya di pelbagai kawasan, mereka tahu, daripada mereka menekan 
nasionalisme dengan senjata yang perlu ongkos besar, mengapa tak melakukan 
operasi cuci otak saja yang lebih murah.

***

Menurut evolusinya, otak itu tersegmentasi dalam tiga organ: bagian batang atau 
otak reptilia (primitif), sistem limbic (otak mamalia), dan neokorteks. Hasil 
evolusi pertama adalah otak reptil yang terkait insting hidup, bernapas, 
mencari makan, dan dorongan untuk reproduksi. Manusia memiliki bagian otak 
reptil, yang menyumbang daya kecerdasan paling rendah.

Di sekeliling otak reptil terdapat sistem limbic, yang membungkus batang otak 
seperti kerah baju. Bagian ini sering disebut paleo mamalian. Otak ini 
berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik, dan sistem kekebalan. 
Sistem limbic memungkinkan untuk merekam suatu kejadian yang menyenangkan.

Sistem limbic memberikan kontribusi yang mendasar terhadap proses belajar, 
yaitu meneruskan informasi ke dalam memori. Ia juga terkait dengan peran 
thalamus dan hypothalamus yang berperan dalam mengatur suhu tubuh, keseimbangan 
kimia, debar jantung, tekanan darah, dan dorongan seks. Segmen ini pula yang 
mengontrol marah, senang, lapar, haus, kenyang, misalnya, selain terlibat dalam 
bekerjanya sistem ingatan. Terkait dengan perilaku makhluk hidup, peran sistem 
imbic besar dalam pengendalian emosi.

Bagian ketiga adalah neokorteks atau otak neomamalian. Organ ini terbungkus di 
bagian atas dan kedua sistem limbic. Dia memberi kita kemampuan belajar, 
bicara, kreativitas, memahami angka, memecahkan masalah, dan dapat menentukan 
perilaku dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan sosialnya. Karena itu, ia 
juga disebut the thinking cap atau otak rasional, sekaligus menjadi bagian 
terluar yang menutupi sistem limbic. Neokorteks yang meliputi 80% dari seluruh 
volume otak memberikan kemampuan berpikir, berpersepsi, berbicara, berperilaku, 
dan sebagainya.

Di era globalisasi ini, terus dikembangkan teknik-teknik baru untuk 
mengendalikan persepsi dan perilaku atas kelompok sasaran. Targetnya, 
mengontrol perilaku mereka sesuai dengan yang diprogram, dengan mengubah secara 
perlahan persepsinya. Karena areal target otak, maka senjatanya adalah 
pesan-pesan rasional dalam bentuk verbal (suara), visual (gambar), dan tulisan 
(teks). Pesan-pesan itu menjadi senjata penaklukan. Itu perang yang disebut 
neocortical warfare (perang neokortikal) atau perang tanpo bolo (tanpa tentara).

Dalam konteks ini, pesan-pesan tadi harus terartikulasikan dan dikemas sebagai 
sebuah pengetahuan yang rasional, kritis, akademis, selain juga seksi bagi 
pers, bahkan terkesan heroik: membela lingkungan atau HAM. Aktor yang dipilih 
bisa para cendekiawan, aktivis, tokoh karismatis, tapi yang tak bisa dilupakan, 
para praktisi media pula. Dengan strategi perang neokortikal, kepentingan 
sebuah negara bisa masuk tanpa harus dikawal tank atau pesawat tempur.

Dalam konteks globalisasi, boleh jadi, yang terpilih sebagai target salah 
satunya adalah Pancasila. Nilai-nilai yang berasaskan kekeluargaan, gotong 
royong, dan musyawarah-mufakat harus didekonstruksi, lalu ditempatkan sebagai 
hal yang irasional. Yang rasional ialah kompetisi individu, debat, dan voting. 
Masalah hak individu pun dibenturkan dengan hak kolektif. BUMN harus 
diidentifikasikan dengan KKN, tidak efisien.

Pokoknya, harus terjadi kontroversi, hal yang membuat bangsa ini cerai-berai 
dan loyo. Ujung-ujungnya, rasa kebangsaan melemah dan kecintaan pada tanah air 
berubah menjadi kecintaan atas materi serta aset. Itukah cita-cita bangsa ini? 
Kalau itu yang dikehendaki, harus diakui, kita telah memasuki area cortical 
warfare.

***

Pengalaman kegagalan Belanda dan Inggris di Indonesia (1945-1949) boleh jadi 
juga memberi referensi sejarah cortical warfare. Awalnya, Inggris yang datang 
dengan misi melucuti Jepang dan mengevakuasi interniran orang Eropa itu 
membiarkan NICA dan KNIL memboncenginya ketika mendarat di kota-kota besar 
Indonesia. Sikapnya berubah setelah pasukannya mendapat perlawanan keras, 
terutama di Surabaya. Divisi Mansergh berhasil menguasai kota itu, tapi 
menghadapi perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa dari arek-arek Surabaya 
itu, November 1945.

David Wehl, perwira staf yang diperbantukan pada Divisi Mansergh, menuliskan 
laporan kepada atasannya dengan rasa miris: “Sekiranya pertempuran seperti ini 
berlangsung di seluruh Jawa, baik Republik Indonesia atau Hindia Timur akan 
tenggelam dalam lautan darah.” Wehl mengakui adanya gelegak nasionalisme rakyat 
yang begitu kuat. Maka, Inggris mendorong Belanda menyelesaikan urusannya 
secara diplomatik. Boleh jadi, pengalaman buruk di Indonesia itu ikut mendorong 
Inggris memerdekaan India dan Pakistan (1947) secara damai.

Mematahkan semangat juang yang tertanam di otak memang tidak bisa dilakukan 
dengan tank dan rudal. Bahwa negara-negara maju tetap perlu memegang hegemoni. 
Itu bisa dilakukan melalui keunggulan teknologi, politik, dan kebudayaannya. 
Penaklukan akan lebih elegan. Yang diperlukan adalah bagaimana hegemoni itu 
bisa ditancapkan tanpa perlawanan. Di situlah peran cortical warfare.

Target-target hegemoni itu sendiri umumnya empat sektor. Yang pertama adalah 
sektor perbankan, yang menguasai arus uang --serupa dengan peran aliran darah 
pada manusia. Kedua, sektor komunikasi dan media yang serupa dengan impuls 
listrik pada saraf manusia. Tak terlihat tapi menentukan perilaku kelompok 
target. Yang ketiga, penguasaan sektor infrastruktur, utamanya energi --otot 
penggerak pada tubuh manusia. Keempat, sektor retail bahan pokok hajat 
kehidupan orang banyak, utamanya bahan kebutuhan pokok makanan. Bila keempat 
sektor ini terkuasai, maka terkuasai pulalah kedaulatan suatu bangsa oleh 
bangsa lain, tanpa letusan senjata dan tanpa kerusakan fisik.

Untuk membentengi dampak perang neokortikal itu, agaknya bidang keilmuan 
psikologi dan komunikasi massa bisa menjadi salah satu tumpuan, setelah 
diintegrasikan dalam pusat kesenjataan maya pada tingkat nasional. Tapi, di 
luar itu, kita mesti lebih tegas mengartikulasikan prinsip-prinsip kehidupan 
kita dalam bernegara.

Budiono Kartohadiprodjo
Pengamat geopolitik
[Kolom, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 14 Agustus 2008]
 
http://gatra.com/artikel.php?id=117672
 


      

Reply via email to